Mohon tunggu...
fahmi anas
fahmi anas Mohon Tunggu... Freelancer - Just Do it

jadilah dirimu sendiri, biar tuhan tidak salah menilaimu.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dramaturgi Presiden

16 Februari 2021   08:10 Diperbarui: 16 Februari 2021   08:27 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Istana Presiden belakangan ini menjadi sorotan terkait pernyataan Presiden Joko Widodo meminta agar masyarakat aktif mengkritik pemerintah. Salah satu pernyataan keluar dari Presiden Joko Widodo bahwasannya Jokowi meminta agar masyarakat aktif mengkritik pemerintah dan mengajak seluruh elemen bangsa untuk berkontribusi dalam perbaikan pelayanan publik, "Masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik masukan ataupun potensi maladministrasi dan para penyelenggara pelayanan publik juga harus terus meningkatkan upaya-upaya perbaikan perbaikan," Ungkap Presiden Joko Widodo (08 Februari 2021). Hal yang sama juga di sampaikan oleh Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung, Ia mengatakan bahwasannya pemerintah membutuhkan kritik yang pedas dan keras dari pers. Menurutnya, kritik media massa dan masyarakat pada pemerintah merupakan sebagai jamu atau obat dalam bernegara.

Terkait ungkapan dan praktik pemerintah mengenai keterbukaan kritik, jika dilihat dari kacamata sosiologis, penulis menggunakan pendekatan dramaturgi dari Erving Goffman untuk mengetahui pengelolaan kesan yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo mengenai masyarakat aktif menyampaikan kritik pada  pemerintah. Dramaturgi Goffman memperhatikan proses yang dapat mencegah gangguan atas penampilan diri. Goffman berasumsi bahwa saat berinteraksi, aktor ingin menampilkan perasaan diri yang dapat diterima oleh orang lain. tetapi, ketika menampilkan diri, aktor menyadari bahwa anggota audien dapat menganggu penampilannya. Kaum dramaturgis memandang bahwa manusia adalah aktor-aktor di atas panggung metaforis yang sedang memainkan peran-peran mereka. Goffman menganalisis tindakan manusia dalam sebuah metafore teatrikal. Manusia adalah aktor dalam sebuah panggung yang saling menyusun ( Suciati, 2017).

Dengan mengikuti analogi teatrial ini, Goffman berbicara mengenai panggung (front stage). Front adalah bagian pertunjukan yang umumnya berfungsi secara pasti dan umum untuk didefinisikan situasi bagi orang yang menyaksikan pertunjukan. Gooffman juga membahas panggung belakang (basck stage) dimana fakta disembunyikan di depan atau berbagai jenis tindakan informal mungkin timbul. Dalam konteks ini, Pernyataan Presiden Joko Widodo dan pihak Istana yang minta dikritik menunjukkan praktik politik berwajah ganda dari kekuasaan, pada satu sisi Presiden Joko Widodo menunjukkan pesan yang positif untuk bersedia mendapat kritik (Front Stage). Di sisi lain, menunjukkan tindakan kontradiktif dengan terus menangkap atau menghantam para aktivis yang lantang mengkritik kekuasaan (Back Stage). Goffman menyebutnya "ketidaksesuaian antara diri manusiawi kita dan diri kita sebagai hasil proses sosialisasi" (Ritzer, 2011).

Meminjam dari Dramaturgi Goffman, Pengelolaan kesan yang dilakukan oleh Presiden Jokowi dan Pemerintah selama berada di Front Stage mencoba untuk menunjukkan dan menjaga citra sebagai pemimpin serta penguasa yang baik dan positif di mata publik atau masyarakat Indonesia dengan membuka segala bentuk kritik dari semua elemen masyarakat. Berbeda halnya ketika berada di Back Stage, pada wilayah inilah Presiden Jokowi dan Kabinet sebagai penguasa yang otoriter, dengan pelbagai instrument kekuasaan yang represif digunakan untuk membungkam para kritikus.

Analis Sosial Politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun berpendapat ada semacam politik wajah ganda kekuasaan, kekuasaan berwajah munafik. Satu sisi menyatakan sesuatu yang positif. Tapi praktek yang terjadi bertolak belakang. Bisa dikritik, tapi buzzer beroperasi untuk melakukan teror yang melemparkan kritik (CNNIndonesia.com). Kondradiksi antara pernyataan dan praktik di lapangan menjadi permasalahan bagi pemerintah. Ketika Jokowi minta publik aktif mengkritik, Badrun mengatakan warga terus dibayangi oleh ulah para pendengung atau buzzer yang menjadi pembela pemerintah maupun ancaman Undang-undang Nomor 11 Tahun Nomor 2008 (UU ITE). Terlihat sudah banyak orang-orang kritis terhadap pemerintah yang terjerat pada dua instrumen tersebut.

Dapat kita lihat dari berbagai kasus atau contoh fakta dilapangan, publik masih teringat kritikan yang dilontarkan jurnalis Dandhy Dwi Laksono. Kritik melalui media sosial pribadinya membuat Dandhy ditangkap oleh polisi pada September 2019 lalu. Kemudian, musisi Ananda Badudu ditangkap dengan tuduhan penggalangan dan penyaluran dana aksi mahasiswa 23-24 September 2019. Saat itu sedang ramai adanya demonstrasi penolakan pelbagai RUU kontroversial jadi undang-undang jelang akhir (Dewan Perwakilan Rakyat) DPR periode 2014-2019, termasuk RKUHP.

Kasus dan fakta diatas merupakan salah satu contoh kontradiksi pernyaatan pemerintah dengan praktik pemerintah dalam bernegara. Ungkapan dari Presiden Joko Widodo sebagai kepala Negara Indonesia tidak cukup untuk meyakinkan publik atau masyarakat terjamin keamanannya dalam menyuarakan kritik. Sebagai kepala Negara, Presiden Joko Widodo seharusnya mampu memberikan jaminan keamanan bagi publik dan semua elemen masyarakat dalam menyuarakan segala bentuk kritik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun