Karena makna "pulau" dan "kapal" untuk kata cella, naos, atau pun shrine, hanya dapat kita temukan jika meninjaunya secara etimologi, maka, Â dapat diduga jika dalam hal ini, kita berurusan dengan sesuatu yang berasal dari masa yang telah benar-benar lampau.
Tentunya, terkait fenomena ini, mesti timbul pertanyaan: mengapa dimensi keagamaan menggunakan fitur kebaharian? - yang nampaknya, telah berlangsung sejak ribuan tahun yang lalu, karena kata cella misalnya, telah digunakan di zaman kuno klasik (abad 8 SM - abad 6 M) untuk menyebut ruang kecil di tengah kuil Yunani atau Romawi kuno.Â
Ruang 'cella' dianggap paling sakral sehingga sangat terbatas  orang dapat mengakses. Dalam budaya Helenistik Kerajaan Ptolemeus di Mesir kuno, 'cella' mengacu pada apa yang tersembunyi dan tidak diketahui di bagian dalam sebuah kuil Mesir dan merupakan bagian yang paling suci.
Interpretasi filosofis yang dapat dibangun dalam mencermati fenomena sebutan "kuil" terlahir dari makna "pulau" atau pun "kapal" pada masa kuno adalah bahwa, bisa jadi orang di masa itu melihat kehidupan di dunia ini analoginya seperti berada dalam sebuah lautan samudera yang luas.
Kehidupan yang ada di luar kuil (di luar "pulau atau kapal") adalah kehidupan yang liar layaknya gelombang laut yang ganas. Sementara kehidupan di dalam kuil terutama di dalam 'cella' adalah simbolisasi inti kesadaran yang merupakan sumber ketenangan hidup.
Saya pikir ada kemungkinan bahwa, di tahap paling awal di mana konsep tersebut dilahirkan, yang merintis adalah bangsa Fenesia, sebuah bangsa berjiwa bahari yang dalam sejarah tercatat memiliki wilayah kekuasaan yang luas dan terbukti memberi sumbangsih ilmu pengetahuan dan ajaran kehidupan keagamaan yang signifikan dalam perkembangan peradaban manusia.
Ini setidaknya sejalan dengan apa yang diungkap oleh L. A. Waddell (1925), dalam bukunya The Phoenician Origin of Britons, Scots & Anglo-Saxons : ...sekarang ditemukan bahwa agama agung dari Aryan Phoenicians, yang disebut "penyembahan-matahari," dengan etika dan keyakinannya yang luhur untuk kehidupan di masa depan tentang adanya kebangkitan setelah kematian, secara luas lazim di awal Inggris hingga era Kristen. [L. A. Waddell. The Phoenician Origin of Britons, Scots & Anglo-Saxons (London: Williams and Norgate, 1924) hlm. xi]
Juga yang diungkap Sandro Filippo Bondi: "Sejarah yang bisa disebut Fenisia dimulai pada abad ke-12 SM (...) sejak periode ini dan seterusnya [mereka] menunjukkan perbedaan yang mencolok (...) konsistensi batin yang kuat dalam hal bahasa, keyakinan agama, ekspresi artistik, serta organisasi politik dan administrasi" - The Course of History, Sandro Filippo Bondi. [Sabatino Moscati. The Phoenicians (London & New York: I. B. Tauris, 2001) hlm. 30]
Demikianlah, bisa dikatakan, memang hanya bangsa yang berjiwa bahari saja yang dapat membenamkan filosofi kehidupan maritimnya hingga ke aspek keagamaan. Hal inilah yang kemudian dapat kita lihat dilakukan oleh para sufi Melayu dalam mengekspresikan perjalanan ruhani atau pun pengalaman mistikalnya.
Setidaknya, ini tergambar dari perbedaan perangkat simbol yang digunakan sufi Timur Tengah klasik dengan sufi Melayu. Menurut Vladimir Braginsky, Â Simbol yang paling umum digunakan untuk merepresentasikan konsep jalan spiritual dalam tradisi Sufi Timur Tengah klasik adalah tema erotis (erotic) dan mabuk (vinous).
***