Kerja amatiran terbaca jelas telah dilakukan oleh para pelaku yang mestinya bisa dan biasa bekerja professional. Bagaimana mungkin sebuah buku keroyokan terbit tanpa ada kesepakatan terlebih dulu oleh para kontributornya. Ini bukti dari sebuah kerja amatiran yang dilakukan oleh para pekerja yang mestinya bisa bekerja professional.Bila para profesional menghasilkan karya amatiran ini mungkin sebuah kesengajaan. Kesengajaan sebagai setrategi akal bulus untuk tidak mengatakan bentuk lain dari sebuah penipuan. Sebuah akal bulus untuk sebuah harapan untung besar dalam rentang waktu sepuluh tahun kedepan. Sungguh aneh sebuah buku keroyokan menyisakan banyak tanya oleh para kontributornya justru ketika buku tersebut telah diterbitkan. Ini bukti kerja amatiran yang dilakukan oleh orang yang biasa kerja professional kecuali bila semuanya memang diniati mengeruk untung besar bahkan kalau bisa tanpa modal.
Saya bukan penulis buku Jokowi [bukan] untuk Presiden, saya hanya merasakan ada yang aneh dibalik terbitnya buku tersebut. (“Saya merasa aneh karena ada banyak keanehan dan keajaiban disini”).
Dibalik kisah sukses diterbitkannya buku tersebut ada seorang Kompasianer yang memposting artikel dengan judul “Dahsyat! Tulisanku tentang Jokowi Dihargai 155.000 Rupiah. Sebuah artikel pendek cukup dengan 3 paragraf tapi dilike hampir seratus orang dan di vote oleh lebih 60 kompasinaer dengan komentar hampir 250 orang.Artikel Bapak Suko Waspodo tersebut dalam paragraf awal cukup membuatku bingung bahkan sampei berulang-ulang membacanya, ini sebagian kutipannya.”Saya yakin buku tersebut akan laris dan best seller. Untuk itu kita patut berbangga kita terlibat di dalam buku itu. Dan yang lebih membanggakan lagi kita akan mendapatkan imbalan Rp 155.000,-/artikel (flat hanya terima sekali) untuk jangka waktu 10 tahun. Luar biasa, dahsyat !!! Suatu penghargaan karya ilmiah yang ‘sangat istimewa’.
Ini keanahen pertama yang aku tangkap, bayangkan sebuah artikel di hargai seratus lima puluh ribu rupiah untuk jangka waktu 10 tahun dan hanya terima sekali dan penulis mengatakan ini sebagai penghargaan dari sebuah karya ilmiah yang “sangat istimewa” dan Luar biasa, dahsyat !!!. Orang bodoh sepertiku merasa aneh dengan bahasa ini, kenapa penulis tidak langsung menolak saja imbalan dari penerbit (atau penyusun) apalagi untuk jangka waktu selama itu. Atau langsung saja membuat surat keberatan dan menarik kembali artikel yang telah dikirimkan atau penerbit siap dengan segala konsekuensi hukum bila buku tersebut tetap di edarkan.
Paragraf kedua lebih membikin rasa aneh bagi orang sepertiku, ini kutipannya, “Penghargaan sebesar itu yang kita terima hanya sekali dalam jangka waktu 10 tahun sungguh merupakan penghormatan terhadap karya ilmiah yang menakjubkan. Pasti membuat kecemburuan bagi para penulis lain. Mereka pasti belum pernah terima honor penulisan sebesar yang kita terima kali ini”. Membaca ini aku jadi bolak-balik dan kembali ke paragraph awal, kembali membaca judul ini, aku kembali mengulang membaca dan kembali mencermatinya. Ini aku lakukan berulang-ulang sambil berharap mudah-mudahan ada yang salah dari apa yang dituliskan. Kecemburuan, penghargaan, menakjubkan dan penghormatan untuk sebuah angka seratus lima puluh lima ribu rupiah.
Di paragraph ketiga/terakhirrasanya tidak perlu aku kutip kembali karenamudah dimengerti, ternyata sebagai kontributordalam buku tersebut tidak diajak bicara dulu dan langsung harus menandatangani kesepakatan imbalan sebesar itu setelah buku diterbitkan. Bayangkan sebuah buku diterbitkan tanpa ada kesepakatan terlebih dahulu. Kalau tidak sepakat lagi-lagi kenapa tidak menolak dan mengajukan keberatan dan protes keras.Sebagai orang bodoh tentu saja aku mesti bertanya apakah ini bukan sebuah pelanggaran hukum atau pelanggaran terhadap hak karya intelektual seseorang ?. Kesepakatan sepihak ini tentu saja akan membawa berbagai konsekuensi dari para pihak yang terlibat.
Buku sudah diterbitkan, kesepakatan sepihak telah dibuat meski saat ini lagi dicoba untuk direvisi kesepakatan itu. Bila nanti tetep tidak sepakat tentu saja menuntut lebih melalui jalur hukum juga merupakan bentuk pembelajaran yang lebih baik daripada bersikap pengecut.
Dari hampir dua ratus lima puluh komentar tidak banyak yang berkomentar dan mampu memberi solusi dan jalan keluar, tapi ada banyak komentar khas dunia maya yang penuh kelakar dan canda saja. Anehnya tidak banyak komentar yang berani dengan lugas menyebutkan adanya kesalahan bahkan adanya pelanggaran dalam penerbitan buku itu sekaligus member solusi terbaik.
Bapak Johan Wahyudi dalam artikelnya “Heboh buku kolaborasi kompasiana”, mengatakan bahwa buku itu termasuk buku yang lumayan baik, dan terasa agak aneh bila sang guru ini terasa banget menyalahkan para kompasianer dengan tidak memahami niatan penulisan buku itu. Lalu gimana menurut Pak Johan yang sudah menerbitkan hampir seratus buku bila ada kesepakatan dibuat sepihak malah ada yang belum tanda tangan lagi ? (Cuba kalo sempet baca juga artikel laen yang berkaitan dengan ini). Pak Johan lebih sependapat dengan niatan baik Pak Pepih Nugraha meski caranya juga tidak tepat apalagi seperti komentar yang dikutip Pak Johan itu dimana Pak Pepih mengatakan “….tetapi kalau belum apa-apa ukurannya materi, ya sudah. Salam.” Terasa banget ada yang aneh dari komentar yang dikutip Pak Johan ini, apa perlu aku jelaskan keanehan ini. Sebagai penulis hampir seratusan buku, bagaimana pendapat Pak Johan untuk Kontrak panjang selama 10 tahun dengan bayaran honor sekali saja alias memakai sistem beli putus, dengan harga masing-masing artikel Rp 155.000,- seperti ditulis oleh Anisa F Rangkuti dalam Miris, Tragedi Intelektual di Buku Jokowi ?.
Mbak Ira Oemar dalam artikel Buku Jokowi : Mengail di Air Keruh ? banyak cerita tentang buku SBY menjelang pilpres, masih dari artikel tersebut ada screen shoot tentang adanya janji bahwa penulis akan mendapat penjelasan dari sisi bisnisnya.Penjelasan dari sisi bisnis ini yang sampai sekarang tidak jelas seperti apa dan anehnya juga tidak ada yang mempermasalahkannya. Mungkin begitu banyak kompasianer berhati mulia hingga tidak mau mempermasalahkan meski mereka ngerti bahwa membuat artikel itu tidak mudah. Cerita Mbak Ira mengingatkan kasus Hazmi Srondol dengan 3 dus Indomienya dan rasanya 3 buah dus indomie itu juga senilai dengan seratus lima puluh lima ribu rupiah.
Ada banyak kompasianer berhati mulia seperti Bapak Ken Hirai dalam surat terbuka untukuntuk ADMIN Kompasiana yang mengiklaskan tulisannya masuk dalam buku Jokowi (Bukan) untuk Presiden itu dan sebuah permohonan maafnya karena dengan berat hati, belum bisa menandatangani surat perjanjian yang telah dikirimkan oleh Admin Kompasiana. Sebuah keiklasan atau sebuah kepasrahan untuk sebuah perlawanan ibarat melepas tikus tapi tetap memegang buntutnya..