Mohon tunggu...
Fahmi Alizar
Fahmi Alizar Mohon Tunggu... -

Bukan siapa-siapa, hanya pemuda yang sedang berfikir keras, bagaimana caranya supaya bisa bermanfaat buat orang lain..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sayatan Pertama di Bulan Puasa

17 Desember 2010   06:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:39 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ada banyak rasa yang membuncah di bulan ramadhan ini, sedih, marah dan senang silih berganti berapi-api. Syukur alhamdulillah kali ini bisa merasakannya dengan seksama, karena nikmat sehat menjelma menjadi sesuatu yang nyata, mungkin saja berkat Do’a dari seseorang hamba yang jauh di pelupuk mata sana dan memohonkan nikamat-Nya untukku, hanya untukku.

Tarawih pertama di bulan suci ini benar-benar menyesakkan, ada sesuatu yang meletup-letup di dalam hati, kali ini bukan tentang saya, ini tentang seorang kakek tua yang selalu setia di mushola saat hari-hari biasa, terlalu setia untuk menjadi penghuni pertama dan terakhir di sanggar yang sudah dia anggap menjadi miliknya. Karena dia benar-benar sendiri di sanggarnya. Tak jarang dia memerankan dua peran sekaligus, menjadi sang muadazin sekaligus menjadi imamnya, bahkan sekali waktu peran makmum dia perankan secara bersamaan. hm, benar-benar sendiri dalam makna yang sebenar-benarnya. Itulah hari-hari biasa.

Petang ini ramadhan telah tiba, bedug bertalu-bertalu memanggil semuanya menuju mushola, puluhan orang berbondong-bondong menghampirinya, sampai-sampai rumah warga di samping mushola pun menjadi tempat alterntif agar bisa tarawih bersama-sama. Biasa. Fenomena yang sangat biasa di Indonesia. Suasana sangat ramai sekali. Dipastikan, Jamaah mushola sore ini 95 % adalah penghuni mushola yang baru. BBB, Benar-Benar Baru, termasuk seorang tokoh yang didaulat menjadi imam dan berkoar-koar tantang ini itu di tarawih perdana kali itu. Luar biasa memang keberanian tokoh masyarakat yang satu ini.

Sementara suara manusia-manusia itu riuh rendah mengurus ini itu, dipojok mushola, kakek tua itu masih setia duduk bersila, khusyu membisikkan kalimat-kalimat syahadah yang terdengar syahdu dari tempat orang berlalu lalang. Tak ada yang beda dari penampilannya, tak peduli orang di luar sana menggunjingnya atau memakinya karena dia tetap merasa ini adalah sanggarnya dan sudah terlanjur menikmati kesendiriannya tiap hari di mushola ini.

Tak ada yang istimewa, tapi entah kenapa, bagi saya pribadi semua ini menyisakan buih-buih airmata, terlebih setelah melihat sorot mata kakek tua itu. (fahmializar truestory)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun