Kecepatan Taliban untuk kembali menguasai Afghanistan menunjukkan betapa lemahnya negara itu, karena ketiadaan dan kurangnya perekat persatuan dan kesatuan mereka sebagai sebuah bangsa. Sehingga, ketika ada ancaman nasional, mereka memilih umtuk memprioritaskan keselamatan suku dan kelompok dibandingkan keselamatan bangsa dan negaranya .Kembalinya Taliban sebenarnya dan seharusnya tidak mengejutkan.Â
Setelah serangan teror 9/11, pasukan koalisi yang dikomandoi Amerika Serikat mentargetkan Taliban karena dianggap memberi tempat dan bekerja sama dengan Al-Qaeda, kelompok teroris pimpinan Osama bin Laden. Kelompok ini yang ditengarai sebagai aktor dari serangkaian serangan teror yang menyerang target-target pemerintahAS, di antaranya adalah Kedutaan Besar AS di Nairobi, Kenya, kapal perang AS USS Cole di Teluk Aden, Yemen, dan puncaknya adalah menara kembar WTC di New York.
Setelah pasukan AS ditarik dari Afghanistan, terbukti bahwa militer Afghanistan yang sejatinya terfragmentasi berdasarkan suku dan klan tidak mampu untuk bersatu dan melawan pergerakan Taliban. Sehingga, Taliban dengan gampang bisa kembali menguasai Afghanistan dan secara sepihak mendeklarasikan berdirinya Negara Koalisis Islam Afghanistan alias Islamic Emirates of Afghanistan.
Maka kita bisa menganalisis bahwa pergerakan Taliban yang sekarang adalah Taliban yang secara optik berbeda dengan sebelumnya. Mereka mempertimbangkan rumitnya dinamika suku dan kelompok di Afghanistan, sehingga model pemerintahan yang dikedepankan adalah pemerintahan kolektif yang mengakomodasi suku dan kelompok di sana sehingga cara yang dipakai adalah cara 'emirate' yang merupakan koalisi suku-suku. Mereka menghindari cara pemerintah Daulah Islamiyah yang lebih mengedepankan kepemimpinan tunggal ala Islamic State alias ISIS.
Tentunya apa yang terjadi di Afghanistan akan memiliki dampak bagi Indonesia dan tentunya rasa Nasionalisme kesatuan dan persatuan harus di jaga seerat mungkin,karena dalam jangka pendek, para pendukung Taliban di Indonesia, yang memosisikan Taliban sebagai simbol perlawanan terhadap negara-negara barat, akan memanfaatkan situasi dalam propaganda-propaganda mereka.
Situasi kesuksesan Taliban tersebut akan di manfaatkan dalam kampanye merekrut, mencari dana, dan mengobarkan semangat mendirikan negara Islam di Indonesia, termasuk mengadvokasi penggunanan berbagai cara untuk menggerus rasa nasionalisme orang Indonesia. Strategi ini akan diamplifikasi oleh kelompok-kelompok, seperti Hizbut Tahrir dan Ikhwanul Muslimin, yang selama ini mengkampanyekan penggerusan rasa cinta Tanah Air.
Maka sangatlah penting dijadikan pelajaran bagi seluruh rakyat Indonesia bahwa penanaman rasa cinta Tanah Air adalah fondasi utama perekat bangsa. Ini satu-satunya cara untuk menjaga Indonesia agar tidak terfragmentasi dan tidak mudah dihancurkan oleh kelompok-kelompok perusak persatuan dan kesatuan bangsa, seperti Taliban di Afghanistan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H