Mohon tunggu...
Fadzul Haka
Fadzul Haka Mohon Tunggu... Wiraswasta - Follow Thyself!

Wirausahawan yang menyamar jadi penulis. Di samping tulis-menulis dan berdagang, saya mengaktualisasikan gelar Sarjana psikologi dengan merintis riset mengenai dramatherapy dan poetry therapy secara otodidak. Nantikan tulisan saya lainnya: Cerpen dan Cerbung Jum'at; Puisi Sabtu; dan Esai Minggu. Saya senang jika ada kawan diskusi, jadi jangan sungkan-sungkan menghubungi saya: email: moch.fariz.dz13@gmail.com WA: 081572023014

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cantik tapi Layu

22 Mei 2020   14:37 Diperbarui: 22 Mei 2020   14:38 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Singkat cerita, pada hari itu Ayu segera menemui dokter spesialis yang direkomendasikan Candra. Tentunya, dia pergi keluar dengan mengenakan pakaian tertutup, kerudung, sarung tangan, dan cadar, demi menutupi kulit mudanya yang kemerahan, perih, juga gatal-gatal. Pemeriksaan itu tidak berlangsung lama, sebab tak ada jawaban pasti untuk kelainan Ayu, dia harus menunggu uji laboratorium. Untuk saat ini, si dokter merekomendasikan salep khusus dan menyarankannya untuk berobat bila keadaannya semakin memburuk.

Itulah yang terjadi. Selepas mengganti pakaian, Ayu menjadi manusia merah muda yang seolah-olah baru saja direbus. Sobekan kulit-kulit matinya menyanggkut di dalam pakaian atau menggulung bersama kulit yang tengah mengelupas. Di balik kerudungnya, rambut bergelombang sebahu yang dulu mengilap, kini tampak jarang-jarang tak ubahnya rerumputan di lapangan tandus. Bibirnya yang kering mengerut nyaris mirip kismis dan terasa perih setiap kali disentuh atau dibasahi ludahnya. Di hadapan nasib ini, dia menangis sejadi-jadinya di atas kasur. Rasanya, lebih baik mati saja daripada terluka berkali-kali tanpa kesembuhan.

Sudah beberapa hari ini si primadona tidak masuk kerja. Kabar terakhir yang mereka terima adalah kalau Ayu sedang sakit tanpa kabar tentang sebab musababnya, juga di mana dia dirawat. Minggu-minggu telah berlalu sampai musim pun berganti, namun tetap saja tak ada kabar dari Ayu. Akhirnya, Betty dan Candra memutuskan untuk  menjenguk sahabat mereka. Setibanya di depan pintu kosan mereka, dua orang penghuni kamar lain sempat berusaha mendobrak pintu kamar nomor 26. Dari luar samar-samar tercium bau tak karuan yang bercampur dengan aroma parfum dan lotion yang sudah barang tentu dikenali dua pekerja salon tersebut. Begitu pintu kamar berhasil didobrak, bau-bauan tadi segera menyambut mereka dengan tusukan tanpa ampun pada penciuman para tamu tak diundang itu. Dalam kamar yang lembab lagi pengap ini, kengerian yang menunggu mereka ada di balik selimut.

Candra mengundang sinar matahari terang dan udara segar dengan membukakan tirai dan jendela. Di balik selimut itu ternyata bukan tubuh Ayu, melainkan gundukan botol bedak, parfum, krim pelembab kulit, dan salep yang tersusun serapi-rapinya sampai nyaris mirip badan manusia yang terbaring saat masih diselubungi selimut. Dalam lemari yang menganga, tak ada satu pun tanda ada benda yang hilang dicuri atau tampak bekas dipindahkan. Sementara makanan basi, tumpukan piring dan gelas kotor di wastafel, juga pakaian kotor sekeranjang yang menguarkan bau apek, tampak tak tersentuh oleh si empunya kamar. Tak ada apa pun yang mencurigakan di dalam kamar mandi. Apakah botol-botol kosong yang tersusun sedemikian rupa itu pesan yang ingin disampaikan Ayu atau mungkin penculiknya?

"Malam waktu itu, di sini ada ledakan cahaya, sekarang ini?!" Cetus salah seorang penghuni kamar lain. Betty dan Candra melempar tanya satu sama lain dari pandangan masing-masing.

Apa yang terjadi pada malam yang disinggung tadi? Kemana perginya seonggok kulit mati dan gundukan rambuk rontok si gadis penata rias? Saat terakhir Ayu sebelum dikhianati oleh kulit yang selalu dimanjanya, dia merasakan bahwa segala perih, gatal, dan terpaan panas yang senantiasa menyelimuti kulitnya perlahan terasa terangkat bersama dengan kepergian seluruh kulit yang melapisi otot-ototnya. Kemudian Ayu tak dapat lagi berkedip, juga merasakan apa pun, untung saja kamar ini gelap jadi tak ada bedanya. Hal terakhir yang didengarnya adalah derit pintu lemari, lalu semilir angin yang membawakan wangi-wangian yang selama ini dikenalnya betul.

Dalam kepekatan campuran aroma sabun, parfum, dan lotion, Ayu mendengar sebuah ucapan perpisahan, "Kecantikan itu harus digali keluar, tetapi dengan harga yang tak terbayar..."

Sayangnya, Ayu tak dapat membalas pesan itu, bukan suara yang keluar dari tenggorokan dan rongga mulutnya, melainkan tiupan udara yang juga menyeret bunyi-bunyi serak -- terputus-putus. Kedua rahangnya telah berjauhan. Dalam satu jepretan, Ayu bermandikan cahaya, menyaksikan sekilas kecantikan yang dulu dimilikinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun