Mohon tunggu...
Faesal Mubarok
Faesal Mubarok Mohon Tunggu... Mahasiswa - Menulis seputar politik, sosial dan keolahragaan

Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Media Sosial Membentuk Sikap Nasionalis atau Narsis?

9 November 2022   16:09 Diperbarui: 9 November 2022   16:12 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Di media sosial, kita terlampau sering melihat masyarakat Indonesia yang overproud. Ketika jati diri Indonesia diremehkan orang asing, maka spontan masyarakat Indonesia akan marah. Ekspresi nasionalisme seakan membara saat itu juga. Sebaliknya, ketika nama Indonesia diagung-agungkan atau bahkan sekedar disebut di film luar negeri, maka masyarakat Indonesia cenderung overproud. Padahal, menyematkan unsur keindonesiaan bisa saja hanya sekadar marketing.

Sikap ini kerap dimanfaatkan oleh orang asing untuk meraup untung. Contohnya konten-konten oleh orang Korea yang tengah marak memenuhi Youtube hanya sekadar reaction video berbau Indonesia. Alhasil mereka mendapat banyak viewers lokal yang merasa bangga. Dari fenomena ini, terbentuklah rantai simbiosis mutualisme yang terus langgeng. Orang luar mendapat adsense dari hasil memanfaatkan perilaku overproud, sedangkan masyarakat Indonesia mendapatkan konten yang membuat mereka bangga bahwa Indonesia telah dikenal di berbagai negara.

Lalu, apakah fenomena ini sebagai ekspresi nasionalisme atau hanya overproud? Dan kenapa masyarakat Indonesia haus pengakuan internasional?

Jawaban tersebut bisa kita telaah saat masa kepemimpinan Presiden Soekarno. Proyek ambisius tengah marak dilakukan Soekarno karena saat itu Indonesia akan menjadi tuan rumah Asian Games 1962. Untuk menyelenggarakan acara besar tersebut, Indonesia membangun proyek pembangunan besar-besaran seperti membangun Stadion Gelora Bung Karno, Hotel Indonesia, Masjid Istiqlal, Jembatan Semanggi, Monas, dan pembangunan jalan raya secara cepat. 

Proyek pembangunan besar-besaran ini dikenal sebagai Politik Mercusuar. Tujuannya untuk memberi citra kemegahan bangsa Indonesia di mata dunia. Namun, pembangunan ini menimbulkan dilematik. Indonesia kala itu masih belum memiliki kas negara yang mumpuni. Kelaparan sebagai masalah krusial saat itu juga masih belum mendapat perhatian penuh. Namun, apa tanggapan Presiden Soekarno?

"Ya, memberantas kelaparan memang penting, tetapi memberi jiwa mereka yang telah tertindas dengan sesuatu yang dapat membangkitkan kebanggaan, ini juga penting." Ucap Soekarno.

Bagi presiden pertama Indonesia itu, pembangunan infrastruktur megah adalah bagian penting dari pembangunan psikologis bangsa. Hal tersebut sebagai wujud bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa besar, modern, pintar, dan rasional. Jauh dari image bangsa jajahan yang lemah. 

Presiden Soekarno kala itu menganggap bahwa kemerdekaan bukan sekadar mengusir penjajah, namun juga menghapus rasa rendah diri dihadapan bangsa-bangsa di dunia. Oleh karena itu, kemegahan yang ditujukan untuk perhatian dunia lewat pembangunan infrastruktur adalah salah satu ekspresi nasionalisme. 

Namun, apa sebenarnya nasionalisme itu?

Secara harfiah, nasionalisme berasal dari kata nation yang berarti bangsa. Bangsa adalah sekelompok manusia yang hidup dalam suatu wilayah tertentu dan memiliki rasa persatuan yang timbul karena kesamaan sejarah, serta memiliki cita-cita bersama yang ingin dilaksanakan di dalam negara. Menurut Ernest Renan, nasionalisme adalah suatu keinginan untuk dapat bersatu dan bernegara. Dalam hal ini, nasionalisme sebagai suatu keinginan besar untuk dapat mewujudkan persatuan dalam suatu negara.

Namun sampai saat ini, nasionalisme masyarakat Indonesia dikondisikan kala dunia mengenal dan mengakui bangsa Indonesia. Ketika masyarakat luar negeri memberi atensi terhadap bangsa Indonesia, spontan rasa nasionalisme jadi semakin kuat. Dari hal ini, sebuah pengakuan dan penerimaan memang dua hal penting bahkan di level politik internasional. Sebuah negara diakui sebagai negara yang berdaulat apabila memperoleh pengakuan. Namun melihat dari sisi lain, obsesi akan pengakuan dan penerimaan yang datang dari masyarakat secara berlebihan bisa dikatakan sebagai narsisme kolektif. 

Nasionalisme yang dibangkitkan melalui Politik Mercusuar kala pemerintahan Soekarno hanya membangkitkan gejala overproud. Gejala overproud yang marak diproduksi media bisa disebut sebagai narsisme kolektif, yakni sifat bangga suatu kelompok yang bergantung pada pengakuan kelompok lain. Dalam KBBI, narsisme adalah keadaan mencintai diri sendiri secara berlebihan. Sedangkan overproud sendiri dicirikan oleh persepsi berlebihan akan Indonesia yang besar, spesial, berbeda, serta kebutuhan untuk terus dipuji. Pada aspek lain, gejala overproud juga menyangkut pada rasa inferior dan rasa malu yang tertanam kuat sejak masa kolonial. Dua sisi gejala overproud ini memunculkan perasaan hyper sensitive, defensive, dan agresif terhadap kritik atau hinaan (Remotivi, 2022).

Gejala narsisme kolektif masyarakat Indonesia kerap dimanfaatkan oleh media. Orang luar negeri dengan gampangnya memanfaatkan sikap overproud masyarakat Indonesia. Youtuber bule yang mencoba berbicara bahasa Indonesia sudah pasti diminati netizen yang bangga akan itu.

Media sosial yang kian berkembang membuka ruang bagi banyak content creator luar melihat peluang dari sifat masyarakat Indonesia yang mudah overproud. Penggunaan media sosial yang dekat dengan masyarakat tentu akan menimbulkan pelanggengan sifat narsisme kolektif dan overproud yang terus-menerus tumbuh. Menurut Suci dan Tatang (2022) dalam tulisannya menyebut bahwa sikap overproud justru mengakibatkan gejala-gejala yang merusak nasionalisme. Aktualisasi dari sikap ini hanya pada mencari validitas bukan membangkitkan semangat nasionalisme yang sesungguhnya.

Lalu, apa yang diperlukan masyarakat Indonesia untuk bisa terlepas dari sifat narsis dan overproud? Pada dasarnya, perlu sebuah pemahaman bahwa bangsa yang hebat bukan bangsa yang secara informal diakui dan diagung-agungkan lewat media sosial. Bangsa Indonesia hebat karena semangat perjuangan yang telah ada sejak dahulu. Hal ini mutlak menjadi kebanggaan dan semangat nasionalisme bangsa.

Perlu diingat bahwa ekspresi nasionalisme tidak terletak pada setiap sikap marah saat Indonesia disinggung, melainkan sikap untuk merefleksikan kritik dan mau belajar untuk kemajuan bangsa. Nasionalisme juga tidak berwujud pada kesigapan masyarakat membela Indonesia saat dihina, tetapi mengambil setiap masukan yang ada untuk terus tumbuh menjadi bangsa yang baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun