Dalam tulisan saya beberapa waktu lalu (Asal Usul Kata "Bahtera"...) telah saya ungkap jika kata 'bahtera' berasal dari kata 'baha' (dengan bentuk awal 'waka' yang dalam bahasa Bugis kuno berarti 'kapal'), dan 'tera' (yang  dalam bahasa Latin: terra = bumi ; terrain = tanah).  Sehingga dari etimologi ini, bahtera dapat berarti: perahu bumi atau perahu tanah.Â
Bentuk etimologi kata 'bahtera' tersebut, identik dengan bentuk 'wakka-tanette' atau 'wakka-tana' yang ditemukan Matthes dalam kitab kuno I La Galigo, yang menurutnya "bermakna kapal yang sangat besar, dan mengingatkan [padanannya] pada seluruh punggung gunung (tanette) dan ke suatu negeri (tana)."Â
Demikianlah, kata bahtera yang pada awalnya digunakan secara khusus untuk menyebut bahtera Nabi Nuh, dapat dijelaskan bentuk etimologinya dalam bahasa Bugis kuno, dan ditemukan padanan katanya dalam kitab I La Galigo yang merupakan karya sastra Bugis kuno.
Yang menarik, sebutan untuk banjir bah di zaman Nuh dalam bahasa Yunani kuno yakni  'loeo' yang berarti: Mencuci atau mandi, memiliki bunyi penyebutan yang sangat dekat dengan bentuk nama kedatuan Luwu yang merupakan kerajaan tertua di pulau Sulawesi. Umumnya pada sejarawan menyebut Luwu sebagai Proto Bugis.
Jika dalam bahasa Yunani kuno banjir Nabi Nuh disebut 'loeo' maka dalam bahasa Middle English atau pun Old French disebut: 'deluge', yang artinya membanjiri, banjir besar dan/ atau air bah.Â
Uniknya, kata 'deluge' ini memiliki kesamaan bunyi penyebutan dengan kata 'teluk' yang mana merupakan makna untuk kata 'look' (bunyi penyebutan luwuk) dalam bahasa Philipina.
Jika nama 'Luwu' ditemukan maknanya sebagai "teluk" pada kata 'look' dalam bahasa Philipina, maka makna nama 'bugis' pun dapat ditemukan dalam bahasa Uzbek "bo'g'iz" (yang terdengar sebagai "Bugis") yang juga berarti "teluk".
Kesamaan makna 'Luwu' dan 'Bugis' yakni: "teluk" -- dapat diduga jika teluk yang dimaksud adalah teluk boni. Dari hal ini, dapat diperkirakan bahwa pada masa lalu orang-orang di pulau Sulawesi -- khususnya yang berada di jazirah Sulawesi Selatan hari ini, pada umumnya mengidentifikasikan diri sekaligus diidentifikasi oleh bangsa-bangsa lain sebagai "orang teluk."Â