Mohon tunggu...
Fahmiedudul
Fahmiedudul Mohon Tunggu... karyawan swasta -

seorang mahasiswa yang selalu ngobrol tentang sesuatu yang berlawanan dengan hati rakyat, mendahulukan kepentingan orang lain, penikmat racikan kopi Indonesia yg nikmat dan kretek yang khas Madura....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kemarilah Sayang

26 Februari 2013   04:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:41 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Kemarilah sayang kau kan kudekap” kata pria itu disebuah tempat kopi remang sembari mendekap kesepiannya yang perlahan dan berteriak menangis untuk kekasihnya, perlahan lelaki itu masih menenggak kopinya yang masih tersisa sedikit, dia memesan kepada barista untuk tidak dicampurkan dengan susu ataupun vanila, hanya kopi tanpa gula, tanpa pemanis apapun, karena menurutnya rindu itu tak manis, rindu itu tak enak, dia menganggap jika dia meminum kopi dengan mencampuri kopinya dengan gula berarti dia telah mengkhianati kekasih hatinya, ya begitulah lelaki itu tetap bersantai disofa disebuah tempat coffee shop yang biasa dia datangi bersama kekasih hatinya, sesekali ia bergumam bahwa kopi yang dia minum adalah kenangan masa lalu, atau sebuah nasib yang tak pernah diterima oleh takdir, ah ku kira semuanya begitu, terkadang lelaki itu menangis sembari meminum kopi terakhirnya, baginya kopi adalah seduhan yang bisa menenangkan jiwanya, hatinya, dan imajinasinya yang baru kemarin lelah, “aku ingin mencumbu bibirmu sayang” dia menuliskannya disebuah kertas lusuh untuk kemudian ditinggalkan disitu saja, rindunya yang hebat mampu dia dekam dengan emosi dari air matanya yang telah keluar.

“sekilas memang kopi adalah kehangatan kenangan yang hanya tidak bisa dinikmati oleh satu orang tapi semua orang yang bernama manusia, terkadang impianlah yang membuat kita menjadi terpacu dari dunia yang kayak iblis ini ” begitulah kata kata terakhirnya sebelum meninggalkan coffee shop itu, dia seperti seorang lelaki yang bimbang, bimbang dan tak tahu arah untuk pulang, yang hanya dia tahu bahwa dia rindu dengan kekasihnya yang berada dinegeri seberang tapi mana mungkin dia memintanya untuk pulang, seseorang tidak boleh egois dalam masalah kerinduan, tapi, setidaknya cinta berbicara dalam kondisi dan keadaan yang agak berbeda maka terimalah yang ada, keadaan yang ada, saya memperhatikan lelaki itu berjalan tak seimbang dipersimpangan jalan, ini malam memang keruh dalam peluh, saya hanya ingin membantunya untuk berdiri setelah sekian lama dia menangis dan terjatuh, cinta dan keadaan yang lain akan anda lewati hingga sekuat apapun anda melewatinya «===  ”kata saya”

sudahlah, kopi ini adalah kenanganku bersamanya dan aku akan selalu merindukannya meski aku harus seperti seorang tua bangka yang berdiri di simpang jalan, aku mencintainya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun