Mohon tunggu...
DZUL FAHMI
DZUL FAHMI Mohon Tunggu... -

Nama saya Dzulfahmi, lahir dan besar di Jakarta. Saat ini saya sedang belajar Ilmu Komputer di Universitas Gunma, Jepang. Silakan kunjungi blog saya untuk berkenalan lebih jauh. http://fahmifahim.com/

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Bayaran Sekolah dengan Kue Donat dan Nasi Uduk

1 November 2012   04:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:08 769
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya termasuk golongan orang yang terlahir dari keluarga sederhana yang pas-pasan. Ayah bekerja sebagai PNS,  ibu mengurus keperluan sehari-hari di rumah. Kami tinggal di kampung Cilandak, di daerah bilangan Jakarta Selatan. Cerita bermula ketika saya duduk di bangku SMA kelas dua. Di awal pekan tahun ajaran baru, serombongan kakak kelas dari Universitas Indonesia datang memberikan presentasi tentang jurusan-jurusan favorit yang banyak diminati peserta ujian SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Karena dari dulu punya cita-cita jadi dokter, ada keinginan yang kuat untuk mencoba masuk Fakultas Kedokteran UI. Lalu, setelah FKUI, kepingin coba Fakultas Teknik Elektro. Tapi, ada satu hal yang membuat saya bimbang dan sedikit ragu. Waktu itu beredar gosip kalau mau masuk FKUI mesti menyiapkan uang minimal 50 juta rupiah. Kalau mau masuk Fakultas Teknik mesti punya 25 juta rupiah! "Degg..." Tiba-tiba saya saya terdiam kaget. "Kok mahal banget ya...?" Mana mungkin punya uang sebanyak itu. Sampai di rumah, saya coba komunikasikan dengan orang tua. Mencoba untuk curhat ke ibu. Kalau memang mesti keluar minimal 25 juta, terpaksa pinjam uang sana-sini. Semalaman saya berpikir panjang nggak bisa tidur. Berpikir bagaimana caranya supaya nggak ngerepotin orang tua lebih jauh. Nggak mau menambah beban orang tua lebih berat lagi. Alhasil, keesokan harinya saya mencoba bangun pagi lebih awal dari biasa. Waktu itu pergi ke sekolah naik angkot D02 warna putih jurusan Lebak Bulus-Pondok Labu (hmm... jadi kangen naik angkot nih... hehe). Sesampainya di persimpangan Pondok Labu, saya mengalihkan target utama ke "Pasar Pagi". Dulu sewaktu acara ekskul sekolah, teman-teman seksi konsumsi sering beli kue, gorengan atau cemilan di "Pasar Pagi". Harganya murah dan jenis kuenya macem-macem. Pagi itu saya beli donat, kue apem, dan beberapa gorengan yang isinya kacang ijo (nama kue-nya apa ya..? saya lupa). Modal utk belanja saya habiskan sekitar 5.000rupiah. Lalu, sesampainya di kelas, saya coba tawarkan donat dan kuenya ke teman. Awalnya agak malu sih, rasanya sungkan kalo mesti menawarkan kue dagangan ke teman. Apalagi dengan tujuan bisnis... hehe Sejak saat itu, saya pun resmi jadi penjual kue di kelas. Ya, lumayan sih... modal 5 ribu, dapat untung sekitar 2-3 ribu. Nggak banyak, tapi yang penting bisa ditabung. Seminggu... dua minggu... satu bulan pun berlalu, saya mulai menambah volume jualan kue. Yang awalnya cuma beli 2 box donat, saya tambah jadi 5 box. Uang yang berputar pun semakin besar jumlahnya. Namun, di suatu pagi selepas belanja kue, saya terkejut dengan donat-donat yang ada di tumpukan box paling atas. Ada beberapa donat yang sepertinya berwarna agak beda dari lainnya. Ketika hendak menjual ke teman sekelas, saya perhatikan kok ada semacam warna hijau-hijau berbentuk kapas di atas permukaannya si donat. Setelah  diperhatikan lebih jeli, ternyata benar, donat-donatnya sebagian sudah lama dan berjamur. Beruntungnya waktu itu belum sempat terjual ke teman-teman. Bisa berabe kalau ada yang sakit perut gara-gara beli donat yang saya jual. Sesampainya di rumah, saya ceritakan semua kejadian tadi pagi ke ibu. Sebenarnya, ibu pun belum tau kalau anaknya ini sudah jualan kue di kelas sejak sebulan yang lalu. Maklum, takut kalau ibu tahu nanti malah nggak boleh jualan sama sekali. Tapi, di luar dugaan, ibu justru sangat mendukung usaha saya jualan di kelas. "Kalau mau, nanti mama masakin nasi uduk, terus dijual di kelas. Gimana?" Mendengar perkataan ibu, saya pun menjadi tambah semangat. "Alhamdulillah, Yattaaa....!!" Ternyata ide jualan di kelas mendapat dukungan penuh dari ibu.

Setelah tiga hari berlalu, saya pun mulai beralih "status" menjadi siswa penjual nasi uduk. Pagi-pagi sekitar jam 2, saya dan ibu bangun utk bersiap masak nasi uduk khas Betawi. Sambel kacang, cincang ayam&telur, bawang goreng, perkedel dan bakwan disusun rapi di atas nasi uduk lalu dibungkus sampai ada sekitar 20 kotak. Nah, sekitar jam 5:30 saya berangkat ke sekolah diantar oleh ayah naik motor. Kami sengaja berangkat pagi-pagi karena jalan masih sepi. Agak bahaya juga kalo membawa 20 kotak nasi uduk dengan motor. Goyang sedikit aja bisa berantakan isi dalam kotaknya. Dengan baca bismillah, saya coba beranikan diri utk menawarkan nasi uduk ke teman sekelas yang satu persatu berdatangan. Waktu itu kalo nggak salah jam pelajaran pertama adalah olahraga. Pada awalnya hanya satu dua teman aja yang tertarik utk beli nasi uduk. Nah, ketika pelajaran olah raga selesai, mulai banyak teman yang nanya nasi uduknya. "Mi, gue beli dua deh nasi uduknya. Laper banget nih!" sembari menyodorkan uang kertas lima ribu rupiah. Satu kotaknya memang saya jual dengan harga dua ribu lima ratus. "Alhamdulillah laku dua kotak!!" ujar saya dalam hati sembari senyum-senyum sendiri. Lalu nggak berapa lama kemudian, teman yang lain pun ikut berdatangan menghapiri kardus besar berisi nasi uduk di meja saya. Sepertinya banyak teman yang terpengaruh dari ucapan mereka yang sudah mencicipi lebih dulu. Sampai akhirnya ketika bel istirahat siang berbunyi, 20 kotak nasi uduk pun sudah laris habis terjual. Sore harinya ketika sampai di rumah, saya ceritakan semua kejadian di sekolah ke ibu dan ayah. Sepertinya orang rumah pun juga sudah nggak sabar mendengar ceritanya. Alhamdulillah, dari modal yang terpakai sekitar 20.000 rupiah, kami bisa mendapat laba bersih Rp30.000 dari total penjualan hari itu. Senang bercampur haru, ternyata kalau kita sudah berusaha optimal, Allah pasti akan membukakan jalan-jalan kemudahan dari arah yang tak disangka-sangka. Sejak saat itu, banyak teman dan bahkan guru yang mengenal nasi uduk jualannya anak kelas 3 IPA 1.hehehe... Jumlah pesananan pun tiap minggunya semakin bertambah karena ada beberapa teman yang  ernyata mau ikut bantu-bantu menjual dagangan saya ke beberapa kelas lainnya. Dalam satu bulan, jumlah uang yang berputar (omset) dari penjualan nasi uduk bisa mencapai angka jutaan rupiah (maap, emm...saya lupa jumlah pastinya berapa). Jumlah uang yang nggak pernah disangka-sangka sebelumnya. Tentu saja laba yang didapat dari hasil jualan nasi uduk langsung saya tabung utk persiapan nanti ketika akan lanjut kuliah. Setengah tahun pun berlalu, ternyata rencana tidak semulus dengan apa yang saya perkirakan. Seperti biasanya, pagi hari ketika ibu hendak membuat nasi uduk, tiba-tiba... "Bruggg!!" terdengar suara seperti benda besar jatuh ke lantai. Ternyata ibu terjatuh pingsan. Kami sekeluarga terkejut dan segera membawa ibu ke Rumah Sakit Fatmawati yang tidak begitu jauh dari rumah. Dokter memvonis bahwa ginjal sebelah kiri ibu sudah tidak berfungsi dengan normal. Ditambah lagi, ada semacam keanehan di leher rahim sebelah kiri yang cara pengobatannya hanya bisa ditempuh dengan operasi. "Allahurobbii..." sepertinya Allah hendak menguji kesabaran saya dan keluarga dengan sakitnya ibu.

Keesokan harinya, ibu masuk ruang UGD (Unit Gawat Darurat) utk menjalani operasi. Waktu itu saya nggak bisa ikut menunggu ibu di rumah sakit dikarenakan sedang ada ujian akhir semester di sekolah. Operasi berjalan sekitar lima jam dan selesai sekitar sore menjelang maghrib.

Alhamdulillah, semuanya berjalan lancar dan ibu bisa sadarkan diri setelah sekitar 1 hari tidak bangun dari tempat tidurnya.

Untuk keperluan operasi dan biaya rumah sakit, ayah menggunakan bantuan askes utk menekan biaya. Namun, sepertinya tidak cukup. Setelah ditambah dengan semua tabungan hasil jualan nasi uduk, akhirnya ibu diperbolehkan pulang. Saya merasa senang karena ibu bisa dapat kembali ke rumah seperti sedia kala. Masalah rejeki, semua sudah ada yang mengatur. Jika Allah berkehendak, pasti akan ada jalan terbaik dari arah yang nggak disangka-sangka.

(BERSAMBUNG...) *cerita ini diambil dari pengalaman pribadi saya ketika masih duduk di bangku SMA. http://fahmifahim.com/2010/12/28/dari-kue-donat-nasi-uduk-sampai-mainan-bekas/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun