Tiga minggu sudah kampus lockdown, tutup, no access dan terlarang untuk dimasuki siapa saja, termasuk mahasiswa, dosen dan seluruh sivitas akademika. Tinggal di dalam kampus memberi kesempatan mengamati susana sepi seperti kota mati, jejeran gedung tanpa penghuni.
Tapi menjadi menarik, berjalan menyisiri kampus - seperti pagi ini. Tak terasa mengitari seluruh fakultas satu demi satu. Hingga sampai di satu titik, di antara dua pintu utama, di depan 2 gedung berwarna putih - yang kiri pusat penelitian, yang kanan pusat pengabdian masyarakat - langkah pun terhenti.
Memandangi kedua gedung itu bagai memandang langit dan bumi. Bukan karena mewah atau sederhananya, tidak. Dua-dua gedungnya bagus walau yang satu 2 lantai yang satu "cuma" 1 lantai.
Imajinasi bagai langit dan bumi itu karena membayangkan yang satu urusannya for the sake of knowledge, advance science and tech, yang satu urusannya mengabdi kepada masyarakat; yang satu ada di atas, di langit khasanah keilmuan di menara gading, yang satu di tapak bumi bersentuhan dengan masyarakat, down to earth.
Diferensiasi yang terlalu umum memang (bahkan klise), karena penelitian pun ada yang sifatnya terapan bermitra langsung dengan masyarakat dan pengabdian pun ada yang berbasis penelitian, ya memang kadang bisa campur aduk membingungkan.
Tapi bukan urusan lembaga penelitian atau lembaga pengabdian masyarakat itu yang menghentikan langkah dan membuat tertegun. Keduanya adalah representasi 2 dari 3 tugas berat tridarma perguruan tinggi, selain darma pendidikan sebagai core business kampus.
Berat, maka seharusnya ditanggung renteng oleh universitas, bukan pribadi setiap dosen. Dosen itu  bukan superman yang harus sangup menjalankan ketiga tugas tersebut dengan maksimal (kadang ditambah tugas lain).
Kalaupun dipaksakan maka hanya akan melahirkan dosen-dosen sebagai medioker pendidik, medioker peneliti dan medioker pengabdi masy, akan sulit muncul peneliti unggul, pendidik unggul dan pengabdian masyarakat unggul kalau semuanya sekaligus dikerjakan. Ya, berat. Sorry, ngelantur sekaligus curhat.
Balik lagi urusan bumi dan langit tadi. Beberapa tahun belakangan ini hampir seluruh effort mayoritas kampus diarahkan untuk urusan gapai langit: berapa banyak paper scopus, berapa indeks sitasi, berapa hisrch index peneliti, yang ujung-ujungnya selalu dikaitkan dengan pemeringkatan, ranking, baik nasional maupun internasional.
Mimpi-mimpi meraih bintang (stars) dengan parameter-parameter reputasi akademik, reputasi dosen, rasio internasionalisasi, sitasi dan lainnya dikejar at any cost. Yang kadang sayangnya (semoga tidak benar-benar benar) justru meninggalkan urusan cecah bumi di urutan belakangan, urusan memikirkan bagaimana kampus harusnya mampu memberikan dampak terhadap masyarakat dalam menyelesaikan isu-isu sekitar, bagaimana impact kampus, bagaimana masyarakat mendapat manfaat dari kampus, secara langsung.
Dan suka tidak suka, di musim seperti pandemi covid ini masyarakat akan bisa menilai kampus mana yang mampu turun ikut memberi solusi, kampus mana yang terlalu nyaman hingga tidak bereaksi. Masyarakat akan mencatat.