Aksi penembakan kembali terjadi di Papua. Kali ini Helikopter ER-MHL Hevilift yang berpenumpang 29 karyawan PT Freeport tiba-tiba diberondong tembakan saat hendak take off sekitar pukul 08.11 WIT, Sabtu, 17 Desember 2001 di wilayah Tembagapura, Papua. Akibat tembakan tersebut satu orang mengalami luka sementara terdapat lubang pada kaca sebelah kiri tembus atap, tembakan tersebut juga memutuskan kabel pesawat. Ekor pesawat dan propailer atau baling-baling juga berlubang dan menembus ke atas. Heli yang diawaki oleh Warga Negara Asing(WNA) asal Rusia, Pilot Igor Knyazev dan kopilot Vladimir Tsykin serta teknisi atas nama Sergey Alekson Brouch ini berangkat dari Helipet 68 mil Tembagapura. Tak lama, sekitar 67 mil, heli diberondong tembakan dari bawah. Meski sudah ditembak, heli tetap melanjutkan perjalanan menuju Timika. Kabid Humas Polda Papua Kombes Wachyono mengatakan orang tak dikenal (OTK) yang melakukan penembakan di Timika bukan anggota gerakan separatis karena tidak ada markas gerakan tersebut di sekitar lokasi. Sementara tiga hari sebelumnya terjadi baku tembak di Paniai yang berawal dari penyerangan Posko Taktis Satgas Operasi Aman Matoa. Baku tembak antara petugas dengan anggota gerakan separatis ini berawal dari pergantian petugas kemudian secara mendadak terjadi penyerangan, lalu petugas melakukan pengejaran ke hutan. Disana ditemukan rumah yang menjadi markas gerakan separatis yang didalamnya terdapat berbagai senjata dan atribut gerakan tersebut. Insiden-insiden ini menunjukkan bahwa belum terselesaikannya masalah-masalah yang yang mengakibatkan suasana yang tidak kondusif di Papua. Lalu apa sebetulnya masalah-masalah itu?? HAM kah? Ketidakadilan hingga masyarakat Papua termarjinalkan?? Atau kesejahteraan warga Papua yang belum mencapai hasil yang diharapkan padahal Dana Otsus telah dikucurkan?? Oke, kita lihat soal Otsus. Memang subtansi yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua sudah baik. Namun UU otsus tersebut merupakan hasil pemikiran dari para ahli, bukan kehendak penuh dan kesepakatan murni dari dua pihak, yakni pusat dan daerah. Sehingga implementasi UU Otsus Papua selama ini belum optimal dan cenderung tidak mendapatkan legitimasi dari masyarakat Papua. Baik pemerintah pusat dan masyarakat Papua cenderung tidak menghiraukan UU tersebut, bahkan ada stigma negatif dalam masa otonomi khusus Papua di kalangan masayarakat Papua bahwa di masa Otsus korupsi makin tinggi. Dana Otsus Papua yang dikucurkan Pemerintah mencapai 30 Triliun dan di tahun 2012, selain dana otsus, pemerintah juga akan mengalokasikan dana tambahan infrastruktur untuk Papua sejumlah Rp 571,4 miliar dan Papua Barat sebanyak Rp 428,6 miliar. Pertanyaan besarnya adalah, apakah "mega dana" tersebuat betul-betul dapat dinikmati masyarakat Papua??? Berdasarkan Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang mengaudit pemakaian dana otonomi khusus yang diberikan pemerintah pusat kepada Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat selama tahun 2002-2010, menemukan banyak penyimpangan. Dari jumlah dana Rp 19,12 triliun yang diperiksa BPK, sebanyak Rp 4,12 triliun digunakan bermacam-macam penyimpangan oleh Pemerintah Provinsi Papua maupun Papua Barat. Mulai dari penggunaan yang fiktif, tak sesuai ketentuan, kurang bayar, ada pula yang digunakan untuk jalan-jalan santai (JJS) ke Eropa, seperti ke Roma, dan lainnya. Penyimpangan pelaksanaan otonomi khusus ini terjadi karena, antara lain, belum adanya peraturan daerah khusus (perdasus) Papua dan Papua Barat. Pengalokasian dana otsus selama ini hanya didasarkan pada kesepakatan antara gubernur dan bupati atau wali kota, tanpa adanya nota kesepakatan. Dengan tidak adanya ketentuan mengenai tata cara pemberian dan pertanggungjawaban subsidi, hibah, bantuan sosial dan bantuan keuangan, penyaluran dana otsus berpotensi tidak tepat sasaran dan terjadi penyalahgunaan subsidi, hibah, bantuan sosial dan bantuan keuangan oleh pemerintah daerah maupun penerima dana. Secara rinci, laporan BPK mengungkapkan adanya penyimpangan yang ditemukan, meliputi kegiatan tidak dilaksanakan alias fiktif senilai Rp 28,94 miliar, kelebihan pembayaran karena kekurangan volume pekerjaan atau pembayaran yang tidak sesuai dengan ketentuan senilai Rp 218,29 miliar serta penyelesaian pekerjaan yang terlambat dan tidak dikenakan denda senilai Rp 17,22 miliar. Diantara penyelewengan tersebut, ada dana yang didepositokan di Bank Mandiri dan Bank Papua serta dicadangkan, padahal tidak sesuai ketentuan. Jumlahnya mencapai Rp 2,35 triliun. Selain itu, juga terjadi penyimpangan akibat pemahalan harga saat pengadaan barang dan jasa sampai Rp 34,02 miliar. Penyimpangan lainnya antara lain saat proses pengadaan barang dan jasa yang tidak sesuai aturan sehingga merugikan negara sampai Rp 326,29 miliar dan penggunaan dana otsus yang tidak tepat sasaran dan peruntukannya sampai sebesar Rp 248,01 miliar. Terdapat juga pemotongan langsung oleh Biro Keuangan pemerintah daerah untuk pembayaran tagihan pihak ketiga senilai Rp 27,17 miliar serta pertanggungjawaban pengeluaran dana otsus yang tidak didukung bukti lengkap dan valid Rp 566,39 miliar, Penyimpangan inilah yang menjadi faktor utama tidak kunjung membaiknya indeks kehidupan masyarakat Papua yang sebetulnya sudah disokong dana Otsus yang cukup besar. Masyarakat Papua tidak dapat menikmati dana yang seharusnya untuk pembangunan infrastruktur, serta sarana dan prasana yang mendukung kesejahteraan mereka. Karena alasan itu, wajar jika mayoritas warga asli Papua meminta kemerdekaan. secara idiologi masyarakat Papua terbagi menjadi dua kelompok. Kubu yang pro Negara Kesatuan Republik Indonesi dan Pro Referendum. Namun seiring berjalan waktu kubu Pro Integrasi ini terus berkurang akibat ketimpangan pembangunan dan kesejahteran yang mereka rasakan. Kini berbagai peristiwa telah terjadi seiring perkembangan keinginan masyarakat Papua untuk merdeka. Namun semua itu masih bisa dibenahi dan upaya kemerdekaan Papua masih bisa dicegah, diantaranya pembenahan baik dengan merevisi UU Otsus Papua maupun pengefektifan alokasi dananya hingga tidak ada penyelewengan dan penyalahgunaan, upaya penyelesaian lain seperti revisi kebijakan dan kerjasama PT. Freeport yang tidak membawa kesejahteraan bagi masyarakat Papua. Sementara penyelesaian masalah atas insiden-insiden yang tengah memanas di Papua tidak melalui pendekatan militer, namun dialog bermartabat yang sangat diperlukan sebagai pendekatan psikologis terhadap masyarakat Papua yang merasa termarjinalkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H