[caption caption="Aliran Air Terjun Kuang Si"][/caption]Sabtu, 30 Januari 2016, memasuki hari kesebelas perjalanan kami menjejaki daratan Asia Tenggara. Kami tiba di Luang Prabang tepat pukul dua dinihari, setelah menempuh perjalanan panjang dari Huay Xai selama 15 jam dengan ongkos 150 ribu Kip. Pagi sekali. Kami menyangka bis ini akan tiba di dekat waktu matahari akan terbit. Ternyata dugaan kami meleset jauh. Fiuh. Kami memutuskan untuk rehat sejenak di terminal bis yang tampak sangat sederhana ini. Beberapa supir tuk-tuk sengaja bermalam di terminal, tidur di dalam tuk-tuk masing – masing. Musim dingin masih belum beranjak pergi. Kami kedinginan.
Syukurlah perut kami telah terisi dengan mie instan cup produk impor Tiongkok saat bis berhenti di sebuah kota tadi. Ukurannya besar sekali, bahkan kami tak sanggup menghabiskannya. Harganya 6 ribu Kip. Kami berani membelinya karena tertera label halal dari lembaga halal MUI –nya Negara Tiongkok pada kemasan. Di dalamnya terdapat sosis yang masih terbungkus dalam plastik. Air panas kami dapatkan dari toko penjual.
[caption caption="Mi cup halal produk Tiongkok"]
Sepuluh menit kemudian tuk-tuk tiba di pusat kota Luang Prabang. Tepatnya di sebuah persimpangan luas dan bersih. Seketika hati kami bersorak senang. Pusat kota ini masih hidup, meski hanya diramaikan oleh pondok-pondok tempat berjualan. Deretan penjaja makanan memenuhi di sepanjang ruas di salah satu sudut persimpangan. Penataan warung-warung bambu ini terlihat sangat kreatif. Terlihat sedikit elegan meski hanya berupa deretan pondok warung kecil. Ya, kawasan ini merupakan tempat berlalu – lalangnya para turis, meski di pagi nan gelap ini jumlahnya dapat dihitung dengan jari.
Kami memesan kopi khas Laos di salah satu warung sembari duduk – duduk pada bangku panjang di depannya, menanti pagi benderang. Harganya 5 ribu Kip per cangkir. Waktu Sholat Subuh tiba. Tak ada Masjid di sini. Kami sholat di tempat kami duduk, bergantian. Perlahan langit mulai remang. Ada pemandangan menarik di sudut – sudut persimpangan jalan.Â
Tampak sekitar tak lebih dari sepuluh orang sedang duduk berderet di trotoar jalan sembari memegang wadah keranjang yang di dalamnya berisi snack, nasi, dan makanan ringan lainnya. Tak lama kemudian datang para biksu dengan pakaian khas orennya berjalan antri melewati di depan orang-orang yang duduk tersebut.
 Kemudian orang-orang yang duduk itu memberikan makanan tersebut kepada para biksu satu per satu. Para biksu itu terus berjalan hingga tak terlihat lagi. Ada sekitar sepuluh kali ritual ini dilakukan yang tersebar di beberapa titik persimpangan jalan ini. Kegiatan ini menjadi tontonan menarik bagi para wisatawan, sehingga tidak sedikit yang rela bangun pagi untuk menyaksikan momen unik ini.
Mentari mulai menampakkan diri. Pagi ini cerah sekali. Namun suhu udara masih terasa dingin, musim belum berakhir. Hiruk – pikuk wisatawan mulai terasa. Tidak hanya turis kulit putih, kota ini juga dipenuhi turis bermata sipit dari Asia Timur: Tiongkok, Korea, dan Jepang.Â
Jika Phuket di Thailand dikatakan belum afdol mendatanginya kalau belum pergi ke Pulau Phi-phi, maka sama halnya dengan Luang Prabang, belum sah jika belum melihat Air Terjun Kuang Si secara langsung yang menjadi ikon kota ini.
Luang Prabang merupakan salah satu kota warisan dunia yang ditetapkan oleh UNESCO sejak tahun 1995. Kota ini tidak tergolong maju juga bukan sebuah kota yang tertinggal, berada di tengahnya. Meski begitu, pusat kotanya benar – benar dikemas dengan menarik. Mungkin warga setempat menyadari bahwa kota mereka menjadi destinasi utama wisatawan dunia. Setiap hari tak henti – hentinya wisatawan mendatangi kota eksotis ini. Tak kenal akhir pekan maupun tanggal merah.
[caption caption="Suasana warung turis di subuh hari di persimpangan utama"]