Kami bertemu suatu hari di sebuah angkringan bertenda kuning tua yang sudah lusuh terpanggang matahari dan terguyur hujan. Saat itu kota sedang diguyur hujan lebat. Aku baru saja turun dari bus kota. Hujan sudah turun sekitar 10 menit yang lalu.
Maksudku ke kota ini sebenarnya hanya ingin jalan-jalan mencari produk perak yang konon terkenal sampai luar negeri. Tapi ternyata musim hujan sedang mengungkung kota ini. Seorang teman menyuruh untuk berteduh saja di salah satu angkringan yang berjajar sepanjang trotoar.
“kamu ‘kan penulis! Siapa tahu dapat inspirasi disana. Itung-itung nerusin hobinya WS Rendra.” Katanya. Yang kutahu pasti ngawur.
Tapi kuturuti juga. Dia juga sudah berjanji menjemputku begitu hujan sudah tidak begitu lebat. Aku mencari angkringan terdekat sambil berlari-lari kecil.
Seorang perempuan tua menyambutku dengan senyuman ramah.
“Monggo! Badhe ngersakke nopo?” tanyanya. sambil menurunkan anak kecil dari gendongannya.
“Teh tawar anget, bu!” jawabku. Kuhempaskan pantat di lincak. Aku menaruh ransel disampingku dan menarik PC tablet-ku. Seperti biasa, saat itu juga perhatianku terputus dari dunia nyata.
“Bu, teh anget satu!” sebuah suara samar-samar tertangkap telingaku. Aku mematikan tablet. Bermaksud meraih segelas teh yang tersaji di depanku.
Laki-laki itu tersenyum padaku. Aku membalas senyumnya canggung.
“Baru pertama kali kesini, ya Mbak?” tanyanya. masih memamerkan senyumnya.
Aku mengangguk. “Iya! Kebetulan juga karena hujan.”
Dia mengangguk-angguk mengerti. Sesaat kemudian mengangsurkan tangannya padaku,
“Kenalin, saya Jingga!”
Aku terpaku menyambut tangannya, “Saya Lembayung!”
Laki-laki bernama Jingga itu termangu sejenak, sedetik kemudian dia tertawa, “Nama kita berhubungan, ya?”
Aku ikut tertawa, ini sungguh kebetulan yang sangat unik. Nama kami memang berhubungan dengan satu waktu yang sangat kusukai sejak kecil,
Senja!
Laki-laki itu kemudian bercerita bahwa dia lahir di waktu senja, dimana langit tampak berwarna jingga. Aku ingat, saat dia bercerita warna cokelat terang di iris matanya berkilat penuh humor.
Entah kenapa, seperti biasanya otak penulisku langsung menciptakan berangkai-rangkai kalimat. Tentang laki-laki yang begitu ekspresif itu, senyumnya yang menular, mata cokelat terang yang berkilat-kilat, jaket hitamnya yang terlihat sudah pudar warna aslinya, nama kami yang saling berhubungan. Aku teringat puisi milik Sapardi Djoko Damono tentang hujan.
Tanpa terasa, hujan diluar sudah sedikit lebih reda. Ponselku berdering menghentikan percakapan seru kami—kami baru saja bercerita tentang sejarah kota ini.
Km lgi ngbrol sma sp?
Ampe lpa sm tmn sndri! -_-`
Aku tertawa membaca pesan dari temanku ini. Sudah dapat dipastikan dia sudah melihatku. Aku menoleh ke kiri dan melihatnya melambai kepadaku. Laki-laki itu menatapku sambil mengangkat sebelah alisnya,
“Maaf! Temanku sudah datang. Aku harus pergi!” kujelaskan padanya, pamit. Aku ganti menghadap ibu-ibu tua penjualnya yang sedang menghitung uang.
“Bu! Saya sudah, berapa semuanya?”
“Lah Cuma teh hangat to, Mbak? Ya dua ribu saja!” kuangsurkan uang lima ribuan, cepat-cepat ibu-ibu tua itu mencari kembalian.
Setelah menerima kembalian, aku ganti menoleh ke laki-laki bernama Jingga yang masih menatapku itu. Aku memamerkan senyum penuh permintaan maaf.
“Saya pamit dulu, ya?” ujarku.
Dia mengangguk. “Baiklah, Tapi aku yakin kita bakal ketemu lagi. Di suatu senja nanti!”
Aku mengangguk setuju. Kemudian berbalik meninggalkannya. Menghampiri temanku.
Aku menyimpan doa yang sama.
Semoga...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H