Harta waris adalah semua harta dan kewajiban yang ditinggalkan oleh seseorang (pewaris) setelah kematiannya, yang akan dialihkan kepada ahli waris. Pengaturan mengenai harta waris di Indonesia diatur oleh berbagai hukum, termasuk hukum waris Islam, hukum adat, dan hukum perdata.Â
Dalam hukum waris, penerima warisan haruslah orang yang memiliki hubungan darah atau ikatan hukum yang sah dengan pewaris. Namun, ada satu ketentuan yang sangat penting dan dapat mengubah hak waris seseorang, yaitu jika orang tersebut terbukti sebagai pembunuh dari pewaris. Dalam hal ini, pembunuh tidak berhak menerima warisan apapun dari korban.
Para ulama, dari masa Tabi'in hingga para mujtahid, sepakat bahwa seorang pembunuh tidak berhak menerima warisan. Kesepakatan ini didasari oleh pandangan bahwa pembunuhan merupakan dosa besar, dan perbuatan dosa tidak dapat dijadikan alasan atau dasar untuk memperoleh hak waris. Berlandaskan sabda Nabi Muhammad S.A.W. yang diriwayatkan oleh An Nasa'i :Â
"Yang membunuh tidak mewarisi sesuatu apapun dari yang di bunuhnya."
Ini menunjukkan bahwa tindakan membunuh secara langsung menghilangkan hak waris, terlepas dari hubungan kekerabatan antara pelaku dan korban.
Kategori Pembunuhan dalam Hukum Islam
Ulama dari berbagai mazhab memiliki pandangan berbeda mengenai jenis pembunuhan yang dapat menggugurkan hak waris:
- Para Ulama Hanafiyah membagi menjadi dua jenis pembunuhan, antara lain: pembunuhan langsung (mubasyarah), dan pembunuhan tidak langsung (tasabbub), dan pembunuhan secara langsung dibagi menjadi empat kategori: pembunuhan dengan sengaja, pembunuhan yang serupa sengaja, dan pembunuhan yang tidak disengaja, serta pembunuhan yang dipandang tidak dengan sengaja. Pembunuhan langsung menjadi halangan untuk menerima warisan, sementara pembunuhan tidak langsung tidak menghalangi seseorang untuk mewarisi.Â
- Imam Syafi'i berpendapat bahwa pembunuhan yang tidak disengaja menghalangi hak seseorang untuk menerima warisan, sama halnya dengan pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja. Pendapat yang sama juga berlaku jika pembunuhnya adalah seorang anak kecil atau orang gila.
- Imam Malik berpendapat seseorang yang membunuh kerabatnya dengan alasan qisas, untuk mempertahankan diri, atau atas perintah hakim yang adil, serta alasan-alasan lain yang dibenarkan oleh syariat, tidak terhalang untuk menerima warisan. Hal yang sama berlaku bagi pembunuhan yang tidak disengaja.
- Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa pembunuhan yang menghalangi hak untuk memperoleh warisan adalah pembunuhan yang berakibat pada adanya hukuman, meskipun hukuman tersebut berupa karma. Namun, pembunuhan yang dilakukan karena alasan yang dibenarkan, seperti untuk membela diri atau atas perintah hakim yang adil terhadap pemberontak dalam perang, tidak menghalangi seseorang untuk menerima warisan. Sebaliknya, jika seseorang membunuh pewaris, seperti seorang anak yang membunuh ayahnya, maka orang tersebut tidak berhak mendapatkan warisan.
Pengaruh Terhadap Hak Waris Lainnya
Jika pembunuh tidak berhak atas warisan, maka hak warisnya dialihkan kepada ahli waris lainnya yang sah. Biasanya, dalam hal ini, ahli waris lainnya, seperti anak, istri, atau saudara kandung dari pewaris, akan memperoleh bagian warisan yang sebelumnya seharusnya menjadi hak pembunuh. Proses ini penting agar harta peninggalan pewaris tidak jatuh ke tangan orang yang tidak layak menerimanya.
Namun, jika tidak ada ahli waris lain yang sah atau jika semua ahli waris lainnya juga terhalang hak warisnya (misalnya, karena alasan lain yang sah), maka warisan dapat jatuh ke negara atau diatur lebih lanjut sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
KesimpulanÂ