Mohon tunggu...
Anala Pramohani
Anala Pramohani Mohon Tunggu... -

www.dunia-aquina.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Airin

8 Mei 2011   15:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:56 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Hampir tengah malam. Aku masih merangkai huruf demi huruf, merampungkan tulisan yang sudah tertunda sebulan. Tiba-tiba susunan kataku buyar ketika suamiku memanggil dari teras depan.

“Yang..yang..ini lo ada Airin,” kata suamiku.

Dengan malas, aku pun keluar.

Sampai di pintu depan, kulihat Airin duduk ngglangsar di lantai. Menekuk kaki, menyembunyikan wajah pada helaian kain kuning. Entah apa, sapu tangan atau syal mini. Aku tak terlalu memperhatikan. Cuma air mata yang mengucur deras yang selalu ia usap pakai kain itu yang mengunci perhatian.

Kuperhatikan lebih dalam. Matanya memang sembab. Tak tahu sejak kapan ia mulai menangis.

Diantaranya isaknya, ia mengulurkan tangan. “Maaf..maaf bu,” ujarnya terisak. Aku tak menjawab, hanya tersenyum. Terpaksa tersenyum.

Ku ajak dia masuk, kupersilakan untuk menempati kamarnya lagi. Kamar yang memang kosong sejak dia pergi, seminggu yang lalu.

@ @ @

1 Juni 2010.sekitar pukul 10.30. Aku sedang menidurkan Bayn (satu tahun 10 bulan) ketika Airin mendekat. “Bu, saya mau minta maaf.” Kata dia.

Aku masih bingung ketika itu. Aku diam menunggu.

“Saya mau pulang kampung. Maaf Bu,” kata dia.

Ia merebut tanganku. Hendak diciumnya. Tapi kusembunyikan tanganku.

“Kapan,” tanyaku.

“Nanti, jam satu,” jawabnya.

“Kok mendadak. Mbok kalau mau pulang kasih tau dulu, paling nggak ya seminggu sebelumnya. Biar aku bisa nyari penggantimu dulu.”

Airin diam. “Maaf Bu,” kata dia.

Melihat diamnya, aku pun tahu tak guna menawar keinginannya lagi. “Ya sudah. Siap-siap sana,” kataku.

Sebel. Mau marah. Tapi aku tahu, percuma. Aku juga tak hendak membujuk, tak hendak menahan kepergiannyadengan alasan kerepotanku. Aku sudah cukup lama tahu, tak mungkin meminta orang lain mengerti kerepotan dan kesulitan kita. Tak mungkin mengharap orang lain berempati atau setidaknya simpatik pada kesulitan kita.

Jadi..hadapi saja. Yang artinya, siap dengan segala resiko karena kepergiannya.

Setelah Bayn terlelap, aku memasuki kamar Airin. Ia tengah bersiap-siap. Melihat aku masuk, dia duduk. Sedikit basa-basi.

“Kenapa kamu mau pulang mendadak,” tanyaku.

“Maaf Bu. Sebenarnya sejak semalam saya mau bilang. Tapi ibu di kamar terus. Ga keluar-keluar,” kata dia.

Semalam, sehabis pulang kerja, aku memang mendekam di kamar. Ngobrol dengan suami. Cukup lama. Sampai akhirnya tertidur.

“Saya nggak betah Bu,” kata Airin.

Seperti biasa, tanpa bermaksud menginterogasi, aku nanya, apa yang membuatnya ga betah. Apa aku galak, apa aku cerewet, apa kerjaannya terlalu berat.

“Ga betah aja bu,” kata dia.

Ya sudah. Percakapan Usai.

@ @ @

Airin. Perempuan Sunda, 17 tahun. Segar, bak mawar yang kuntumnya mulai mekar. Berkulit muka putih. bersih. mata sipit. bibir agak tebal. Rambut hitam lurus panjang sepinggang. Indah, sayang ada kutunya. (inilah proyek pertama setelah dia datang, membasmi kutu Airin sebelum menyebar ke seluruh penghuni rumah).

Pernah menikah. Cerai sejak sebulan lalu. Airin, contoh jandaidaman.

Tinggal di rumahku, membantu pekerjaan rumah, adalah pengalaman pertamanya di Jakarta. Ia diantarkan oleh Kholil, tetangga sebelah rumah asal Indramayu, setelah aku membayar Rp 500 ribu. Maklum Jakarta, tidak ada yang gratis di sini. Kholil menggaransi, Airin serius mencari kerja. Jadi sudah pasti tidak bakal minta pulang setidaknya dalam waktu tiga bulan ke depan. Aku percaya saja.

Hari pertama, kedua, sampai seminggu pertama semuanya berjalan lancar. Ia pun mulai membuka diri. Bercerita berbagai macam hal, mulai dari keresahannya akan noda hitam di muka (padahal tak ada apapun di sana waktu kuperhatikan), mantan suaminya yang pencemburu, kisah rumah tangganya, sampai pacar barunya.

Hihihihi…aku cukup terkaget-kaget ketika dia mengisahkan pacarnya yang bekerja di daerah Tanjung Duren. Pacar yang didapatnya meski belum genap seminggu bercerai dari suaminya. Melongo aku dibuatnya.

Hari Sabtu pertama dia bekerja padaku, tiba-tiba dia ijin. “Aku mau bertemu pacarku, boleh bu?” pinta Airin.

“Ya..tapi jangan pulang malam-malam ya,” kataku. Kebetulan aku pun libur, jadi tak masalah kalau dia mau keluar.

Keluarlah ia, aku tak begitu memperhatikan dia pulang jam berapa. Hari berlalu seperti biasa.

Memasuki minggu kedua, hari kerja seperti biasa. Aku lupa harinya, tapi ketika itu aku sedang berada di kantor. Habis magrib. Handphone ku berbunyi. SMS. Dari suami, “Airin pamit keluar. Katanya mau ketemu pacarnya,” begitu suami laporan.

Ku piker, mungkin ada yang penting. Biarkan saja.

Dua hari berikutnya, di waktu yang sama, habis magrib “my primetime” buat ngetik, lagi-lagi laporan datang. Airin pamit lagi, pacarnya minta ketemu lagi.

Yah…kalau ini udah ga bener. Maka kupertimbangkan untuk menegur Airin pelan-pelan. Aku pulang secepatnya dengan maksud harus lebih dulu tiba mendahului perempuan yang lagi kasmaran ini. Dan benar, sewaktu tiba di rumah, Airin belum datang.

Kunci pintu. Main dengan anak-anak di ruang tengah. Jam setengah sembilan, dia datang.

Kubiarkan saja dia masuk kamar. Ganti pakaian. Istirahat sejenak. Baru setelahnya aku masuk kamarnya. Mengingatkan kesepakatan awal, bahwa dia punya hari libur satu hari (Sabtu atau Minggu ketika aku libur). Dan hari libur itu bebas dia gunakan untuk apapun. Keluar rumah atau mau sekadar tidur sepanjang hari. Tak akan kuganggu dan anak2ku tak akan kubiarkan mengganggu.

“Jadi, aku tidak suka kamu keluar habis magrib ketika aku ga ada. Kamu boleh keluar kalau aku ada di rumah,” begitu pesanku.

Ia minta maaf.

Setelah itu, hari berlalu seperti biasa. Tibalah hari Sabtu. Kebetulan aku libur. Jadi kupersilakan Airin keluar. Tapi….perempuan ini tak mau keluar. “Sudah putus bu. Saya mau konsentrasi kerja aja,” kata dia.

Wah………!!!! Lah kok drastic begini, pikirku.

Ya sudah…

Kurang dari seminggu kemudian, tiba-tiba dia ngomong padaku. “Bu, saya punya pacar baru,” kata Airin.

Wkwkwkwkwk…

“Baru kenal sih. Tapi sepertinya dia serius…” kata dia.

“Siapa lagi,” tanyaku.

“Itu buk, tukang jahit dekat rumah,” kata dia.

Mampus….batinku. Semakin repot aku. Bagaimana kalau dia pacaran pas aku dan suamiku keluar…pacaran di dalam rumah.

Sejak itu, aktivitas Airin lebih banyak di luar rumah. Dia senang momong anak, tapi dibawanya pergi. Entah ke tetangga sebelah mana. Aku sendiri ga ngerti pacarnya yang mana.

Hanya saja, suatu sore…dia pamit padaku. Mau keluar, makan, katanya. Oke..pikirku.

Tapi, ternyata kebiasaan tiap habis magrib keluar rumah berlanjut berhari-hari. Suatu sore, anakku mau ikut. Eh si lelaki teriak, ga usah bawa anak kecil. Kebetulan suamiku dengar, marahlah ia. Dimakinya habis itu lelaki.

Disuruhnya masuk si Airin.

Ini berlanjut. Airin, janda cantik yang gampang dapat pacar, mulai goyah. Mulai resah. Mulai ga kerasan.

@@@

Aku memang sempat emosi waktu Airin minta pulang. Maka sebelum jam satu tiba, ku suruh ia cepat mengemasi barangnya. “Ga usah tunggu jam satu rin, sekarang aja kalau mau keluar,” kataku.

Ku tolak niatnya untuk mencuci piring dan beres-beres dapur. “Tidak, kalau mau keluar keluar saja. Itu urusanku,” kataku.

Ia pergi.

Aku berjanji tak sakit hati. Ku beri uang tambahan malah, selain gajinya.

Suamiku yang sakit hati. Karena ia tahu persis, Airin tak pulang. Tapi pindah kerja. Kerja konveksi, rekomendasi pacar barunya.

Satu dua hari terakhir, ia memang terlihat bimbang. Kerjaannya melamun, tak konsentrasi. Ketika ditanya, akhirnya ia bercerita. Pacar barunya ngajak kawin. Satu dua bulan ke depan, katanya.

Hahahaha….ini anak susah dibilangin.

Kembali ke kerjaannya, ia memang akhirnya ngontrak satu kamar masih sekitar daerahku. Kebetulan pemilik kosnya adalah teman suamiku. Jadi kami tahu.

Aku sebenarnya mulai sakit hati…tapi kutahan. Ternyata ia membohongiku. Dia bilang mau pulang kampung. Ke tempat orang tuanya, nanti pacarnya datang sebulan sekali.

Ternyata dia pindah kerja. Mungkin yang lebih bebas pacaran, pikiran negatifku muncul. Bodo aja ah. Aku cukup bersyukur dia cepat-cepat keluar dari rumahku. Daripada nanti kejadian ada apa-apa, ikut menanggung akibatnya malah repot.

Aku mencoba tak peduli dengan Airin.Lima hari berlalu. Tiba-tiba suamiku bercanda, “Yang..kalau Airin mau kerja di sini lagi, mau terima lagi ga?”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun