Mohon tunggu...
Arifah Suryaningsih
Arifah Suryaningsih Mohon Tunggu... profesional -

\r\n

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Saptuari, si Generasi Y yang Tidak Butuh Gelar Pahlawan

10 November 2012   06:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:40 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saptuari Sugiharto, mendengar namanya sudah sering, melihat dan bertemu langsung dengan orangnya baru beberapa hari yang lau, ketika penulis berkesempatan mengikuti acara seminar creative dalam rangkaian acara Pinasthika 2012 di Hotel Melia Purosani Yogyakarta. Tidak ada yang istimewa dari penampilannya. Sederhana dan simple, itu saja. Dengan gaya yang santai dan sedikit kocak dia mulai membuka dan mengawali acara seminar pagi itu dengan sapaan ringan kemudian memimpin doa. Expektasi penulis terhadap seminarnya adalah bahwa dia akan bercerita tentang bagaimana pemuda asal Yogyakarta itu membangun bisnis kedai digitalnya yang sangat berkembang pada usianya yang baru 33 Tahun, bercerita tentang petualangannya jatuh bangun dalam berwirausaha, bercerita tentang perjuangan hidupnya dan juga tentang dirinya atau mungkin dia akan bercerita tentang bagaimana dia mendesain sampai dengan mempromosikan semua produk-produknya.

Ternyata tidak! Tidak satu pun cerita-cerita itu muncul. Dia bercerita tentang orang-orang yang ada di sekitar kami yang kurang beruntung, membutuhkan uluran tangan orang lain karena ketidak berdayaan mereka, karena Tuhan memberikan cobaan sakit yang tidak ada seorangpun memintanya, atau bahkan membayangkannya sekalipun. Seorang Saptuari yang CEO Kedai Digital Corp yang saat ini, pada tahun ke-7 sejak pendiriannya, Kedai Digital memiliki kurang lebih 55 cabang yang tersebar di 35 kota di Indonesia, Founder Jogist Kaos Gila, Winner WMM 2007 (Wirausaha Muda Mandiri) , Winner ISMBEA 2008 (Indonesia Small Medium Business Entrepreneur Award), Most Promising APEA 2009 (Asia Pasific Entrepreneur Award), Best Young Entrepreneur IFA 2010 (Indonesia Franchise Award). Ternyata tidak sekedar mampu membuka lapangan kerja untuk orang-orang disekitarnya, membuka kesempatan berwirausaha kepada semua orang dengan model bisnis franchisenya, namun juga mampu membuka mata sekaligus mengajak semua orang, untuk menjadikan hidup lebih berarti dan bermakna bukan saja untuk diri sendiri, tapi untuk orang lain dan juga Tuhan.

Sejak tulisan yang dia posting di blognya, www.saptuari.com tentang Putri Herlina bulan Juni 2011 lalu, respon dari pembaca blog dari seluruh jagat dunia maya sungguh luar biasa! Komentar di blognya, sms di handphonenya, ribuan follower dan mention di twitternya tentang ajakan dan keajaiban bersedekah terus-menerus berkicau, menularkan virus kebaikan di antara riuhnya ribuan kicauan lain di jagat maya ini. Dia mampu terus bergerak dan menggerakkan orang-orang dari seluruh penjuru dunia, dari berbagai latar belakang profesi, latar belakang ekonomi, dari berbagai macam suku untuk satu tujuan, yaitu bersedekah untuk kaum duafa demi mencari muka di depan Tuhan. Hingga sampai dengan hari ini seorang Saptuari mampu mengajak mereka semua untuk mengumpulkan dana sehingga mencapai tujuh milyard lebih, tepatnya 7,084,852,421 (tujuh milyar, delapan puluh empat juta delapanratus lima puluh dua ribu empat ratus dua puluh satu rupiah), (www.sedekahrombongan.com, 10 November 2012.)

Semuanya hening dan terpaku, bahkantidak sedikit yang tanpa sadar meneteskan air mata mendengar dan melihat Saptuari berbagi cerita dengan foto-foto dan video perjuangannya menyampaikan amanat orang-orang tak dikenal itu bersama-sama dengan timnya, melihat ekspresi bahagia dari para kaum duafa yang telah terbantu dari kegiatan itu, melihat tangis haru mereka, juga tentang ketegaran bocah lucu yang menjadi malang karena sakitnya.

Apa yang tertangkap dari seminar tersebut bukan saja tentang keajaiban bersedekah, namun banyak yang dapat kita refleksikan, kita maknai dan kita teladani. Bahwa dunia sudah berubah, dunia yang sekarang adalah dunia digital, semua sisi kehidupan kita mau tidak mau pasti akan bersentuhan dengan teknologi digital ini. Sangat salah jika kini ada orang memaknai kehadiran internet dan segala macam gadget yang banyak dipakai kaum muda adalah suatu hal yang negatif. Menjauhkan dari budaya bersosialisasi dan bersilaturahmi didunia nyata. Cerita yang penulis sampaikan diatas membuktikan bahwa betapa hebatnya dampak sebuah kicauan di twitter, betapa dahsyatnya respon dari postingan-postingan foto dan video di sebuah blog. Saptuari dan kawan-kawannya adalah sosok generasi Y, mereka tidak butuh gelar kepahlawanan terhadap apa yang telah mereka lakukan, mereka tidak butuh sorotan media, dan tidak juga butuh pujian. Mereka dikenali sebagai Generasi Y (baca: generasi way), mereka lahir sekitar tahun1977-2002. kata Cathy O’Neil, VP senior di perusahaan pengelolaan SDM Lee Hecht Harrison di Woodcliff Lake, New Jersey.“Keinginan mereka berbeda. Generasi millennium ini menunggu untuk mendapat masukan dari hasil kerja mereka.” Dari kecil mereka diajari berpikir terbuka dan bebas menyuarakan pandangan dan keinginan mereka. Guru-guru dan orangtua membentuk generasi ini bebas berpikir, sering diberi feedback, pujian, dan dorongan. Mereka dibesarkan di zaman yang paling ‘aman’ dalam sejarah dan layak mengharapkan lebih banyak dari generasi sebelumnya. Bukan sekadar kebendaan, juga tempat kerja yang menawarkan peluang yang tidak terbatas. Hasilnya mereka sangat percaya diri, berani bersuara, dan tidak malu menyatakan pandangan. Ini menjadikan mereka generasi yang tidak lagi hanya memikirkan uang semata. Mereka inginkan keadilan di dalam menilai pekerjaan mereka dan dihargai tidak hanya dengan gaji. Mereka juga tidak akan menghormati seseorang hanya karena jabatan atau senioritas. Mereka hanya akan menghormati orang yang memperlihatkan sikap hormat kepada mereka. Kesetiaan bagi mereka tidak hanya dibangun dari bawah ke atas tetapi juga harus dari atas ke bawah. (http://esq-news.com, 9 Oktober 2012).

Mereka adalah pahlawan, yang tidak pernah mau disebut pahlawan, bagi kaum duafa, bagi sesama, bagi anak-anak mereka, dan juga bagi semua orang yang menjadi terbuka dan tergerak mata hati dan pikirannya dengan apa yang telah mereka lakukan. Dengan cara mereka, dengan dunia mereka, diantara segala macam aktivitas dan rutinitasnya dalam mengaktualisasikan diri. Sebagai generasi apapun kita terlahir, cerita kepahlawanan dapat kita ukir dalam sejarah kehidupan kita masing-masing, semua ada tempat dan caranya sendiri untuk bisa menjadi pahlawan bagi orang lain, ketika kita mau berbagi dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk sesama. Seperti kata Saptuari, “Emas diukur dengan karat, manusia diukur dengan manfaat”. Selamat Hari Pahlawan untuk kita semua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun