Oleh masyarakat setempat, asal usul nama kota Mati berasal dari kata Mandayan, "Maa-ti" yang mengacu pada sungai kota yang mudah mengering bahkan setelah hujan lebat. Yang menarik karena makna "Maa-ti" semacam ini terdapat pula dalam bahasa tae' di Sulawesi selatan.
kata "ma'ti" dalam bahasa tae biasanya digunakan untuk menggambarkan situasi yang tadinya berair lalu kemudian mengering. Seingat saya, Kata "ma'ti" dalam bahasa tae' biasanya digunakan untuk menanyakan kondisi nasi yang sedang dimasak, apakah airnya masih ada ataukah sudah kering.
Juga digunakan dengan imbuhan ma-pa- menjadi "mapamati". Imbuhan ma-pa jika dalam bahasa Indonesia bisa dikatakan sama dengan makna imbuhan memper-. Kata "mapamati" sendiri oleh pengguna bahasa tae' biasanya digunakan pada kegiatan mengeringkan empang atau kolam ikan, untuk memanen ikan yang ada di dalamnya.
Adanya kesamaan makna kata "mati" yang digunakan masyarakat di pulau Mindanao dengan kata "mati" yang digunakan masyarakat di Sulawesi selatan khususnya Luwu, menunjukkan adanya hubungan yang intens antara kedua wilayah pada masa lalu.
Shelly Errington, dalam bukunya Meaning and Power in a Southeast Asian Realm (1989: 69) menjelaskan kesamaan prinsip-prinsip kepemimpinan orang Luwu dan orang tausug di Filipina. Ia mengurainya sebagai berikut:
...To Luwu akan mengatakan bahwa mereka "memiliki" orang, atau bahwa suatu upacara "dimiliki" seseorang, atau bahwa penguasa adalah "pemilik" dari semua tanah (yang mana akar kata tersebut adalah pu, akar yang sama yang ditemukan pada kata; Opu, Ampo, Puang, dll., Bentuk kata kerjanya adalah: punna - dan seorang pemilik disebut: punnana.Â
Arti kepemilikan di Luwu digambarkan dengan baik oleh Kiefer, yang menulis tentang Tausug dari Filipina selatan. Dia menunjukkan bahwa "ketika Tausug mengatakan dia memiliki sesuatu (misalnya ketika dia mengatakan bahwa dia memiliki kelompok Samal [suku Sama-Bajau]), dia terutama menekankan bahwa dia akan menggunakan kekuatan pribadinya sendiri untuk melindunginya dari pelanggaran; seseorang memiliki sesuatu jika seseorang pada akhirnya bertanggung jawab untuk perlindungannya ....Â
Oleh karena itu, ketika seorang kepala suku Tausug mengatakan bahwa ia memiliki sekelompok Samals, ia tidak merujuk kepada mereka sebagai budak, tetapi lebih menekankan bentuk otoritas tertentu atas mereka "(Kiefer 1972: 23).
Mengenai kaitan antara orang Bajou dan sulawesi sebagai asal usul mereka, telah saya bahas dalam tulisan: Asal Usul Orang Bajo Menurut Literatur Kuno.
Mencermati arti nama kota "mati" menggunakan aksara Hanzi.
Dalam aksara Hanzi, ma bermakna "kuda", sementara ti bermakna "kuku", jadi "mati" menurut aksara hanzi bisa bermakna "kuku kuda".
Di sebelah tenggara kota mati terdapat semenanjung kecil yang jika kita amati dengan seksama, dapat kita lihat jika bentuknya menyerupai kaki kuda.
Yang mengherankan buat saya adalah karena untuk dapat melihat bentuk kaki kuda ini, setidaknya dibutuhkan berada di atas ketinggian 2000 meter atau lebih di atas permukaan tanah. Saya belum dapat membayangkan apa yang digunakan oleh orang dahulu untuk dapat mengetahui adanya fenomena bentuk kaki kuda di semenanjung ini.