Misteri soal mitos orang Minangkabau sebagai keturunan dari Iskandar Zulkarnain (Alexander Agung dari Macedonia) tidak henti-hentinya menjadi bahan perdebatan sekaligus penelitian. Tidak ada bukti-bukti tertulis dan ranji silsilah yang dapat dijadikan rujukan. Reaksi dari para penerima cerita ini juga cenderung terbagi antar dua kutub ekstrim yaitu kutub sinisme yang nyata-nyata menolak dan antipati terhadap cerita itu bahkan sedikitpun tidak mau mendengar, bahkan malu akan cerita yang mengada ada itu, dan kutub fanatisme yang menerima secara buta dan bangga sebagai sebuah ideologi turunan.
Diluar itu semua saya menemukan di luar sana berserakan serpihan-serpihan yang tak terbantahkan memiliki kaitan dengan Kebudayaan Hellenisme, Sistem Matrilineal dan Sistem Pemerintahan Nagari yang betul-betul khas Yunani. Untuk menjawab semua itu, saya menenggelamkan diri dalam kutub ketiga yaitu kutub kritis dan peneliti. Saya akan mendengar semua sumber baik logis maupun mitos, saya akan memperluas cakupan kajian dengan tidak hanya terkurung dalam tempurung keminangkabauan. Saya memandang mitos tidak dengan cara benar atau salahnya mitos tersebut, namun dengan titik fokus kenapa mitos itu tercipta. Mitos menyimpan kunci-kunci nama tokoh, nama tempat, dan kejadian walaupun miskin informasi tarikh sejarah. Hasil budaya, sistem sosial, pranata sosial politik dan bahasa menyimpan ribuan kunci yang menarik untuk diteliti, tentu saja dengan syarat pertama tadi, yaitu : keluar dari tempurung keminangkabauan.
Dalam tulisan saya sebelumnya saya telah menyinggung soal suku-suku pertama Minangkabau yang menunjukkan asal daerah mereka dan ideologi agama yang menjadi latar belakang mereka. Saya juga sudah mengulas soal ke-identikan antara seni ukiran yang berkembang di Gandhara dengan motif ukiran Minangkabau dalam tulisan warisan ukiran dari Gandhara.
Gandhara di Lembah Sungai Indus (600 SM)
Gandhara merupakan tempat percampuran berbagai budaya dan agama setelah daerah di Lembah Sungai Indus bagian tengah ini ditaklukkan oleh Alexander Agung pada 327 SM. Budaya dan agama yang bercampur baur di Gandhara diantaranya adalah agama tradisional Yunani, Buddha, Hindu dan Zoroatrianisme.
Seluruh pengelana yang menempuh jalan darat dari timur Asia ke barat Eropa atau sebaliknya, pada masa itu, tidak punya pilihan selain melalui Gandhara (Afghanistan sekarang). Hanya lewat Jalur Sutra inilah perdagangan sutra Cina, pecah belah Alexandria, patung perunggu asal Roma, dan ukiran gading yang indah produksi India pada masa itu bisa terlaksana. Tak hanya pedagang, ribuan biksu Buddha juga ikut lalu lalang di Jalur Sutra. Mereka menemani kafilah-kafilah pembawa dagangan, sambil menyebarkan ajaran-ajaran Buddha sepanjang perjalanan. Sebuah versi sejarah menyatakan, dari wilayah Afghanistan inilah ajaran Buddha tersebar hingga ke Cina, Korea, Jepang, Tibet, Nepal, Bhutan, dan Mongolia.
Keberadaan stupa di kota Yunani Sirkap, yang dibangun oleh Demetrius sudah menunjukkan sebuah sinkretisme yang kuat atau perpaduan antara agama Yunani dan Buddha, bersama dengan agama-agama lainnya seperti Hindu dan Zoroastrianisme. Gaya bangunan adalah Yunani, yang dihias dengan pilar-pilar kolom Korintus. Kemudian di Hadda, dewa Yunani Atlas digambarkan menopang monumen Buddha yang dihias dengan pilar-pilar kolom Yunani.
Gandhara Scrolls dan Motif Ukiran Minangkabau
Gandhara scrolls adalah motif hiasan gulungan khas Helenistik dengan ukiran dedaunan anggur dari Hadda, Pakistan utara. Motif ini berasal dari Yunani yang dibawa oleh pengikut dan tentara-tentara Alexander Agung pada saat penaklukan dunia timur. Pada tahun 326 SM, sebelum melakukan perjalanan kembali, Alexander memerintahkan bala tentaranya untuk mendirikan 12 kuil yang sebagai ungkapan terima kasih kepada dewa-dewa Yunani, kuil-kuil itu dilengkapi dengan arca-arca dewa yang tentunya dibuat menurut gaya seni Hellas.