Pemerintah indonesia kembali melakoni peran menjadi sangkuriang dan pasukan makhluk halus nya, dalam kasus ini yaitu DPR, yang selalu saja membahas dan menetapkan UU dalam waktu singkat, setelah Pengesahan RUU cipta kerja, revisi RUU kpk hingga RUU minerba, kini muncul UU Otsus yang disahkan pada rapat paripurna DPR kamis, 15/7/2021 yang digadang-gadang sebagai produk untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi di papua, akan tetapi lagi-lagi DPR mencederai fungsi representasinya, ruang dialog yang seharusnya terbuka untuk masyarakat bahkan tidak dirasakan dan justru menggunakan aparat demi menekan publik untuk menyampaikan aspirasi.
Seperti yang kita ketahui, indonesia kini sedang menghadapi pandemi gelombang kedua dengan masuknya banyak varian baru yang kian mematikan, belum lagi permasalahan dalam negeri dalam penanganan pandemi seperti kelangkaan tabung oksigen, rumah sakit penuh, kematian isoman yang melunjak dan berbagai permasalahan lainnya,
Rasanya terlalu tergesa-gesa jika pemerintah secara sepihak tetiba mengesahkan UU Otsus ini.
Peristiwa pada bulan november tahun lalu, pada saat MRP (majelis rakyat papua) ingin menyampaikan aspirasi mereka dengan mengikuti RDP (rapat dengar pendapat) mendapati hambatan hingga penjegalan, ini sangat disayangkan, karena sekelas lembaga resmi saja mendapat perlakuan yang tidak seharusnya apalagi masyarakat yang hanya ingin menyampaikan aspirasi tanpa adanya lembaga resmi. Lalu apa sebenernya urgensi dari pengesahan UU Otsus ini dimata pemerintah?
Dalam diskusi online bertajuk pembahasan Otsus Jilid 2, koordinator tim Papua LIPI Dr. Adriana Elisabeth menyatakan “cikal bakal Otsus terbilang alot, awalnya adalah pada masa kepengurusan mendagri dipimpin oleh Hari Sabarno waktu itu, dan saat ini ada desakan dari warga papua untuk segera mengesahkan Otsus dengan ancaman kalau tidak Otsus kami merdeka, maka kemudian Otsus Jilid 2 disahkan walaupun sempat tertahan dan prosesnya kurang diperhatikan.” hal yang sangat disayangkan adalah pemerintah pusat tidak paham dengan apa yang terjadi di papua sana, terkesan memiliki krisis kepercayaan dengan penduduk asli dengan tidak mengikutsertakan lembaga-lembaga resmi untuk berdialog soal permasalahan Endemik yang terjadi dan seharusnya dapat diselesaikan lewat Otsus jilid 2 ini.
Menurutnya “Otsus Jilid 2 ini harus memililiki 2 arti untuk mengubah situasi di papua ini menjadi lebih baik. Pertama, yaitu sebagai platform pembangunan untuk meningkatkan kesejaterahan, dan kedua, sebagai resolusi konflik, karena tidak bisa dipungkiri bahwa papua adalah daerah konflik dan proses pembagunan pasti berbeda dengan daerah lain, dua poin ini harus menjadi evaluasi berhasil atau tidaknya Otsus sebelumnya.” Jika melihat kondisi saat ini setidaknya ada 3 catatan penting untuk dipertimbangkan sebagai penilaian yaitu, pertama kemajuan infrastruktur, infrastruktur yang sudah dibangun tidak bisa kita lupakan begitu saja namun tetap harus diseimbangi dengan kesiapan SDM untuk mengisi itu semua. Kedua, Stagnasi persoalan penyelesaian HAM di papua, sampai hari ini masih banyak kasus reproduksi kekerasan yang dilakukan. Ketiga, kondisi yang memburuk soal Eskalasi kekerasan, rasisme yang semakin jelas di pertontonkan yang entah kita sebagai warga negara sepertinya gagal menerapkan sila ke-5 dalam pancasila, bahwa rasisme ini bukan saja terjadi di papua saja bahkan di daerah lain pun sangat lumrah kita jumpai. Artinya otsus yang baru ini harus menyelsaikan masalah yang belum selesai dan memperbaiki kondisi yang terjadi pada hari ini.
Sudah sepatutnya Presiden tidak boleh secara sepihak mengajukan perubahan Rancangan Undang-Undang tanpa memperhatikan aspirasi dari rakyat papua seperti yang termaktub pada (pasal 18 a dan pasal 18 b) UUD 1945, Pemerintah mengajukan perubahan hanya pada 3 pasal yaitu Pasal 1 tentang Ketentuan Umum, Pasal 34 tentang Keuangan, dan Pasal 76 tentang Pemekaran Daerah. Namun secara mengagetkan Panitia Khusus menetapkan perubahan atas 20 Pasal sebagai berikut: Sebanyak 3 Pasal usulan sesuai Surpres; Sebanyak 17 Pasal di luar usulan pemerintah sebagaimana Surpres.
Perubahan yang seharusnya melibatkan warga asli papua agar terciptanya fungsi legislasi didalam tubuh DPR, jalur-jalur konstutional yang di tempuh oleh OAP (orang asli papua) sebenarnya mencerminkan bahwa orang papua mengakui mekanisme republik ini sekaligus menafikan dugaan atau ketidakpercayaan pemerintah atas OAP itu sendiri.
Pada intinya,jika memang pemerintah ingin Otsus ini berjalan sesuai dengan harapan jangan sampai mengulang kesalahan yang lalu, berilah ruang partisipasi kepada masyarakat papua dalam proses pembangunan, dan papua menjadi subjek penentu, bukan menjadi objek.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H