Kita, warga Indonesia, pasti mengerti betapa cantiknya Indonesia. Tapi, sadarkah kita bahwa di sebaliknya, kita diintai oleh kekuatan dahsyat yang siap memunahkan peradaban. Nusantara yang kita pijak merupakan ‘rumah’ bagi sekitar 127 gunung berapi aktif. Juga tempat bertemunya lempeng-lempeng besar dunia. Gunung meletus, gempa tektonik, hingga tsunami bisa terjadi kapan saja di rumah kita, Indonesia. Kesadaran itulah yang hendak di luaskan oleh tim Ekspedisi Cincin Api Kompas (ECAK) kepada masyarakat Indonesia. Dan Rabu siang kemarin (12/12) saya berkesempatan untuk mengenal wawasan tersebut lewat talkshow dan pameran foto yang digelar oleh Kompas.
Mengambil tempat di lobi gedung Kompas Gramedia, acara dibuka dengan suguhan dongeng yang dibawakan oleh Agus M. Toh. Dengan gayanya yang khas dan memancing tawa, Agus M. Toh mencairkan suasana yang kaku. Lewat narasinya yang berirama Agus M. Toh mengabarkan tentang dua sisi alam Indonesia, keindahan dan bencana. Dongeng yang menarik tanpa saya harus merasa jadi anak-anak untuk mendengarnya dan tertawa-tawa bersama peserta yang lainnya. “Apa benar kita mengenal Tambora? Apa benar kita mengenal Rinjani? Apa benar kita mengenal Krakatau?” serentetan pertanyaan sederhana tapi pelik ini disampaikan oleh wakil pemred Kompas, Budiman Tanuredjo, dalam sambutannya. Sederhana karena kita tinggal menjawab ‘ya’ atau ‘tidak’. Namun pelik karena pertanyaan itu sekaligus menyentil ke-Indonesia-an kita. Selama ini, dari pengetahuan yang kita peroleh dari bangku sekolah, terlintas sebutan-sebutan mewah semacam ‘zamrud khatulistiwa’ atau ‘kepulauan cincin api’. Terdengar hebat dan membanggakan. Tapi pernahkah terlintas citra apa yang bersemayam di sebalik kehebatan itu? Inilah yang coba di jawab oleh tim ECAK. Liputan intensif selama setahun sejak September 2011 yang dipimpin oleh Ahmad Arif itu menghasilkan sebuah buku berjudul Hidup Mati diNegeri Cincin Api. Ahmad Arif hadir sebagai nara sumber utama dalam talkshow yang berlangsung selama hampir dua jam tersebut. Turut memberikan suaranya pula Eddy Hasby, Fikria Hidayat, dan Herwanto dari awak tim ekspedisi. Hadir pula Wijo Kongko, seorang ahli kegempaan dan gunung api. “Mas Wijo Kongko ini salah satu ahli yang langka di Indonesia, lo... hahaha” kelakar Ahmad Arif. Menurut Ahmad Arif, ekspedisi ini mencoba mengabarkan tentang sisi lain dari hal-hal indah yang dimiliki Indonesia. Indonesia memiliki potensi bencana yang tidak main-main. Toba misalnya, sebelum kini menjadi lanskap danau dan pegunungan indah dulunya Toba adalah gunung raksasa yang meletus hebat. Atau Tambora yang letusannya sampai memunahkan kebudayaan sebuah kerajaan di lerengnya. “Namun, fenomena itu juga memunculkan kekayaan di negeri kita. Salah satunya adalah keanekaragaman hayati.” Terang Ahmad Arif. Untuk memperjelas penjelasan Ahmad Arif, para peserta diputarkan sebuah episode ECAK yang pernah tayang di Kompas TV. Sebuah tayangan tentang Pulau Sulawesi yang karena proses geologinya mampu menunjang evolusi satwa-satwa endemik seperti babi rusa, anoa, atau maleo. “Kita ini hidup di negara bencana, tapi dianugerahi alam yang bagus. Kita punya tempat studi alam yang sangat baik.” Kata Herwanto dari Kompas TV memberi tambahan. “Tahu Gunung Batur, kan? Gunung Batur ini sedang diproses untuk jadi geopark dunia. Jadi nantinya kalau mau belajar geologi bisa langsung ke sana.” tutur Fikria Hidayat dari kompas.com. Jika pembaca sempat menilik website ECAK di cincinapi.com dan mencicipi foto 360 derajat yang ditampilkan di situ, Fikria Hidayat inilah salah satu pembuatnya. Selain bertutur tentang gunung-gunung api dan bencana, dalam talkshow ini juga narasumber berbagi pula pengetahuan fotografi yang diterapkan selama ekspedisi. Dalam pembuatan video-video dokumenternya, tim ekspedisi banyak memakai teknik time lapse. Dan secara khusus dijelaskan pula trik sederhana membuat foto 360 derajat dengan berbekal kamera DSLR. Mengapa video dan foto-foto juga sangat konsen dikerjakan selama ekspedisi ini? “Karena kita ekspedisi bukan hanya ingin bercerita tentang gunung atau laut. Lebih dari itu kita juga mendokumentasikan budaya dan kehidupan di sekitarnya yang unik.” Terang Herwanto. Narasi tentang gunung, laut, danau, dan bentang alam lainnya memang tak bisa dilepaskan pula dari cerita-cerita manusia yang mengakrabinya. Seperti dijelaskan dalam berita pers yang dirilis oleh Kompas yang saya kutip berikut ini. “Nyatanya, di atas bumi yang bergolak ini, masyarakat tumbuh dan berkembang selama ribuan tahun. Gunung api memang bukan hanya soal geologi dan geofisika, melainkan juga masalah budaya. Berkali-kali letusan gunung api merenggut kehidupan. Namun masyarakat selalu kembali dalam naungan Kerajaan Gunung Api, karena di balik kehancuran yang diakibatkannya, gunung api menyimpan berkah yang menghidupi.” Ahmad Arif menjelaskan bahwa gunung itu bukan hanya wijud geologi, tapi juga memiliki elemen budaya. Masyarakat yang hidup di sekitarnya menganggap gunung bukan hanya secara fisiknya, tapi juga metafisiknya. Hal ini dapat dilihat di Bali misalnya, jika lereng-lereng gunung dibangun sebuah pure, hal itu sebenarnya merupakan tindakan mitigasi oleh masyarakat. Gunung yang tampak diam dan subur itu, menyimpan kekuatan dahsyat. Keberadaan pure itu adalah penanda hal tersebut. Dalam kehidupan masyarakat-masyarakat sekitar gunung berapi dan pesisir yang pernah dilanda bencana di masa lalu, selalu hadir hikayat-hikayat lokal yang berusaha mengabarkan akan bencana di masa lalu. Cerita-cerita itu hidup dan diwariskan melalui tradisi lisan. Dari cerita-cerita dongeng itulah generasi yang lebih muda belajar tentang bencana. Juga tentang bagaimana mereka bertahan hidup menghadapinya. Inilah sistem pengetahuan mitigasi bencana yang indigen milik masyarakat kita. “Suatu saat tim kami meriset sebuah babad dari keraton Yogyakarta. Babad tersebut berjudul Babad Ing Sangkala. Uniknya dalam babad tersebut kami temui beberpa informasi tentang tanda-tanda terjadinya sebuah bencana dan apa yang harus dilakukan masyarakat untuk bertahan hidup.” Kata Ahmad Arif memberi contoh. Sebagai orang Jawa saya memahami apa itu Sangkala. Dalam bahasa Indonesia dapat dipadankan dengan pertanda atau penanda akan terjadinya sebuah peristiwa. Artinya masyarakat kita di masa lalu telah berusaha mewariskan sistem pengetahuan mitigasi bencana kepada generasi kita yang sekarang. “Tradisi lokal itulah yang juga menjadi penyelamat masyarakat. Saya yakin pasti masih banyak lagi. Tapi sayangnya kita kurang aware.” Lanjut Ahmad Arif. ECAK, berbeda dengan ekspedisi Kompas yang sudah sudah, memang hadir dalam bentuk jurnalistik yang terbilang baru. Taufik Rahzen dalam kolom opininya di harian Kompas di hari yang sama menuturkan bahwa apa yang dilakukan oleh ECAK merupakan beyond Journalism. Jurnal yang melampaui Jurnalisme. Hadir dalam berbagai macam media membuatnya tak hanya sekadar menyajikan informasi. Selengkapnya Taufik Rahzen menulis: “Jurnalisme Cincin Api mencoba membabarkan sekaligus melampaui peristiwa, sebuah rekaman yang bersifat antisipatoris. Ia meletakkan alam, benda-benda, peristiwa, ingatan, pengetahuan, bencana dan daya hidup dalam sistem kesadaran bersama. Masa lampau yang panjang dan masa kini dipadatkan untuk menyusun tindakan bagi mereka yang belum lahir.” Selama proses ekspedisi ini juga terungkap bahwa cabang-cabang ilmu yang selama ini tampak terpisah-pisah ternyata memiliki penghubung di satu titik. Seperti simpul yang menghubungkan dua tali berbeda. ECAK memang melibatkan banyak sekali ahli dari berbagai disiplin ilmu seperti arkeologi, botani, geologi, antropologi, bahasa, dan sejarah. Dan dari proses yang terjadi di lapangan, ilmu-ilmu yang tampak berjauhan itu ternyata memeiliki kedekatan. “Hal yang unik terjadi. Dalam ekspedisi ini sering kami menemui penjelasan-penjelasan ilmiah yang saling berhubungan. Jadi ternyata ilmu-ilmu yang selama ini kita anggap berbeda ternyata ada hubungannya.” Terang Ahmad Arif.
***
Selesai talkshow banyak peserta yang tak langsung pergi meninggalkan tempat acara. Bersebelahan dengan ruang yang dipakai untuk talkshow juga digelar sebuah pameran karya foto selama ekspedisi. Saya sebagai penghobi fotografi sangat menikmati sajian foto-foto dalam pameran tersebut. Tidak hanya menampilkan lanskap gunung dan laut, seperti juga yang dikatakan oleh Herwanto dalam talkshow, foto-foto itu juga menampilkan lanskap budaya masyarakat gunung api. Melalui foto-foto dalam pameran tersebut segala hal yang didiskusikan sebelumnya seperti menemukan bentuk kongkretnya. Kembali lagi pikiran ini disegarkan dengan imaji-imaji penuh warna tentang keindahan alam dan budaya Indonesia. Namun, di balik kecantikan imaji-imaji tersebut, kembali terasa pula deposit kekuatan dahsyat yang tersimpan di ketinggian gunung dan kedalaman samudera. Indonesia adalah Negeri Cincin Api.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H