Dalam tradisi Bugis, seorang Bissu bukan hanya sebagian pria dan bagian wanita, tetapi juga sebagian dewa dan makhluk hidup. Bissu menempati peran ritual kritis sebagai perantara antara dunia supranatural dan Bugis. Bissu menjadi mediator antara manusia dan dunia supernatural karena ia punya peran ritual spesifik - Demikian Garrick Bailey, James Peoples menggambarkan sosok seorang Bissu dalam buku Essentials of Cultural Anthropology (2010:60).
Dalam buku Keberagaman Gender di Indonesia, Sharyn Graham Davies mengutip Andaya (2000:43) yang menulis bahwa; Perpaduan karakteristik laki-laki dan perempuan dalam diri seorang bissu dianggap penting untuk pemenuhan persyaratan dalam ritual mereka (2017: 151-152).
Dalam bukunya, Sharyn Graham Davies juga mengungkap salah satu naskah sejarah paling awal yang menyebut Bissu, yang datang dari pedagang berkebangsaan Portugis Antonio de Paiva, yang mengunjungi kepulauan ini di abad keenam belas.Â
De Paiva menganggap Bissu sebagai "pendeta-pendeta raja" dan Bissu digambarkan sebagai ahli sihir yang berprilaku dan berpakaian seperti perempuan; diyakini bahwa seorang laki-laki tidak bisa menjadi perantara yang dapat bicara dengan roh-roh. Dalam surat yang ditulisnya tahun 1544, de Paiva menulis:
... saya ingat satu hal yang sangat serius. Dan kendatipun kata-katanya tidak sesuai atau tidak bisa diterima pendengaran Anda, tolong disimak laporan tentang mereka, karena inilah buah-buah dari Roh Kudus. Tuhan Anda akan tahu bahwa pendeta para raja ini biasanya dinamakan bissu.Â
Mereka tidak memelihara jenggot mereka, berpakaian seperti perempuan, dan membiarkan rambut mereka tumbuh panjang dan dikepang; mereka meniru bicara (perempuan) karena mereka mengadopsi gerak-gerik dan kecenderungan seperti perempuan.Â
Mereka menikah dan diterima, menurut adat istiadat daerah tersebut, dengan laki-laki biasa, dan mereka hidup dalam satu rumah, dan memenuhi hasrat mereka di tempat-tempat rahasia dengan laki-laki yang mereka miliki sebagai suami-suami mereka. Ini adalah [pengetahuan, umum, dan tidak hanya di sekitar sini, tetapi juga diceritakan mulut-mulut orang yang sama yang dipilih oleh Tuhan Allah untuk memuji-Nya.Â
Para pendeta ini, apabila mereka menyentuh seorang perempuan dalam pikiran atau tindakan, mereka akan direbus dalam cairan aspal karena mereka percaya bahwa agama mereka akan lenyap bila mereka melakukan hal itu; dan mereka melapisi gigi mereka dengan emas.Â
Dan seperti saya katakan pada Ketuhanan Anda, saya menjalani ini dengan pikiran yang jernih, terhenyak (bahwa) Tuhan kita telah menghancurkan tiga kota di Sodom karena melakukan dosa yang sama dan membayangkan bagaimana suatu kehancuran tidak menimpa orang-orang durhaka di situ untuk waktu yang lama dan apa yang harus dilakukan, karena seluruh daerah itu sudah dikelilingi oleh setan (dikutip dalam Baker, 2005:69)
De Paiva dengan terang-terangan menyebut hubungan dekat antara kerajaan dan bissu, sambil pada saat yang sama mengungkapkan pandangan pribadinya tentang keamoral-an bissu. De Paiva terus menerus mencoba untuk mengubah agama para pejabat di Sulawesi Selatan menjadi Kristen. Dalam satu salah satu kesempatan de Paiva mengungkapkan kejengkelannya sehubungan dengan upayanya untuk mengubah agama, mempersalahkan bissu yang menjadi penghalang utama:
Waktu itu saya tengah menunggu jawaban dari raja (tentang apakah ia akan masuk menjadi Kristen), yang sudah terlambat satu hari dari tanggal sembilan yang dijanjikan dan alasannya adalah karena ada perdebatan sengit tentang agama Kristen dengan pendeta-pendeta [bissu] yang menjijikkan yang saya sebut di atas, yang karenanya usaha paling keras harus dilakukan, dan semua penundaan tersebut dilakukan demi rekonsiliasi yang dia [raja] inginkan dengan mereka [bissu]. (disebut dalam Baker, 2005: 70-71).
Bagi de Paiva, kendala paling jelas untuk mengubah agama raja dan penduduk Sulawesi Selatan adalah bissu. Brooke (1848: 82-83) juga mencatat hubungan seperti itu:
 Adat istiadat paling aneh yang saya perhatikan adalah, bahwa sebagian laki-laki berpakaian seperti perempuan, dan sebagian perempuan seperti laki-laki; bukan hanya sekali-sekali, tetapi sepanjang hidup mereka, mengabdikan diri mereka pada pekerjaan dan pencapaian dari jenis kelamin yang mereka adopsi.Â
Berkaitan dengan laki-laki, tampaknya orangtua dari anak laki-laki, ketika mengetahui bahwa ia memiliki sifat feminin dalam kebiasaan maupun penampilan, maka didorong untuk mempersembahkan anak laki-lakinya kepada salah satu raja, dengan siapa dia akan diterima. Anak-anak muda ini kerap memiliki banyak pengaruh pada tuan-tuan mereka.
Selain peran mereka di dalam kerajaan, para bissu sering diberi tanggung jawab untuk melindungi kerajaan dari ancaman dari luar. Antara tahun 1666 dan 1669, Sulawesi Selatan hancur karena perang antara VOC Belanda dan sekutu Bugis Bone, yang dipimpin oleh Arung Palakka bergabung dalam satu pihak, dua kerajaan Makasar Goa dan Tallo dan sekutunya, termasuk Wajo', ada di pihak lainnya (Andaya, 1981). Situasi yang menegangkan ini mendorong istana mengerahkan seluruh kekuatannya, baik yang sakral maupun yang duniawi. Dalam kerajaan Bugis, para bissu dimobilisasi untuk mencari pertolongan dan mendapatkan rahmat dari pada dewa untuk melindungi dan membantu penguasa mereka yang berdarah putih.
Mencermati sejumlah literature tentang Bissu yang telah diurai di atas, kita dapat melihat bahwa tradisi Bugis mempercayakan seorang Bissu sebagai penghubung dunia bawah (dunia manusia) dan dunia atas (dunia para dewa), dengan didasari kepercayaan bahwa hanya orang yang setengah laki-laki dan setengah perempuan yang bisa kerasukan dan menjadi perantara dengan dunia roh.
Terkait pembahasan mengenai hal ini, dalam bukunya, Sharyn mengutip beberapa tulisan para peneliti, yang antara lain; tulisan Errington (1989: 124) tentang Asia Tenggara, yang menyatakan bahwa; mahluk hidup yang seksualitasnya ambigu dianggap "memiliki kesaktian bukan karena mereka memadukan atau menggabungkan dualitas jenis kelamin, namun karena mereka ada sebelum terjadi pembedaan (pre-difference), mereka mewujud dalam kesatuan yang tak terpisahkan.
Begitu pula dalam penelitiannya di India, Reddy (2005:90) mengatakan bahwa kekuatan yang menguntungkan dari seorang hijra, satu posisi subyek yang sama dengan seorang bissu, berasal dari sifatnya yang tidak terdiferensiasi.