Pemerolehan bahasa pada anak merupakan fondasi penting dalam perkembangan kognitif, sosial, dan akademik mereka. Bahasa yang digunakan oleh anak tidak hanya mencerminkan kemampuan bawaan, tetapi juga pengaruh besar dari lingkungan, terutama pola asuh orang tua. Sayangnya, kebiasaan buruk dalam penggunaan bahasa, seperti mengganti kata-kata formal menjadi bentuk yang lebih sederhana, misalnya “mamam” untuk “makan” atau “pintel” untuk “pintar”, sering kali berdampak negatif pada perkembangan bahasa anak. Salah satu konsekuensinya adalah kesulitan dalam pengucapan fonem tertentu, seperti penggantian /r/ dengan /l/, yang kita kenal sebagai masalah cadel.
Bahasa adalah alat komunikasi utama manusia. Bahasa ibu adalah bahasa pertama yang dikuasai anak sejak awal hidupnya melalui interaksi dengan keluarga dan lingkungan sekitar anak. Hal ini karena bahasa yang didengarkan dan digunakan sehari-hari, kemudian anak mengadakan respon dan karena setiap anak yang lahir telah dilengkapi dengan seperangkat peralatan yang memperoleh bahasa ibu. Alat ini disebut dengan Language Acquisition Device (LAD) atau lebih dikenal dengan nama piranti pemerolehan bahasa. Berdasarkan penelitian Firdhayanty (2021), pemerolehan bahasa pertama anak, yang dikenal sebagai bahasa ibu ini, berkembang secara natural melalui respons dan imitasi terhadap ucapan orang-orang di sekitar mereka. Lingkungan yang mendukung dan interaksi yang kaya menjadi kunci bagi perkembangan bahasa yang sehat. Oleh karena itu, apabila anak diarahkan dan dilatih berbahasa dengan sebaik-baiknya setiap saat, maka pemerolehan bahasa pertamanya memungkinkan menjadi baik (Azis, 2012:84).
Namun, penggunaan bahasa yang tidak tepat oleh orang tua sering kali menghambat proses ini. Misalnya, ketika orang tua secara konsisten menggunakan kata seperti “mamam” alih-alih “makan,” anak cenderung meniru bentuk tersebut. Pada tahap awal, hal ini mungkin terlihat lucu dan menyenangkan, tetapi efek jangka panjangnya dapat mempersulit anak untuk mengucapkan kata-kata dengan benar, terutama dalam situasi formal. Hambatan pada perkembangan berbicara sang anak di masa yang akan datang itu tidak hanya mempengaruhi pada penyesuaian sosial dan pribadi anak, namun juga akan mempengaruhi pada penyesuaian akademi anak (Puspita, 2019:155).
DAMPAK BURUK TERHADAP PENGUCAPAN
Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan dengan kebiasaan buruk dalam penggunaan bahasa sering kali menghadapi tantangan dalam pengucapan fonem tertentu. Pasalnya, hambatan yang biasa dialami oleh anak ketika melafalkan bunyi bahasa adalah belum sempurnanya alat ucap yang dimilikinya. Hal itu disebabkan karena anak masih berada dalam masa pertumbuhan. Seiring dengan berjalannya waktu, seharusnya anak akan menjadi lebih jelas ketika melafalkan sebuah kata- kata atau bunyi bahasa. Dan jika anak dikelilingi oleh lingkungan yang memiliki kebiasaan buruk dalam penggunaan bahasa, alih-alih anak itu menjadi lebih jelas ketika melafalkan sebuah kata- kata atau bunyi bahasa, yang terjadi adalah anak akan terjerumus pada kebiasaan buruk dalam berbahasa itu juga. Contohnya seperti mengganti fonem /r/ dengan /l/, sehingga kata seperti "lari" menjadi "lali."
Selain itu, kebiasaan ini memperkuat pola fonologis yang tidak tepat. Contohnya, anak yang terbiasa mendengar “pintel” untuk “pintar” mungkin kesulitan membedakan bunyi asli dalam kata tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Kartika (2024) menyimpulkan bahwa pola asuh dari orang tua maupun keluarga juga berpengaruh terhadap perkembangan pelafalan bunyi bahasa pada anak.
PENTINGNYA INTERAKSI VERBAL YANG TEPAT
Kajian psikolinguistik menegaskan bahwa pemerolehan bahasa anak adalah proses kompleks yang melibatkan aspek semantik, fonologi, dan sintaksis. Pada aspek semantik, anak-anak mulai memahami hubungan antara kata dan objek atau tindakan. Dalam aspek fonologi, mereka belajar memproduksi bunyi-bunyi bahasa dengan benar. Sementara dalam aspek pemerolehan sintaksis pada anak merupakan suatu rangkaian kesatuan yang dimulai dari ucapan satu kata, menuju kalimat sederhana dengan gabungan kata yang lebih rumit yakni sintaksis (Tarigan, 2011:5). Penelitian oleh Firdhayanty (2021) menemukan bahwa ujaran anak pada perlu mendapat perhatian, khususnya orang tua dan anak juga harus sering diajak untuk berdialog agar memudahkan anak dalam pemerolehan ataupun penguasaan bahasa, khususnya pemerolehan sintaksis.
Aspek-aspek yang telah disebutkan tadi menjadi semakin penting dalam konteks masalah anak cadel. Jika orang tua memberikan contoh pengucapan yang benar dan secara konsisten memperbaiki kesalahan anak dengan cara yang positif, kemampuan berbahasa anak dapat meningkat. Sebaliknya, jika kebiasaan buruk dalam penggunaan bahasa terus dipertahankan, anak dapat mengalami kesulitan adaptasi dalam situasi formal, seperti di sekolah.
STRATEGI UNTUK MENGATASI MASALAH
Mengatasi masalah cadel pada anak membutuhkan upaya kolaboratif antara orang tua, pendidik, dan lingkungan sosial anak. Pertama, orang tua perlu berhenti menggunakan bahasa bayi dalam percakapan sehari-hari. Penelitian Nina dkk. (2023) menunjukkan bahwa lingkungan keluarga yang memberikan stimulasi verbal yang tepat berkontribusi signifikan terhadap perkembangan bahasa anak.