Ini adalah bagian pertama dari seri analisa filologi yang kami lakukan pada naskah I La Galigo. Sebelum memasuki topik utama pembahasan pada seri ini, ada baiknya untuk terlebih dulu mengurai secara singkat profil, dan beberapa hal yang sejauh ini telah berlangsung dalam khazanah penelitian naskah I La Galigo.
Sebagai Manuskript yang telah masuk dalam daftar memori dunia UNESCO, dan dengan reputasinya sebagai karya sastra terbesar dan terpanjang, sebagaimana yang diungkap R. A. Kern dalam Catalogus Van de Boegineesche Tot De I La Galigocyclus Behoorende Handscriften Der Leidsche Universiteitbibliotheek yang diterbitkan tahun 1939 Â oleh Universiteitbibliotheek Leiden, naskah I La Galigo menjadi subjek penelitian dari banyak akademisi dan ilmuwan dari seluruh penjuru dunia.
Menurut Sirtjof Koolhof, Naskah I La Galigo merupakan naskah terpanjang di dunia - mencapai sekitar 300.000 baris, jauh melampaui Epos Mahabarata (160.000 - 200.000 baris).
Namun demikian, pada tataran tertentu, beberapa ilmuwan jelas-jelas mengungkapkan penolakan mereka, bahwa agar I La Galigo tidak dijadikan bahan historis.
Pelras misalahnya, dalam buku Manusia Bugis (Nalar: 2005), pada catatan kaki di halaman 55 - 57, mengurai beberapa ungkapan keberatan dari Ilmuwan. Berikut ini catatan kaki tersebut kami kutip secara utuh:
Sesuai dengan apa yang telah saya bayangkan lebih dulu, sejumlah rekan (antara lain Andaya, Caldwell, dan Koolhof) mengecam saya karena saya memakai La Galigo sebagai bahan historis. - Koolhof (158 [3], 2002; 157) misalnya menyatakan keberatannya atas alasan bahwa La Galigo "Is more of ideological than of historical significance".Â
Pendapat ini saya setujui memang; namun tidak berarti bahwa teks ini, secara tidak sengaja, tidak mengandung butir-butir yang mencerminkan suatu keadaan yang berlaku pada masa karya itu dijadikan naskah tertulis, atau bahkan suatu keadaan yang sudah tidak berlaku lagi pada masa itu tetapi masih bertahan dalam tradisi lisan; sedangkan kesenjangan yang nyata antara ideologi, sistem pemerintahan dan geografi politik yang digambarkan dalam La Galigo dengan apa yang tergambar dalam pasal-pasal awal dari kronik-kronik sejarah tetap perlu dijelaskan.
Adapun Andaya juga meragukan bahwa "Through the use of the I La Galigo and other tradition (...) it is possible to obtain a picture of the political situation an state of civilization in South and Central Sulawesi and the surrounding World before the fourteenth century"Â : kalau "political situation" diartikan sebagai suatu geografi politik dan suatu gambaran mengenai hubungan antara kerajaan yang pernah terwujud dalam wilayah itu, saya setuju; namun jika diartikan dari sudut pandang sistem pemerintahan dan pelapisan masyarakat, ini masih bisa diperdebatkan.
Katanya lebih lanjut: "At this stage of South Sulawesi studies, it would have been better if Pelras had avoided the temptation to "fill the gap" ; sebenarnya "godaan" tersebut tidak timbul secara spontan pada diri saya, tetapi termasuk "pesanan" penerbit yang, pada tahun 1989, minta supaya saya menulis tentang prasejarah, sejarah, keadaan masyarakat dan kebudayaan tradisional orang Bugis sebelum disentuh oleh pengaruh luar, dan gejala modernisasi yang mereka alami sebagai akibat pengaruh itu.
Bagi saya, jelaslah: saya harus menjelaskan bahwa masyarakat Bugis sejak dulu tidak pernah tertutup dan saya harus memperlihatkan kesinambungan interaksi antara mereka dengan dunia luar dari semula sampai dewasa ini.
Untuk itu saya tidak bisa mengosongkan sama sekali periode antara prasejarah dan abad ke-15, dengan mengabaikan bahan-bahan berharga yang tertanam dalam La Galigo; sekurang-kurangnya, cara bagaimana sebagian besar cendikiawan Bugis masa kini masih membayangkan masa lampau bangsa mereka tidak boleh diabaikan.