Tema pembahasan ini adalah hal yang untuk sebagian besar orang pada umumnya menganggap "memang sudah seperti itu" dan karenanya tidak merasa perlu mencari tahu lebih jauh. Hal ini dapat dipahami, karena menyangkut sesuatu hal yang sangat diagungkan dan dimuliakan oleh manusia.Â
Sikap pengkultusan terhadap nama Tuhan, misalnya, dapat kita lihat dalam tradisi Yudaisme Rabbinik, yakni tentang tujuh nama Tuhan yang karena begitu suci sehingga, setelah ditulis, tidak boleh dihapus, yaitu: YHWH, El, Elohim, Eloah, Elohai, El Shaddai, dan Tzevaot. (sumber di sini)
Nama Tuhan dalam tradisi Yahudi
Dalam Alkitab Ibrani, nama Tuhan yang paling sering digunakan adalah YHWH (juga dikenal sebagai Tetragrammaton, yaitu bahasa Yunani untuk "empat huruf").
Ditransliterasikan sekitar abad ke-12 sebagai Yehowah (dianggap bentuk turunan dari Iehouah), bentuk latinisasi 'Jehovah'Â pertama kali muncul pada abad ke-16, sementara dalam bahasa Inggris, dikenal dengan bentuk "Yahweh".
Orang Yahudi yang taat tidak mengucapkan Tetragrammaton (YHWH), karena nama ini dianggap terlalu sakral untuk digunakan, meskipun dalam doa ataupun saat membaca teks suci.Â
Tidak ada dalam Taurat larangan mengatakan nama itu, tetapi bahkan di zaman kuno, selama masa Kuil Pertama di Yerusalem, nama itu hanya diucapkan setahun sekali oleh imam besar di Yom Kippur. Ketika kuil hancur, nama itu tidak lagi diucapkan.Â
Orang-orang Yahudi dan mereka yang ingin menunjukkan rasa hormat akan membaca nama tersebut sebagai Adonai ('Tuanku') atau Ha Shem (secara harfiah berarti 'Nama'). (Maire Byrne: 2011, hlm. 25)
Dalam kaca mata arkeolog, Yahweh adalah dewa utama bangsa Israel (samaria) dan Yehuda. (James Maxwell Miller: 1986, hlm. 110)
Asal-usul kapan mulanya penyembahan Yahweh berlangsung memang diselimuti misteri, tetapi para arkeolog umumnya sepakat bahwa hal tersebut besar kemungkinan berlangsung setidaknya antara Zaman Besi awal hingga sejauh akhir zaman perunggu.Â
Referensi paling awal yang diketahui dan dianggap terkait dengan "Yahweh" ditemukan dalam daftar musuh-musuh Mesir yang tertulis di kolom kuil Soleb yang dibangun oleh Amenhotep III (sekitar 1400 SM)
Daftar tersebut menyebutkan enam kelompok Shasu: Shasu dari S'rr , Shasu dari Rbn , Shasu dari Sm't , Shasu dari Wrbr , Shasu dari Yhw , dan Shasu dari Pysps.Â
Istilah "Shasu" sendiri artinya "mereka yang berjalan kaki". Pendapat lain yang pada dasarnya serupa, yaitu "mengembara" atau nomaden (dimaknai menurut bahasa Mesir), dan alternatif lainnya "menjarah" (pemaknaan menurut bahasa Semitik). (Levy, Adams, dan Muniz: 2014, hlm. 66)
Selain ditemukan dalam teks Mesir yang berasal dari periode Amenhotep III (abad ke-14 SM), Teks Mesir lainnya yang di dalamnya juga ditemukan bentuk yang dianggap identik dengan YHWH atau Yahweh, adalah teks dari zaman Ramses II (abad ke-13 SM).
Pada kedua teks mesir ini ditemukan bentuk "t3 s3sw yhw" dan "yhw3". Dalam hal ini, YHW dianggap sebagai sebuah toponim.
Mengenai nama yhw3 , Michael Astour (seorang profesor sejarah - Kebudayaan klasik dan timur tengah kuno), mengatakan bahwa "render hieroglif sesuai atau sangat tepat dengan tetragrammaton Ibrani YHWH , atau Yahweh , dan ini mendahului kemunculan tertua dari nama ilahi itu - di Batu Moab - lebih dari lima ratus tahun."Â (Michael Astour: 1979, hlm. 18)
Jika merujuk pada pendapat yang diajukan oleh para peneliti sebelumnya, terutama mengenai anggapan bahwa "yhw" adalah sebuah toponim (nama wilayah), maka, yang menarik adalah karena jika kita mengamati bunyi penyebutan "Jehovah" atau "Yehowah", sesungguhnya agak-agak terdengar mirip seperti penyebutan "java" untuk Jehovah, dan "jawa" untuk Yehowah.Â
Selain itu, kata "Shasu" yang berarti mereka yang berjalan kaki, dan mengembara atau nomaden, sebenarnya juga cukup sinonim dengan kata "sasu" dalam bahasa tae' yang artinya: berhamburan / tersebar. Ini setidaknya cukup menggambarkan kondisi yang ada pada suatu bangsa nomaden atau pengembara.
Secara pribadi, saya memiliki dugaan jika yang dimaksud dengan Shasu atau pengembara dalam hal ini, ada kaitannya dengan orang Israel dalam periode sebelum terbentuk sebagai sebuah bangsa, yaitu setelah eksodus dan memulai pengembaraan di padang gurun.Â
Dimana saat di padang gurun itu, selain kaum eksodus yang dipimpin oleh Nabi Musa, juga ada orang Midian yakni kaum Nabi Syuaib, yang juga mengembara setelah meninggalkan negerinya yang terkena bencana azab. Dua kelompok ini bertemu dan menyatu di padang gurun.
Kenyataan adanya pembauran tersebut setidaknya dapat ditemukan dalam banyak literatur sejarah bahwa orang-orang Midian terbukti telah meninggalkan stempel sosiologis mereka pada banyak lembaga awal bangsa Israel.
Nama Tuhan dalam tradisi Kristiani dan Muslim
Maximillien De Lafayette Dalam bukunya yang berjudul "The origin of the name of God and His identity"Â dengan antusias mengatakan: 86% orang Amerika berpikir bahwa "Allah" adalah tuhan umat Islam, dan "Allah" bukanlah tuhan orang Kristen.... 86% itu salah 100% !! "Allah" adalah kata Arab; (...) "Allah" juga adalah kata Kristen! Benarkah? Tentu saja! Karena kata "Allah" digunakan sekitar 656 tahun sebelum Nabi Muhammad lahir.
Ungkapan tersebut memang benar. Jauh sebelum Nabi Muhammad terlahir, Sebutan "Allah" telah digunakan dalam tradisi Kristiani secara luas, baik kaum Kristiani yang tinggal di semanjung Arab, Afrika Utara, dan Timur Tengah.
Hingga hari ini, semua orang Arab baik yang beragama Yahudi maupun yang beragama Kristen, masih menggunakan "Allah" sebagai satu-satunya kata untuk Tuhan. Bahkan Malta yang mayoritas beragama Katolik Roma juga menggunakan sebutan "Alla".
Jika merujuk pada pendapat para arkeolog, sebutan "Ilah" (yang berarti Tuhan dalam bahasa Arab) sesungguhnya telah digunakan dalam budaya bangsa-bangsa pada masa kuno.Â
Frank Moore Cross (1973) misalnya, dalam bukunya Canaanite Myth and Hebrew Epic - Essay in the History of the Religion of Israel menjelaskan bahwa : ...ila adalah bentuk ejaan dari nama ilahi yang mana banyak ilmuwan memilih bentuk normalnya sebagai / 'ilah /. (...) menunjukkan bentuk predikat baik dalam Amorite dan Akkadia Kuno. "Ila" atau "Il" adalah dewa utama dari Mesopotamia pada periode Pra-Sargonik.
"El" atau "Il" juga Muncul dalam teks Ugaritik, yang diperkirakan berasal dari milenium ke-2 SM, bermakna sebagai "dewa" secara umum, dan juga bermakna sebagai kepala atau yang tertinggi dalam jajaran dewa-dewa.
Dalam Perjanjian Lama sendiri, "El' adalah Bentuk paling sederhana yang digunakan untuk penyebutan Tuhan. Bentuk ini dianggap sebagai bentuk nama yang pertama dan yang terpenting.Â
Demikianlah, ada benarnya ketika Wilhelm Schmidt menyatakan dalam The Origin of the Idea of God (1912), bahwa telah ada suatu monoteisme sebelum manusia mulai menyembah banyak dewa.
Bahwa pada masa yang paling primordial atau paling awal dalam sejarah manusia di muka bumi, kepercayaan manusia hanya mengakui dan menyembah satu Tuhan, namun lambat laun seiring berjalannya waktu, abad demi abad kemudian, kepercayaan tersebut berkembang menghadirkan Tuhan-Tuhan lain.
Mengenai kata Tuhan dalam Bahasa Indonesia
Tidak dapat disangkal, kata Tuhan dalam Bahasa Indonesia memang berasal dari kata "tuan". Hal ini setidaknya diungkap pula dalam Ensiklopedi Populer Gereja oleh Adolf Heuken SJ (1976), bahwa kata Tuhan ada hubungannya dengan kata Melayu 'tuan' yang berarti atasan/penguasa/pemilik.
Untuk hal ini, Remy Sylado dalam tulisannya berjudul "Bapa Jadi Bapak, Tuan Jadi Tuhan, Bangsa Jadi Bangsat" menanggapi sebagai berikut:
Agaknya buku pertama yang memberi keterangan tentang Tuhan dengan cara yang mungkin mengejutkan awam adalah Ensiklopedi Populer Gereja oleh Adolf Heuken SJ. Keterangannya di situ, Tuhan, "arti kata 'Tuhan' ada hubungannya dengan kata Melayu 'tuan' yang berarti atasan/penguasa/pemilik." Ensiklopedia yang hanya satu jilid ini pertama terbit pada tahun 1976. Keterangan tersebut masih kita baca lagi dalam ensiklopedianya yang lebih paripurna, terdiri dari lima jilid, terbit pada tahun 1991, yaitu Ensiklopedi Gereja.Â
Lebih lanjut menurut Remy, melalui terjemahan Melchior Leijdecker-lah kita menemukan perubahan harfiah, untuk kata 'tuan' (yang bersifat insani) dengan kata 'Tuhan' (yang bersifat ilahi) dalam khasanah bahasa Indonesia.
Pertanyaan lain yang juga mesti dicari jawabannya yaitu, dari manakah sesungguhnya kata 'tuan' berasal?
Untuk hal ini, saya melihat ada kemungkinan jika etimologi kata 'tuan' berasal dari bentuk "to/tau - wang". 'To' atau 'tau' (dalam bahasa tae' artinya 'orang'); dan 'wang' (yang dalam bahasa Cina artinya 'raja' atau 'penguasa'). Jadi, to/tau-wang artinya: "orang penguasa".
Mengenai adanya percampuran bahasa sedemikian rupa pada etimologi kata 'tuan' (dari bahasa tae' dan bahasa Cina), informasi dari Yi Jing, biksu Buddha dari Cina, yang pernah berkunjung ke Nusantara di sekitar abad 7 masehi, kiranya dapat menjelaskan hal ini.
Dalam catatannya Nanhai Jigui Neifa Zhuan, yang lalu diterjemahkan J. Takakusu ke dalam bahasa Inggris dengan judul A record of the Buddhist religion as practised in India and the Malay archipelago, Yi Jing mengatakan bahwa di wilayah ini orang-orang pada umumnya dapat berbahasa Cina, bahasa Sanskerta, selain bahasa kunlun yang merupakan bahasa utama.
Itulah makanya, Yi Jing menyarankan bagi biksu Buddha yang ingin ke India mendalami naskah suci yang menggunakan Sanskerta, untuk sebaiknya ke Nanhai (Nusantara) terlebih dahulu menyiapkan diri.
Sekian uraian ini, semoga bermanfaat. Salam.
Bagi yang berminat membaca tulisan saya lainnya, bisa melihatnya di sini: kompasiana.com/fadlyandipa
atau di website saya: https://fadlybahari.id/
Fadly Bahari, Pare - Kediri, 13 Februari 2020Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H