Mohon tunggu...
Fadly Bahari
Fadly Bahari Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan Sepi

Penjelajah dan Pengumpul Esensi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kosmologi: Konsep Pengenalan Jati Diri Manusia yang Terawal

10 Januari 2020   11:02 Diperbarui: 10 Januari 2020   11:41 1786
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ragam motif ukiran toraja (sumber: https://pesona.travel/)

Dalam tulisan sebelumnya (Makna Sakral di Balik Nama-nama Angka) saya telah menunjukkan bukti bahwa nama-nama angka dalam bahasa tradisional di Indonesia terutama dalam bahasa tae' sesungguhnya menyimpan pesan yang sangat sakral tentang konsep kosmologi. Yang mana pesan itu berbunyi: "SATU TAKDIR KEMUDIAN DITUANGKAN/DITEMPATKAN KE DALAM WADAH YANG TERBUAT DARI UNSUR ANGIN, UNSUR AIR, UNSUR TANAH DAN UNSUR API."

Sangat jelas bahwa ungkapan rahasia yang tersimpan rapat dan tersamarkan dalam penamaan angka ini bercerita tentang eksistensi manusia, sebagai entitas yang sepanjang masa hidupnya dibayangi takdirnya, sekaligus sebagai entitas materi yang tersusun dari empat unsur utama.

Jika kita cermat mengamati, sesunggunya memang tatanan kosmologi tersaji di hampir seluruh lini kehidupan manusia di masa lalu. Dari penamaan arah mata angin, susunan nama angka-angka, dan mungkin masih banyak lagi bentuk simbol-simbol beserta filosofinya yang belum berhasil kita ungkap.

Agar dapat mengenal lebih jauh bagaimana konsep kosmologi menghiasi tatanan hidup masyarakat Nusantara, berikut ini saya mencoba mengulas beberapa etnik di Nusantara, seperti Jawa, Bugis, dan Toraja yang nampak jelas konsep kosmologi menghiasi corak hidup masyarakatnya.

Kosmologi dalam masyarakat Jawa

Dalam masyarakat Jawa terdapat pemahaman "sangkan paraning dumadi" atau "asal dan tujuan kehidupan manusia"(Mahmud Thoha. Membangun paradigma baru ilmu pengetahuan sosial dan kemanusiaan. 2003. Hlm. 27), yang merupakan falsafah kehidupan sarat makna yang terkandung dalam alphabet Jawa; Hanacaraka. 

Pemahaman filosofis tersebut merupakan konsep makro kosmos dan mikro kosmos yang dalam bahasa Jawa disebut dengan Bawana Ageng (alam semesta) dan Bawana Alit (tubuh manusia).

Aji Saka dipercaya adalah sosok yang menyusun abjad Jawa. Dalam riwayatnya, Aji Saka menyusun abjad ini untuk menggambarkan kedua abdinya yang saling bertengkar, sama-sama saktinya dan akhirnya sama-sama menemui ajalnya. Kisah tersebut secara rinci diturunkan dengan makna aksara Jawa itu sendiri, yakni:

  • HANACARAKA : ada utusan
  • DATASAWALA : saling bertengkar
  • PADHAJAYANYA : sama kesaktiarmya
  • MAGABATHANGA : meninggal semua

Menurut sumber lain, Para pembantu setia Aji Saka dikatakan sesungguhnya sebanyak empat orang, bukan dua orang seperti yang banyak dikisahkan. Nama para pembantu Aji Saka tersebut dikatakan berasal dari bahasa Kawi, atau Jawa Kuno, yaitu:

DURA, yang dalam bahasa Kawi berarti anasir alam berupa "Air". Bila dibaca sebagai Duro, artinya = bohong. Yang menarik dari hal ini adalah bahwa kata "duro" dalam bahasa tae' berarti "air". Di Sulawesi selatan kata "duro" biasanya digunakan pada kuah makanan (Duro konro, duro gulai, duro bakso, dan lain sebagainya).

SAMBADHA, yang dalam Bahasa Kawi berarti anasir alam yang berupa "Api". Jika ditinjau kemungkinan adanya perubahan fonetik dari nama "sambadha" ini, yakni; fonetik d menjadi  r (seperti yang terjadi pada kata panrita menjadi pandita, karatuan menjadi kadatuan atau kdaton menjadi kraton, dan masih banyak lagi contoh lainnya) maka kita akan mendapatkan bentuk lainnya yaitu; sambarha / sambara / atau sang Bara. 

Dengan adanya bentuk kata "bara" dalam nama "sambadha" ini tentunya bisa kita sepakat bahwa nama "SAMBADHA" memang ada keterkaitan dengan unsur API.

DUGA, dalam bahasa Jawa Kuno berarti anasir alam yang berupa "Tanah". Jika ditinjau kemungkinan adanya perubahan fonetik dari nama "duga" ini, yakni; fonetik d menjadi r kemudian menjadi l, dan fonetik g menjadi k (kelompok fonetis konsonan guttural) maka kita akan mendapatkan bentuk lainnya yaitu; luga / luka. 

Dalam huruf hanzi, aksara lu / luk / atau Loke (menurut pengucapan Kanton), artinya adalah "tanah". Hasil dari pengamatan perubahan fonetis ini, saya pikir dapat meyakinkan kita jika nama "DUGA" memang berbicara tentang unsur "TANAH".

PRAYUGA, dalam Bahasa Jawa Kuno artinya adalah "Angin". Jika ditinjau kemungkinan adanya perubahan fonetik dari nama "prayuga" ini, yakni; fonetik r menjadi l, dan fonetik y menjadi j, maka kita akan mendapatkan bentuk lainnya yaitu; plajuga / plajuka / plajuk / plaju / atau pe-laju. 

Dalam Kamus besar bahasa Indonesia, kata "laju" diartikan; "cepat" , untuk hal yang terkait dengan gerak, lari, terbang, dan sebagainya. 

Jika fonetik p pada pe-laju kita ganti dengan fonetik m, maka bentuknya menjadi melaju. Kata melaju ini tentunya lebih mudah untuk kita nalar sebagai sesuatu yang terkait dengan unsur "angin".

Sulapa appa'; Kosmologi dalam masyarakat Bugis.

Keberadaan pemahaman kosmologi dalam alam pikiran orang-orang di Sulawesi (khususnya di Sulawesi Selatan) kenyataanya memang tertanam dan terjaga kelestariannya dengan baik dalam bentuk pemahaman filosofis Sulapa Eppa'. 

Mattulada (1995) mengemukakan bahwa aksara Lontara yang digunakan orang Bugis makassar berpangkal pada pandangan mitologis yang menganalogikan alam semesta ini dengan Sulapa Eppa' Walasuji (segi empat belah ketupat). 

Lebih lanjut, hal ini dikaitkan dengan  SA, Salah satu karakter dalam Aksara Lontara yang berbentuk persegi empat belah ketupat, yang mana empat sisinya, dikatakan oleh Mattulada (Latoa) adalah mewakili empat unsur dasar Makro Kosmos dan Mikro Kosmos (sulapa eppa'na taue: segi empat tubuh manusia) yaitu: udara, air, tanah dan api.

karakter SA dalam Aksara Lotara (Dokpri)
karakter SA dalam Aksara Lotara (Dokpri)

Dari paparan singkat di atas dapat kita cermati jika secara umum pengertian harafiah dari Sulapa Appa' adalah Persegi Empat. Namun perspektif pemaknaan lain akan muncul jika kita tinjau secara etimologi dimana kata Sulapa berasal dari kata dasar Sula' (bahasa tae') yang artinya: sulam. Sementara, appa'= empat.

Dari sini kita dapatkan pemahaman yang lebih holistik tentang Sulapa Appa', yakni: sulaman empat unsur dasar (udara, air, tanah dan api). 

Pada perspektif inilah sesungguhnya terekam alam pikiran orang Bugis Makassar yang memandang alam semesta (Kosmos) terdiri dari empat unsur dasar yang terangkai sebagai sistem atau entitas yang sangat rumit namun sangat teratur. 

Wujud dari suatu hasil karya sulam yang sangat rumit namun sangat teratur, rasanya cukuplah meyakinkan kita bahwa memang pemilihan kata "sulam" menjadi analogi yang sangat tepat.

 Dapat dikatakan Sulapa Eppa' merupakan sumber falsafah hidup orang bugis Makassar. Ketinggian nilai yang dikandung, telah menginspirasi orang-orang Bugis Makassar melahirkan berbagai konsep filosofis yang selaras dengan konsep Sulapa appa'pada berbagai segi kehidupannya. Contohnya adalah tentang empat kualitas ideal yang harus dimiliki setiap pemimpin, yaitu: warani (berani), panrita (saleh), sugi (kaya) dan acca (pintar).

Di masa lalu, orang Bugis akan dikatakan menjadi sempurna jika mereka menyatukan empat macam kodrat yaitu; angin, air, tanah dan api -- yang mana keempat hal tersebut diwakili warna tertentu dan memiliki makna simbolik tersendiri, yaitu: warna kuning mewakili unsur angin sebagai symbol "kemuliaan"; merah mewakili unsur api sebagai symbol "keberanian"; putih mewakili unsur air sebagai symbol "kesucian"; dan hitam mewakili unsur tanah sebagai symbol kegelapan dan dianggap memiliki "kekuatan Spiritual" atau "kekuatan gaib". 

Simbolisasi keempat warna ini juga diimplementasi orang Bugis dalam hal penyajian kuliner. Pada acara-acara tertentu dalam masyarakat Bugis, kita dapat menemukan songkolo (nasi ketan kukus), tersaji dalam tampilan empat warna tersebut. (Syarif Dkk. "Sulapa Eppa As The Basic or Fundamental Philosophy of Traditional Architecture Buginese". SHS Web of Conferences Vol. 41, 2018)

Jika empat warna yang mewakili unsur dasar dalam kosmologi jejaknya dapat kita lihat terekam dalam budaya kuliner bugis, maka di tempat lain di Sulawesi Selatan, yakni di Toraja, hal itu terekam dalam warna ukiran dan beberapa ragam aspek budaya lainnya.  

Kosmologi dalam masyarakat Toraja.

Empat warna utama Toraja: putih, hitam, merah dan kuning, melambangkan saling melengkapinya kehidupan dan kematian dalam sistem ritual Toraja. Hitam biasanya ditujukan untuk kematian, kuning berasosiasi dengan kekayaan/kemuliaan dan emas, Merah dan putih dikaitkan dengan ritual sisi kehidupan, pakaian dan dekoratif rumah. 

Pada pemakaman orang penting, ritual tujuh hari tujuh malam yang megah menggabungkan unsur ritual kematian dan kehidupan. pembungkus mayat yang digunakan pada acara-acara tersebut menggunakan empat warna utama, baik sebagai desain cut-out daun emas atau sebagai patterns yang dijahitkan pada pembungkus mayat. Sebuah rumah besar juga menggunakan keempat warna, menyediakan sisi utara dan selatan untuk kegiatan renungan keprihatinan tentang lingkaran kehidupan dan kematian yang senantiasa saling melengkapi...(Eric Crystal. Myth, Symbol and Function of the Toraja House. TDSR. Vol. I 1989. hlm. 7-17)

Penerapan empat warna utama Toraja yang merupakan representasi konsep kosmologi terlihat sangat dominan dan konsisten digunakan pada setiap ornament rumah-rumah adat toraja, melahirkan keunikan dan menjadi karakter khas dalam profil seni dan kebudayaan toraja. Dapat dilihat pada gambar berikut ini...

Ragam motif ukiran toraja (sumber: https://pesona.travel/)
Ragam motif ukiran toraja (sumber: https://pesona.travel/)

Demikianlah, pemahaman makro kosmos dan mikro kosmos yang dititipkan para leluhur_, bisa dikatakan merupakan ajaran pengenalan jati diri yang paling awal dari yang terawal yang pernah dikenal manusia. 

Dalam perjalanannya dari masa ke masa, ajaran pengenalan jati diri tersebut sepertinya beberapa kali terputus proses pewarisannya. Setiap kemunculannya kembali lebih merupakan wujud hasil interpretasi dari kepingan-kepingan ingatan yang tersisa mengenai ajaran tersebut, yang mendapat pemurnian dengan menyesuaikan konsepnya pada ajaran-ajaran orang suci dari para nabi dan rasul yang hadir pada zaman itu.

Sebelum mengakhiri pembahasan ini, ada baiknya kita mencermati Pemahaman kosmologi orang-orang di masa kuno yang dapat kita temukan dalam bentuk hiasan symbol: Swastika. 

Kata kuno ini, berasal dari tiga akar bahasa Sansekerta "su" (baik), "asti" (ada, menjadi) dan "ka" (dibuat), yang kemudian diasumsikan berarti "membuat kebaikan" atau "penanda kebaikan". [Bruce M. Sullivan. The A to Z of Hinduism (Scarecrow Press, 2001) Hlm. 216]

Pemaknaan ini sudah cukup baik untuk diterima, dan sepertinya ini pula yang dipercayai berbagai budaya di dunia, namun begitu, saya masih melihat ada bentuk pemaknaan lain yang saya pikir dapat pula dipertimbangkan, yaitu: "dibuat dengan sebaik-baiknya bentuk". 

Pemaknaan ini bukan saja saya ambil dari tiga akar kata Sanskerta diatas, tetapi secara intuitif mengingatkan saya tentang Ucapan Allah dalam Al-Quran yang mengatakan bahwa manusia diciptakan dalam sebaik-baiknya bentuk: "Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya" QS. At-Tin : 4.

Menarik untuk mencermati fakta bahwa swastika yang berlengan empat sebagai representasi empat elemen mikro kosmos manusia, secara tersirat maknanya cukup identik dengan ungkapan ayat dalam Al Quran yang berbicara tentang penciptaan manusia, terlebih lagi karena ayat yang menyebut hal itu adalah ayat bernomor "4". Adakah kaitannya? - silahkan anda saja yang menafsirkan... :)

Sekian. Semoga bermanfaat. Salam.

Bagi yang berminat membaca tulisan saya lainnya, bisa melihatnya di sini: kompasiana.com/fadlyandipa
Fadly Bahari, Pare-Kediri, 10 Januari 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun