Akhir akhir ini kasus perceraian menjadi trending topic di kalangan masyarakat. salah satu data yang disebutkan oleh koran lokal mengatakan tahun 2018 angka perceraian meningkat sebanyak 15-20%. Dirjen Pengadilan Agama Mahkamah Agung mengungkapakan bahwa tiap tahunnya prosentasi perceraian meningkat sebanyak 3%. Data di tahun 2014 perceraian yang terjadi sebanyak +-340 ribu pasangan, sedangkan tahun 2016 mengalami peningkatan menjadi +- 365 ribu pasangan.Â
Hal ini mengakibatkan Indonesia masuk salah satu negara di dunia yang tiap tahunnya mengalami peningkatan dalam kasus perceraian. Bisa dilihat di media media sosial kasus perceraian ramai digandrungi oleh kalangan kalangan atas seperti artis, pejabat, pengusaha dsb. hal ini justru memutar balikkan opini yang beredar bahwa kebanyakan orang mengalami perceraian disebabkan oleh labilnya kondisi ekonomi dalam keluarga tersebut. saat ini ekonomi bukan salah satu penguasa penyebab kasus perceraian, ada banyak kasus terbaru yang bahkan sama sekali tidak terduga. salah satunya adalah perbedaan pandangan politik dan ketidak sanggupan orang dalam berkomitmen dalam keluarga tersebut.
Bisa kita lihat, artis dan para pejabat yang notabennya orang orang kaya yang tentu jika "masyarakat biasa" lihat tidak ada kecacatan sama sekali dalam membangun keluarga, justru berlomba lomba mengajukan gugatan cerai ke pengadilan. realitanya hari ini perceraian sudah bukanlah dianggap hal yang tabu dan memalukan di masing masing keluarga.Â
Perceraian selalu dianggap hal yang lumrah dan menjadi solusi paling tepat dalam memecahkan masalah buntu dalam keluarga. padahal jika kita cermati dan kaji ulang, perceraian justru menimbulkan masalah baru dalam keluarga tersebut. akan ada pihak yang sangat dirugikan saat para orangtua melakukan perceraian . Ya mereka adalah anak dari orangtua yang bercerai. secara fisik perceraian orang tua tidak terlalu atau bahkan sama sekali tidak berbekas pada anak, namun dalam hal psikis dan mental hal tersebut bisa menjadi penyebab "utama" rusaknya karakter dan kepribadian anak.
jika perceraian bisa merusak anak dan menyebkan banyak kerugian, lalu mengapa kita tidak mencoba solusi lain?
saat ini yang dianggap tabu bahkan dianggap tidak lazim adalah adanya perjanjian pra nikah. perjanjian ini diangap tidak terlalu penting oleh banyak orang bahkan dianggap sangat remeh. padahal ada banyak sekali manfaat apabila kedua calon pengantin melakukan perjanjian pra nikah. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur tentang perjanjian pranikah.Â
Dalam Pasal 29 ayat 1 UU tersebut, disebutkan bahwa sebelum melakukan perkawinan, kedua pihak dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan pegawai pencatat perkawinan. Dalam ayat selanjutnya, dinyatakan bahwa perjanjian itu bisa disahkan selama tidak melanggar batas hukum, agama dan kemanusiaan.Â
Di Indonesia sendiri sedikit sekali orang yang melakukan perjanjian pra nikah ini walau sudah diatur dalam undang undang.Â
Perjanjian pra nikah bukan hanya sekedar berisi tentang perceraian, harta gono gini, pembagian hak asuh anak atau hal negatif lainnya. namun didalam perjanjian pra nikah ini kita bisa mendiskusikan dahulu dengan pasangan tentang bagaimana menjalani hubungan dalam rumah tangga, bagaimana mengasuh anak, bagaimana pembagian tugas rumah dsb. kita bisa membicarakan dan menyepakati banyak hal positif di dalamnya, sehingga saat konflik rumah tangga membuncah kita bisa menjadikan perjanjian ora bikah sebgaia acuan dalam memperbaiki hubungan suami istri.
Pasangan yang bercerai menandakan adanya suatu komitmen yang belum terlaksana dengan baik atau bahkan melanggar komitmen tersebut. oleh sebab itu perjanjian pra nikah dibuat supaya mengikat kedua calon pengantin dan menjadikannya sebagai komitmen dalam menjalani rumah tangga.
Sumber: