“mi..”
“apa?..”
“fahmi..”
“hmm...”
“fahmi! Kamu tu kenapa!!”
Aku melengos malas, mengambil segelas air kopi yang sudah dingin sejak dua jam lalu.
“jangan bilang ini gara-gara bintang-mu itu!”
“ya, ini tentang itu...” kujawab sekenanya, pikiranku entah ada dimana, rasanya diriku sudah terpisah dari akalnya.
“cih, dasar.. kamu harus mulai belajar menguasai gejolakmu itu, fahmi.. bukan malah sebaliknya. Kuasailah itu..”
Aku diam, malas mendengar ocehannya yang selalu saja memvonisku itu..
“baik! Baik! Baiklah kalau begitu!” dia tampak mulai kesal dan bersiap melanjutkan ocehannya.
“harus kau sadari fahmi, cintamu itu hanya omong kosong sebelum kau berani menikahinya! Memaksakannya sama saja memaksa menerobos rambu-rambu yang dibuat oleh TuhanMu sendiri. Rambu-rambu dari Zat yang menguasai hidup dan matimu.!”.”
Aku menarik nafas panjang, menikmati setiap jengkal luka yang ditorehkan oleh mulut sahabat terbaikku ini..
Aku mulai menunduk..
“okelah, kupakai logikamu. sekarang kau bisa saja memaksakan tali cinta diantara kalian berdua, tapi itu tali yang semu, tali imajiner yang tidak nyata, diciptakan hanya untuk menahan beban sementara, sebelum akhirnya kau jatuh dan terpecah berkeping-keping akibat terlalu lama bersandar pada tali itu!” dia tak mau berhenti mengoceh.
Nafasku semakin panjang.. sesak.. pikiranku melayang-layang.. terbang di pelangi dua tahun lalu yang mempertemukan kami. Itu adalah awal segalanya, aku senang, aku bahagia, hingga kini, tak pernah sedikit pun aku menyesalinya.. sedikit pun tak pernah, hingga kini..
rasanya aku masuk ke dalam sebuah ruangan putih yang bergerak-gerak dindingnya, memutarkan bermacam-macam bentuk senyuman dan pertikaian kecil diantara kami, menggilirkan berbagai rasa yang pernah tercipta diantara kami..
bantingan pintu membuyarkan lamunanku..
“....cih! Kau sudah tak lagi mendengarku lagi! Tak ada guna aku disni!...terserah! Aku pergi..”
“hati...” segera aku memanggilnya
Sekejap kemudian aku berlari dan memeluknya,
Terasa dalam leherku nafasnya yang hangat mendengus beberapa kali,
Aku berucap lirih di samping telinganya, “maafkan aku.. aku hanya ingin diam, berlari dan menutup mata, berlari dan mengingkari, berlari dari kenyataan.. jangan tinggalkan aku yang sudah tak punya apa-apa lagi ini...”
Dia terdiam, mematung, tidak juga membalas pelukanku,
“aku akui... aku akui... meski sudah mantap niatku, sudah tuntas tekadku, sudah lunas idealismeku, meski semuanya aku tujukan hanya untuk Allah. Aku belum mampu. Tapi meskipun begitu, aku tak menyesal. Akan kumampukan diriku, untuk mengikuti jalan-Nya. Bantu aku, bantu aku, jangan sekali-kali tinggalkan aku, karena Tuhan hanya memberikan titahNya melalui perantaraanmu, hati...”
Perlahan, sahabatku membalas pelukanku, erat sekali, lebih erat malah..
Setengah berbisik, dia meyakinkanku, Allah tahu yang terbaik buatku dan buatnya. Sekali-kali Allah tidak akan mendzalimi hamba-Nya. Semua akan indah pada waktunya. Yakinlah..
Termikasih hati.. terimakasih Tuhan.. terima kasih...
Matahari sudah menggeliat hingga tak mencipta bayangan lagi pada benda-benda di bawahnya, waktu dzuhur sepertinya tak akan lama lagi tiba. Dan akulah muadzinnya..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H