Mohon tunggu...
Fahlesa Munabari
Fahlesa Munabari Mohon Tunggu... Dosen - FISIP Universitas Satya Negara Indonesia

Associate Professor Ilmu Hubungan Internasional. Dekan FISIP Universitas Satya Negara Indonesia dan Tenaga Ahli DPR RI. Pemerhati isu-isu keamanan dan strategis, intelijen, radikalisme, gerakan sosial, politik Islam, dan kajian Asia Tenggara. Menikmati kopi dan fotografi.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Dari Jokowi ke Prabowo: Akankah Indonesia Tetap Berlayar di Jalur Maritim?

25 Januari 2025   10:29 Diperbarui: 25 Januari 2025   10:36 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Potensi maritim Indonesia, dengan luas wilayah laut jauh melebihi daratannya, sangatlah besar dan menyimpan kekayaan yang belum termanfaatkan secara optimal. Visi menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia yang digaungkan pada awal pemerintahan Joko Widodo, menyimpan cita-cita besar untuk memaksimalkan potensi ini. Namun, sejak periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi (2019-2024), fokus pembangunan nasional cenderung bergeser ke sektor darat dengan meninggalkan visi maritim yang ambisius di awal periode pertama Presiden Jokowi (2014-2019). Tren ini tampaknya berlanjut di era Presiden Prabowo Subianto yang ditandai beberapa indikator penting,

Perlu refleksi mendalam untuk memahami potensi kerugian akibat pengabaian sektor maritim serta merumuskan langkah-langkah konkret untuk mewujudkan kembali kekuatan maritim Indonesia secara berkelanjutan serta mengatasi berbagai tantangan yang ada, termasuk masalah kesehatan ekosistem laut dan maraknya kasus pagar laut. Lebih jauh, untuk mengarahkan kebijakan maritim ke depan dengan lebih efektif dan berkelanjutan, pertimbangan terhadap reaktivasi suatu lembaga pengarah kebijakan maritim, seperti Dewan Kelautan Indonesia (Dekin) atau Dewan Maritim Indonesia (DMI), sangatlah penting. Terlebih, di era Presiden Prabowo, lembaga pengarah kebijakan maritim absen dalam struktur pemerintahan. Memang benar bahwa saat ini terdapat Dewan Ekonomi Nasional yang dipimpin oleh mantan Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi, namun lembaga ini tidak secara spesifik fokus pada pengembangan sektor maritim.

Indikasi melemahnya prioritas sektor maritim di pemerintahan Presiden Prabowo tampak pada beberapa aspek. Ketiadaan rujukan eksplisit terhadap pengarusutamaan isu-isu maritim dalam "Asta Cita" yang merupakan delapan misi utama pemerintahan Prabowo menjadi sinyal awal kurangnya penekanan pada sektor ini sebagai prioritas nasional. Potensi besar Indonesia di bidang kelautan belum mendapat perhatian selayaknya. Penghapusan Kementerian Maritim dan penyerapan fungsinya ke kementerian lain menunjukkan potensi melemahnya koordinasi dan pengelolaan sektor maritim yang terintegrasi dan efektif. Adanya indikasi perubahan prioritas anggaran dari sektor maritim ke sektor lainnya juga mengindikasikan perlunya pertimbangan lebih matang dalam alokasi anggaran untuk mendukung program-program maritim berkelanjutan. Selain itu, Ketiadaan figur utama yang bertanggung jawab khusus atas isu-isu maritim dapat melemahkan koordinasi serta pengambilan keputusan yang berfokus pada sektor kelautan. Hal ini menunjukkan perlunya perhatian lebih terhadap penunjukan figur kunci yang akan memimpin dan mengkoordinasikan upaya peningkatan sektor maritim.

Konsep Poros Maritim Dunia (PMD) yang diluncurkan Presiden Jokowi pada awal periode pertamanya pada tahun 2014 menawarkan kerangka pembangunan berkelanjutan yang berpusat pada laut. Lima pilar utama PMD, yakni budaya maritim, pengelolaan sumber daya kelautan, konektivitas maritim, diplomasi maritim, dan pertahanan maritim,  seyogyanya menjadi pondasi kokoh untuk memaksimalkan potensi laut Indonesia. Namun, kenyataannya, implementasi PMD di masa lalu belum mencapai target yang diharapkan karena  terkendala sejumlah tantangan seperti pembangunan infrastruktur maritim yang masih tertinggal dibandingkan pembangunan infrastruktur darat, dampak ekonomi pembangunan infrastruktur pelabuhan yang masih terbatas, reformasi regulasi yang belum tuntas, birokrasi yang tidak efisien, serta kurangnya integrasi rantai pasokan.

Di sektor pertahanan dan keamanan, peran TNI Angkatan Laut belum mengalami perubahan signifikan. Anggaran pertahanan masih didominasi oleh TNI Angkatan Darat dan keterbatasan anggaran serta masalah koordinasi antar lembaga menjadi penghambat utama. Di bidang diplomasi, hubungan Indonesia dengan negara-negara yang memiliki kepentingan strategis di kawasan masih membutuhkan perhatian lebih untuk mencapai integrasi utuh dengan visi PMD, terutama dalam konteks persaingan serta klaim tumpang tindih di kawasan perairan Laut China Selatan.

Sebagaimana dikutip dari Kompas.com (15/01/2025), Data Ocean Health Index (OHI) Indonesia juga menunjukkan kondisi yang memprihatinkan. OHI adalah indeks yang mengukur kesehatan ekosistem laut berdasarkan berbagai faktor seperti keberagaman hayati, kualitas air, dan keberlanjutan sumber daya laut. Indonesia berada di peringkat 189 dari 220 wilayah, dengan skor keseluruhan 61 dari 100 -- jauh di bawah rata-rata global yang mencapai 69. Skor ini mencerminkan penurunan kualitas ekosistem laut Indonesia. Beberapa indikator OHI yang sangat memprihatinkan adalah skor rendah untuk laut sebagai destinasi pariwisata dan rekreasi (skor 9), dan laut sebagai sumber pangan (skor 25). Hal ini menunjukkan bahwa praktik pengelolaan wilayah pesisir dan laut sebagai destinasi wisata serta pengelolaan perikanan tangkap dan budidaya masih jauh dari praktik berkelanjutan. Aktivitas penangkapan ikan yang merusak lingkungan, penggunaan bom ikan, dan budidaya perikanan yang tidak menerapkan Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB) menjadi beberapa contoh nyata dari praktik-praktik yang tidak berkelanjutan tersebut.

Ditambah lagi, maraknya kasus pagar laut yang melibatkan perampasan lahan di wilayah pesisir secara ilegal baru-baru ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum di wilayah pesisir dan laut Indonesia. Peristiwa yang semakin marak terjadi di berbagai daerah ini bukan hanya ancaman terhadap ekosistem pesisir serta mata pencaharian masyarakat sekitarnya, tetapi juga indikasi lemahnya pengelolaan wilayah pesisir secara keseluruhan. Kasus ini menjadi indikator penting perlunya perhatian lebih besar terhadap pengelolaan wilayah pesisir dan laut serta penegakan hukum yang tegas. Fenomena pagar laut ini seharusnya menjadi momentum untuk reorientasi kebijakan pembangunan yang lebih berpihak pada sektor maritim dengan fokus pada pengelolaan wilayah pesisir berkelanjutan serta penegakan hukum yang tidak pandang bulu.

Potensi kelautan Indonesia sejatinya sangat besar dan mencakup berbagai sektor. Negara zamrud katulistiwa ini memiliki wilayah pesisir dan laut seluas 3,25 juta km2, termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang kaya akan sumber daya perikanan, mineral, energi, dan biota laut. Potensi perikanan yang sangat melimpah itu sayangnya belum dimanfaatkan secara maksimal karena berbagai kendala. Di samping itu, sektor pariwisata bahari juga memiliki potensi sangat besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja. Pemanfaatan energi terbarukan dari laut, seperti energi gelombang dan arus laut, juga belum tereksploitasi secara optimal. Belum lagi potensi kekayaan mineral dan biota laut yang masih menunggu untuk dikelola secara berkelanjutan.

Untuk mewujudkan potensi maritim Indonesia secara optimal, perhatian serius terhadap beberapa aspek penting sangat diperlukan di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo. Penguatan visi maritim dalam kebijakan nasional, penguatan koordinasi dan pengelolaan sektor maritim, peningkatan alokasi anggaran untuk sektor maritim, dan penetapan figur penanggung jawab maritim merupakan langkah-langkah krusial. Penegakan hukum yang tegas dan berkelanjutan terhadap pelanggaran di wilayah pesisir dan laut Indonesia juga sangat penting. Reaktivasi Dewan Kelautan Indonesia (Dekin) atau Dewan Maritim Indonesia (DMI) atau lembaga pengarah kebijakan maritim sejenisnya, dapat menjadi langkah strategis untuk memperkuat koordinasi dan pengambilan keputusan di bidang maritim, sekaligus mengarahkan pembangunan maritim Indonesia ke depan dengan lebih efektif dan berkelanjutan. Dengan komitmen dan strategi yang tepat, bangsa yang dikenal memiliki nenek moyang pelaut tangguh ini dapat mewujudkan kembali kejayaannya sebagai negara maritim terkemuka, memanfaatkan potensi lautnya secara maksimal, menghindari kerugian yang lebih besar di masa mendatang, dan mengembalikan kesehatan ekosistem laut Indonesia secara berkelanjutan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun