Mohon tunggu...
Fahmi Alfansi Pane
Fahmi Alfansi Pane Mohon Tunggu... Penulis - Tenaga Ahli DPR RI/ Alumni Magister Sains Pertahanan Universitas Pertahanan Indonesia

Hobi menulis dan membaca, aktif mengamati urusan pertahanan, keamanan, dan politik

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Merdeka dalam Pengadaan Alutsista

15 Agustus 2024   12:33 Diperbarui: 15 Agustus 2024   12:35 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Merdeka dalam Pengadaan Alutsista
Fahmi Alfansi P Pane
Alumnus Magister Pertahanan Universitas Pertahanan/ Tenaga Ahli DPR RI

Pertahanan adalah sokoguru dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia, sedangkan industri pertahanan nasional adalah salah satu pilar terpentingnya. Sebaliknya, kemerdekaan atau kemandirian industri pertahanan, menurut istilah dalam Undang-undang Industri Pertahanan, menjadi penentu peran industri pertahanan untuk ikut menjaga kemerdekaan dan kedaulatan.
Bila industri pertahanan tidak mandiri, atau tergantung pasokan industri asing, maka keberlanjutan suplai kepada postur pertahanan akan terganggu. Kerentanan ini meningkat saat kompetisi geopolitik di Indo-Pasifik berubah menjadi perang berskala penuh. Meski Indonesia tidak akan terlibat dalam perang, tapi setiap negara akan mengutamakan pemenuhan kebutuhannya dulu.

Bahkan, dalam keadaan tidak perang pun produsen alutsista (alat utama sistem senjata) strategis, akan mengutamakan kebutuhan pertahanan nasionalnya daripada memenuhi pesanan negara lain. Misalnya, perusahaan Perancis Dassault, menerima pesanan jet tempur Rafale setidaknya 174 unit untuk Perancis, lalu Indonesia pesan 42 unit (enam unit untuk paket pertama), Uni Emirat Arab (80 unit), dan lain-lain. Dengan kemampuan produksi tahun lalu hanya 13 unit (Military Balance Blog, 22 Januari 2024), dapat diprediksi pesanan Indonesia akan telat dipenuhi.
UU Industri Pertahanan Nomor 16/2012 dan perubahannya pada beberapa pasal UU Cipta Kerja telah mewadahi semangat kemerdekaan dalam pengadaan alutsista. Misal, Pasal 43 ayat (1) mewajibkan pengguna memakai alat peralatan pertahanan dan keamanan (alpalhankam) produksi dalam negeri. Bahkan, ayat (2) mewajibkan pengguna untuk memelihara dan memperbaiki alpalhankam di dalam negeri. Impor alpalhankam dibolehkan dengan syarat ketat, seperti belum bisa diproduksi di sini, melibatkan industri pertahanan nasional, alih teknologi, imbal dagang, dan kandungan lokal (Pasal 43 ayat 5). Ketentuan ini mengikat Kementerian Pertahanan, TNI, Polri, BIN, Bakamla, Basarnas, BNPB, dan lain-lain.

Sayangnya, kewajiban pemakaian produksi dalam negeri kurang diperhatikan. Tidak heran, Presiden Jokowi meminta senjata dan seragam aparat TNI/Polri tidak lagi diimpor (kompas.com, 15 Maret 2023). Padahal, senjata yang dimaksud adalah senapan atau pistol; bukan alutsista strategis yang belum dapat dibuat Indonesia, seperti pesawat tempur atau rudal udara ke udara.
Meski regulasi kemandirian pengadaan alpalhankam, perlu, tapi komitmen pemimpin nasional, strategi pengadaan, dan program yang konsisten dalam jangka panjang, juga menentukan keberhasilan.

Batu uji komitmen pemimpin nasional ada tiga, yaitu komitmen menjalankan Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP), pemberian penghargaan dan sanksi terkait ketaatan pada UU Industri Pertahanan, serta komitmen membangun industri pertahanan nasional. Menjalankan KKIP harus sesuai dengan Pasal 22, yang mana Presiden menjadi Ketua, Ketua Harian Menteri Pertahanan, dan Wakilnya Menteri BUMN. Para anggota KKIP antara lain, Menteri Perindustrian, Menteri Kominfo, Menteri 

Keuangan, serta Panglima TNI dan Kapolri. Dengan demikian, KKIP bukan sekadar sekretariat dan tim pelaksana.
Presiden selaku Ketua KKIP perlu mengawasi pengadaan alpalhankam/alutsista. Pelanggaran ketentuan UU Industri Pertahanan yang tidak diatur dalam sanksi pidana adalah kewenangan kepala pemerintahan. Menegur, membatalkan kontrak pengadaan dari luar, hingga pencopotan jabatan, dapat dipertimbangkan. Yang taat, apalagi membuat terobosan untuk meningkatkan kandungan lokal atau SDM nasional dalam produksi alutsista perlu dihargai.

Pemimpin nasional juga harus serius mengawasi pembangunan industri pertahanan. Keterlambatan pembayaran gaji Maret 2024 dan THR karyawan PT Dirgantara Indonesia bukan hanya masalah korporasi, tapi bisa jadi karena rendahnya pesanan pesawat di dalam negeri. Selain menciptakan permintaan pesawat, pemimpin nasional dapat mengarahkan PT DI ekspansi dalam perawatan dan perbaikan pesawat, serta mampu bersaing dengan BUMN lain, dan prinsipal asing seperti Boeing.
Penentu keberhasilan berikutnya adalah strategi pengadaan alutsista. Strategi diperlukan karena di satu sisi ada amanah UU untuk kemerdekaan pengadaan alutsista, tapi di sisi lain ada kendala penguasaan teknologi, hak paten dan pembatasan akses untuk komponen-komponen kunci, termasuk perangkat lunak, serta dukungan industri dasar dan penunjang. Keterbatasan ini membuat impor tetap diperlukan. Namun, jenis alutsista, kredibilitas produsen dan asal negara, serta risiko keterlambatan produksi, mempersulit pengambilan keputusan. Terlebih, jika ada risiko embargo atau sanksi ekonomi, baik terhadap negara/perusahaan produsen maupun Indonesia.
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto mengadakan alutsista dari Perancis untukn pesawat tempur dan kapal selam. Lalu, kendaraan udara tanpa awak dari Turkiye. Strategi pengadaan dari dua Anggota NATO ini diperkirakan dapat meningkatkan postur pertahanan dan kesiapan tempur TNI dengan risiko embargo yang minim.
Faktor keberhasilan ketiga adalah program jangka panjang yang konsisten. Pembangunan postur pertahanan serupa dengan industri pertahanan, yang butuh keberlanjutan selama belasan hingga puluhan tahun. Untuk menjaminnya dibutuhkan regulasi yang mengikat dalam bentuk Undang-undang atau Peraturan Presiden.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun