Sangat menarik sekali memperhatikan konstestasi Pilgub DKI 2017 mendatang. Pilgub DKI Jakarta sejak dulu memang selalu menjadi Perhatian Khusus masyarakat luas. Jakarta adalah  Kepala Naganya  Indonesia dan Jakarta juga dianggap sebagai Etalase Indonesia sehingga siapapun yang memimpin Jakarta  secara individu berpeluang untuk  menjadi Sejarah Tokoh Nasional.
Di sisi lain Jakarta adalah Kota dimana Pusat Kekuasaan Republik ini berada sehingga  Parpol manapun yang bisa  menguasai Jakarta itu artinya sudah menguasai 60% dari link-link Kekuasaan di Republik ini. Hal-hal inilah yang membuat Pilgub Jakarta menjadi Magnet Khusus dalam  peta perpolitikan Indonesia.
Ahok adalah salah satu Tokoh yang paling beruntung di Indonesia saat ini. Momen bergabungnya Ahok dengan Gerindra akhirnya membawa Ahok menjadi orang nomor satu di Jakarta setelah Jokowi didaulat menjadi Presiden RI yang ke 7.
SENJATA POLITIK PALING EFEKTIF SAAT INI BERNAMA MEDIA
Fakta yang tidak bisa dipungkiri saat ini adalah Betapa Media sangat berperan mengangkat Nama Jokowi sebagai Gubernur Jakarta sehingga  bisa memiliki elektabilitas sebaga Calon Presiden.  Fakta ini terulang untuk Ahok dimana Pemberitaan sepak tejang Ahok dalam kesehari-hariannya  jauh lebih banyak mendapatkan pemberitaan dibanding  berita-berita Kepala-kepala Daerah lain yang mungkin sebenarnya lebih berprestasi dari Ahok. Inilah Keberuntungan Ahok  tetapi inilah ketidak-adilan yang nyata dari Media  Nasional kita.  Insan Media kita terkesan  Sangat Malas untuk menggali prestasi-prestasi Kepala-kepala Daerah lainnya. Mereka cenderung mengambil berita di pusat kekuasaan saja.
Fenomena Jokowi-Ahok paska Pilgub DKI 2012  memang masih menyisakan sentiment positive untuk Ahok.  Khususnya di Jakarta, Ratusan ribu  hingga jutaan pendukung Jokowi  masih menganggap Ahok adalah bagian dari Fenomena Jokowi.  Hal itu diperkuat dengan konsistennya Ahok meneruskan Program-program yang dicanangkan Jokowi sebagai Gubernur sebelumnya.
Selama memimpin Jakarta , prestasi Ahok cukup baik.  Tetapi bila dibandingkan  dengan Tri Rismaharini, Ridwan Kamil  ataun Bupati Yoyok sebenarnya Prestasi Ahok tidaklah  istimewa. Ahok menang popular karena Media Nasional malas menjual berita daerah.
Di sisi lain Ahok memiliki keunikannya dengan sikapnya  yang Frontal dalam menghadapi  pihak-pihak yang selama ini tidak disukai rakyat. Selama ini masyarakat sudah jenuh dengan prilaku para Legislatif baik DPR maupun DPRD yang selalu mencari keuntungan sendiri dengan jabatannya tersebut. Legislatif cenderung bermain proyek daripada memperjuangkan aspirasi rakyat.
Dan Ahok mendapatkan momentum simpati masyarakat luas ketika dirinya berani melawan secara frontal kepada DPRD DKI. Masyarakat luas tidak pernah mendengar ada Gubernur yang seberani Ahok melawan DPRD. Muncullah kekaguman yang sangat tinggi pada Ahok. Â Inilah momentum terbesar popularitas Ahok. Â Ahok menjadi Icon sebagai Kepala Daerah yang berani melawan prilaku Korup Legislatif yang selama ini sudah mengakar di benak masyarakat.
Sekali lagi peran Media sangat besar  sekali mendongkrak popularitas Ahok. Bukan Ahok sebenarnya yang pertama kali melawan Kepungan Tekanan DPRD. Tri Rismaharini sudah babak belur duluan beberapa tahun yang lalu ketika berusaha melawan tekanan DPRD Surabaya dan melawan kebijakan Gubernur Jawa Timur.  Tetapi hal itu kurang diliput media. Begitu juga dengan kepala-kepala daerah lainnya yang pernah menentang keinginan para Legislatif yang cenderung bermain proyek berjamaah.
Apa boleh buat  yang terjadi di negeri ini saat ini adalah Eranya Demokrasi  ala Media.
AHOK BUKAN PALING HEBAT TETAPI Â AHOK BERADA DIATAS ANGIN
Berikutnya  gw nggak bicara soal perbandingan Prestasi Ahok dengan prestasi Tri Rismaharini, Ridwan Kamil, Bupati Yoyok dan lainnya. Sama-sama berhasil menurut gw. Yang berbeda hanya Ahok belum mendapatkan pengakuan Internasional sementara beberapa yang lain sudah dan ada yang lebih dari sekali.
Yang membuat Ahok  berbeda dengan lainnya adalah Popularitasnya. Sosok unik Ahok yang temperamental  sering menjadi berita tersendiri. Dan itu membuat Ahok jauh lebih popular dari lainnya. Berbicara tentang Tri Rismaharini, Ridwan Kamil dan Pemimpin berprestasi tentu semuanya memiliki kekurangan. Ahok juga punya beberapa kekurangan  tetapi  kekurangan mereka semua masih dalam batas kewajaran.  Yang penting buat masyarakat adalah pemimpin yang bersih dan tidak korup.
Pilgub DKI 2017 adalah Cermin dari bagaimana  Calon Pemimpin Bersih  bisa berhasil menang dari  Calon Pemimpin yang tidak (belum diketahui) Bersih. Masyarakat sangat ingin melihat fenomena  Pilgub DKI 2012 terulang lagi dimana Jokowi yang dianggap sebagai sosok Pemimpin Bersih berhasil menumbangkan Foke yang belum dipastikan bersih tetapi didukung mayoritas Parpol yang cenderung dianggap  Korup oleh masyarakat.
Point-poin tersebut diatas itulah yang  menyebabkan kalkulasi politik untuk Pilgub DKI 2017 (meskipun belum tentu benar), Sudah Dipastikan oleh hampir seluruh kalangan bahwa yang sanggup berduel dengan Ahok adalah Pemimpin yang sudah dikenal Bersih.  Siapa saja, tentu nama-nama  seperti Tri Rismaharini , Ridwan Kamil dan beberapa lainnya.
Mundurnya Ridwan Kamil dari daftar penantang Ahok  membuat  peta kekuatan politik di DKI Jakarta  berubah total.  Dari bakal Calon-calon yang sudah muncul masih belum dianggap mampu melawan Ahok.  Adhiyaksa Dault, Yusril Ihza Mahendra, Sandiaga Uno dan Ahmad Dani tidak dianggap sebagai saingan kuat Ahok.
Rumus yang sudah berlaku  adalah : Hanya Pemimpin Yang sama-sama Bersih lah yang bisa mengungguli Ahok.  Adhiyaksa, Yusril, Sandiaga, Ahmad Dani dan lainnya belum terbukti bisa memimpin dengan bersih. Mereka belum punya track record seperti Ahok. Mereka juga jauh kalah Populer dengan Ahok. Satu kata yang bisa dipastikan saat ini, Posisi Ahok saat ini Jauh Diatas Angin daripada lainnya.
AHOK BERGANTUNG PADA PDIP ATAU PDIP BERGANTUNG PADA AHOK?
Sejak setahun yang lalu para pengagum Ahok sudah mengantisipasi Pilgub DKI 2017 ini. Mereka sudah bercita-cita dan berharap Ahok dapat terpilih kembali menjadi Gubernur DKI agar Jakarta lebih baik lagi dari sebelumnya.  Mereka juga tahu Ahok tidak ikut partai sehingga mereka  kemudian membuat Komunitas Teman Ahok yang bergerak mengumpulkan dukungan rakyat DKI agar Ahok bisa melaju pada  Pilgub nanti lewat Jalur Independen.
Hampir setahun berlalu sudah terkumpul 730 ribu KTP untuk Ahok dari target 1 juta KTP. Diatas kertas dalam beberapa bulan lagi akan terkumpul target 1 juta KTP. Hal itu berarti untuk saat ini saja  Ahok bisa dipastikan sudah punya Tiket untuk melaju di Pilgub DKI 2017.
Sudah punya Tiket dan Sudah punya Popularitas yang jauh diatas yang lain membuat Modal Ahok melaju ke Pilgub  DKI 2017 bisa dianggap sudah mencapai  50%. Dengan 2 modal tersebut apakah Yakin 100% Ahok akan memang Pilgub? Pastilah belum tentu.
Dalam demokrasi kita,  parpol menjadi salah satu pilar kekuatan demokrasi.  Parpollah  yang selama ini paling dominan menentukan siapa yang berkuasa (menjadi pimpinan) baik secara nasional maupun daerah.  Hal itu bisa terjadi karena Parpol memiliki kaki tangan, memiliki organisasi sayap  maupun jaringan kerja yang selama ini kita sebut sebagai Mesin Parpol.
Pada tulisan-tulisan sebulan yang lalu gw juga sudah menganalisa bahwa sebaiknya  Ahok maju lewat PDIP karena PDIP lah satu-satunya yang dekat dengan Ahok dimana Ahok dekat dengan Jokowi maupun Wagub Djarot. Berandai-andai kalau Ahok maju lewat PDIP maka Bekal Ahok menuju DKI 1 2017 sudah mencapai angka 75%. Ahok sudah punya Relawan, punya popularitas dan punya dukungan Partai terkuat di DKI Jakarta.
Tetapi rupanya komunitas Teman Ahok dan orang-orang di belakang Ahok sudah meminta terlebih dahulu agar Ahok maju lewat jalur independen maka Ahok terlihat  sudah yakin ingin mencoba lewat jalur independen tersebut.  Apalagi tiba-tiba datang dukungan dari Nasdem yang menyatakan mereka mendukung tanpa syarat. Ahok mulai Pede.
Akhirnya  Ahok melakukan blunder dengan mengeluarkan pernyataan bahwa PDIP kalau ingin mengusungnya lewat parpol harus izin dulu pada Teman Ahok.  Pernyataan ini melecehkan PDIP sebagai Partai terbesar di DKI Jakarta.
Di sisi lain sikap Ahok yang Pede tiba-tiba menjadi bias ketika Ridwan Kamil dating  ke Jakarta.  Ahok menduga  Ridwan Kamil akan maju sebagai Penantang  dirinya di Pilgub DKI. Hal itu membuat  Ahok nervous dan sempat mengeluarkan pernyataan ingin maju lewat jalur Parpol yaitu PDIP.
Lalu kemudian pernyataan itu ditarik lagi oleh Ahok karena Teman Ahok kecewa terhadapnya. Sampai disini jelas terlihat Ahok belum Pede maju ke Pilgub DKI lewat jalur Indpenden.  Selama lawannya tidak terlalu kuat, Ahok berani lewat jalur Independen.  Tetapi kalau lawannya kuat Ahok  sepertinya ingin lewat Jalur Parpol.
Sekarang ini  lawan yang ada tidak begitu kuat  sehingga  Ahok menginginkan PDIP segera mengeluarkan pernyataan bahwa PDIP mendukung Ahok. Mendukung ya masbro, bukan Mengusung.  Kalau mengusung artinya Ahok lewat parpol dan harus mengikuti  mekanisme yang berlaku di PDIP.
Keinginan Ahok itu sulit sekali dikabulkan PDIP.  PDIP itu partai besar dan partai berumur. PDIP juga mendapatkan suara lebih dari 20% di DKI pada saat Pileg 2014. Jadi meskipun tanpa Ahok yang popular, PDIP bisa mengusung calonnya  sendiri sekaligus Cagub dan Cawagub.
Kalau hanya sekedar mendukung Ahok jadi Gubernur lewat jalur Independen maka PDIP bisa dikatakan tidak akan dapat apa-apa selain fasilitas yang dimiliki Wagub. Secara umum ini merugikan keberadaan PDIP di Jakarta sebagai  sebuah Parpol  pemenang pemilu. Jangankan Gubernur DKI, Presiden pun ingin dikendalikan oleh PDIP. Jadi memang begitulah kondisi parpol-parpol kita.
Jadi dalam minggu-minggu terakhir ini Nampak sekali antara PDIP dengan Ahok sedang bermain Tarik Tambang.  PDIP setuju Ahok jadi gubernur lagi tetapi harus lewat mekanisme PDIP. Sementara Ahok sangat membutuhkan PDIP sebagai  partai terkuat di Jakarta, berikut Wagub Djarot tetapi syaratnya harus lewat jalur Independen.  Ini sulit bertemu.
Diatas kertas PDIP lebih punya power dari Ahok. Berbekal  perolehan  suara di Pileg 2014, PDIP bisa saja mengusung Djarot sebagai Cagub dari PDIP. Tinggal mencari Cawagubnya yang cukup diminati masyarakat. PDIP juga bisa menarik Ganjar Pranowo dari Jawa Tengah untuk dipasangkan dengan Djarot.  Jadi dalam konteks ini PDIP sebenarnya tidak bergantung pada Ahok.
Sebenarnya PDIP lebih menginginkan Ahok sebagai Cagub dari PDIP. Â Ini jalur mudah. Tetapi kalau Ahok tidak mau maka mungkin PDIP akan mencari Cagub alternative. Â Apalagi Ahok sudah beberapa kali membuat pernyataan bahwa bila Djarot tidak diizinkan berpasangan dengannya maka Ahok akan mengambil salah satu PNS untuk menjadi Cawagubnya.
Sekarang kita semua menunggu  apa langkah PDIP dengan kondisi sekarang ini. Bila saja PDIP menarik Ganjar Pranowo dari Jawa Tengah  untuk maju di Pilgub DKI nanti maka diatas kertas Ahok punya penantang yang sangat kuat. Dan bila banyak partai  ikut mendukung PDIP maka analisa gw kemungkinan besar Ahok akan kalah.
Berandai-andai  Ganjar maju di Pilgub DKI, kemungkinan besar  PKS dan Gerindra masih mencoba mendorong Yusril. Tetapi ketika terjadi Dua Putaran maka PKS dan Gerindra akan bergabung dengan PDIP. Sepertinya akan terjadi demikian.
Situasi ini bisa berubah kalau ternyata  Ahok mau melakukan bargaining politik lagi dengan PDIP atau ada muncul nama baru yang cukup popular selain Adhiyaksa, Yusril, Ahmad Dani dan Sandiaga. Bisa saja akan muncul penantang baru.  Tetapi bila melihat waktu yang sudah minim, kemungkinan besar tidak akan ada lagi nama Bakal Calon yang lain.
Gitu aja masbro ulasannya. Ntar disambung 2-3 hari lagi yaa. Heheee.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H