[caption caption="Melaka, Kota Warisan Dunia"][/caption]
Rabu, 23 Januari 2016, saya berangkat dari Medan menuju Kualalumpur, Malaysia, dengan menggunakan pesawat Air Asia. Perjalanan ditempuh selama satu jam. Selanjutnya perjalanan panjanng ini akan diteruskan secara estafet melalui jalur darat. Menyambangi kota demi kota di beberapa negara di Asia Tenggara: Malaysia, Thailand, Laos, hingga Vietnam. Kali ini saya tidak sendiri sebagaimana lima tahun lalu. Seorang wanita berdarah batak yang baru saja resmi menjadi pendamping hidup saya turut dalam perjalanan ini. Ya, ini adalah perjalanan ala honeymoon. Sedikit ekstrim memang. But, it’s our pleasure!
Setibanya di Bandara Kuala Lumpur International Airport (KLIA) 2, kami langsung melanjutkan perjalanan menuju Melaka yang hanya berjarak dua jam. Tiket ke Melaka seharga MYR 24 bisa dibeli di bandara ini, tepatnya di lantai satu. Loket penjualan tiket bis di sini sebenarnya hanya melayani jarak dekat saja seperti ke pusat kota (KL Sentral) dan sekitarnya yang ditempuh selama satu jam. Khusus Melaka, KLIA2 menyediakan bus khusus.
Tiba di Melaka hari menjelang sore. Bis berhenti di Melaka Sentral. Tempat ini mirip seperti sebuah mal sederhana, hanya satu lantai namun luas. Bentuk bangunannya berbentuk lingkaran. Di sini juga berfungsi sebagai terminal bis dimana di sekelilingnya dijadikan platform pemberhentian bis. Di dalamnya terdapat deretan loket penjualan tiket ke berbagai penjuru kota di Malaysia.
[caption caption="Makan malam di Restoran Melaka Sentral"]
[caption caption="Loket penjualan tiket di Melaka Sentral"]
[caption caption="Bis Panorama sedang menanti penumpang di Melaka Sentral"]
Hari semakin sore. Kami menuju pusat kota dengan menggunakan bis Panorama. Ini adalah transportasi antarkota yang mirip seperti Trans Jakarta. Deretan platform bis antarkota terdapat di salah satu sisi bangunan ini. Tak lama, hanya membutuhkan waktu sepuluh menit untuk tiba di pusat kota Melaka. Tepatnya di Dataran Pahlawan, sebuah kawasan populer di kota mungil ini.
Melaka sejatinya merupakan kota bersejarah di semenanjung Malaysia. Sebuah selat bernama serupa merupakan jalur terpenting pelayaran kapal-kapal sejak berabad-abad silam hingga sekarang. Tak heran jika banyak bangunan-bangunan serta peninggalan bersejarah di bumi Melayu ini. Rupa bangunan seperti ruko-ruko yang berjejer masih menyerupai bentuk aslinya, hanya sedikit renovasi agar tak lekang dimakan jaman. Pada 2008, United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) menetapkan wilayah ini sebagai Kota Warisan Dunia.
Meski mungil dan bersejarah namun modernisasi tetap menyentuh di berbagai sudut kota. Gedung-gedung seperti hotel, pusat perbelanjaan, dan restoran memenuhi di sepanjang sisi jalan. Kami mencari penginapan di sekitar Dataran Pahlawan. Tepat di seberang taman tempat berdirinya menara setinggi 110 meter bernama Taming Sari. Di sini terdapat banyak penginapan murah mulai dari private room hingga kamar berbentuk dormitori. Harganya berkisar antara MYR 20 hingga 100 per malam.
[caption caption="Kawasan Dataran Pahlawan"]
Sebagai informasi, Menara Taming Sari ini bukan menara biasa. Tetapi berfungsi juga sebagai sebuah wahana yang bisa membawa wisatawan hingga ke puncak. Terdapat sebuah ruangan yang bentuknya seperti ufo. Ruangan besar yang dilapisi kaca transparan ini mengelilingi tiang menara nan kokoh di tengahnya dan bisa bergerak naik – turun sebagaimana lift. Jika hendak menikmati pesona Kota Melaka dari ketinggian sangat cocok untuk mencobanya. Harga tiket dikenakan sebesar MYR 20 bagi orang dewasa dan MYR 10 untuk anak-anak di bawah 12 tahun. Namun kami tidak berkesempatan mencobanya karena sudah tutup.
Mengingat besok akan kembali ke Kualalumpur maka waktu yang tersisa benar-benar kami manfaatkan dengan baik untuk menjelajahi tiap sudut kota Melaka. Ya, penjelajahan ini kami lakukan pada malam hari. Meski langit telah gelap namun pesona kota tua ini tetap tak kalah menarik. Siraman cahaya lampu-lampu kota yang berwarna kuning temaram semakin menambah kesan romantis. Tidak sedikit wisatawan yang berkunjung pada malam hari.
[caption caption="Sungai yang disulap jadi objek wisata menawan"]
[caption caption="Meski malam hari tak menyurutkan minat wisatawan untuk menjelajahi jejak sejarah di Melaka"]
Dari Dataran Pahlawan kami berjalan kaki menuju kawasan kota tua yang hanya berjarak satu kilometer. Sepanjang perjalanan kami melihat tempat-tempat menarik dan bersejarah. Diantaranya sebuah kapal Portugis peninggalan penjajahan masa lalu yang dipugar dan dijadikan sebuah museum maritim atau orang Malaysia menyebutnya dengan Muzium Samudra. Museum berbentuk kapal ini bisa dimasuki dengan membayar tiket sebesar MYR 10 untuk dewasa dan MYR 6 untuk anak-anak. Lokasinya berada persis di pinggir Sungai Melaka. Ya, di kota yang identik dengan daerah maritim ini terdapat sebuah sungai yang bermuara hingga ke Selat Malaka. Sungai yang mengalir di tengah kota ini oleh pemerintah setempat dimanfaatkan sebagai objek wisata dengan menyediakan kapal wisata di dalamnya. Mirip seperti kanal-kanal yang ada di Venisia.
Berjalan sedikit dari museum, kami mendapati sebuah taman yang dirancang sebagai tempat edukasi sejarah untuk mengenalkan Kota Melaka kepada wisatawan. Terdapat papan-papan informasi yang dipajang di beberapa tempat. Tepat di seberang taman nan molek tersebut terdapat reruntuhan benteng seluas lapangan badminton yang sengaja dibiarkan seperti bentuk asli. Meski terlihat sedikit menyeramkan pada malam hari, namun masih saja ada wisatawan yang penasaran memasuki benteng tersebut.
Berjalan beberapa langkah atau tepat di seberang benteng tersebut kami pun tiba di sebuah tempat yang merupakan pusat dari kota tua. Tempat ini berada persis di sebuah persimpangan mungil yang memiliki banyak persimpangan jalan. Khusus di tempat ini, jalannya tidak dilapisi aspal melainkan beralaskan kepingan-kepingan konblok cantik berwarna merah. Di sekitarnya terdapat banyak taman-taman kecil yang ditumbuhi tanaman hias. Banyak hal menarik yang bisa dilihat di sini. Di antaranya kincir angin, jembatan melengkung yang membelah sungai, taman-taman mungil, dan Gereja berwarna merah atau Christ Curch yang menjadi landmark kota ini.
[caption caption="Berpose dengan latar gereja merah Christ Church"]
[caption caption="Gedung-gedung yang dipoles dengan warna merah"]
[caption caption="Jalanan yang dilapisi dengan konblok"]
Gereja ini merupakan peninggalan dari pemerintahan Belanda yang dibangun pada tahun 1753. Sebelumnya bernama Dutch Reformed Church (Gereformeerde Kerk). Kemudian pada tahun 1795 diambil alih oleh Inggris dan diubah menjadi Anglican Church. Tidak hanya gereja, hampir di seluruh kawasan ini semuanya dipoles dengan warna merah, baik itu bangunan maupun jalanannya. Dinas Pariwisata Melaka memang benar-benar serius dalam memoles tempat ini agar menjadi daya tarik nan menawan bagi wisatawan. Wajar saja jika UNESCO menjadi terpikat dan menetapkannya sebagai World Heritage City.
Dari Christ Church kami masih terus melangkahkan kaki melintasi jalan-jalan mungil yang diapit bangunan-bangunan tua berwarna merah. Sekitar 500 meter bertemu lagi dengan persimpangan jalan yang menghubungkan dengan simpang-simpang tua di sekitarnya. Lalu berbelok ke arah kiri melintasi jembatan yang membelah Sungai Melaka. Siraman cahaya lampu kuning temaram masih terlihat dimana-mana.
[caption caption="Sungai di tengah Kota Melaka"]
[caption caption="Persimpangan Laksamana"]
Belok ke kiri lagi. Masih berada di kawasan kota tua. Kali ini kami memasuki penampakan kota tua yang benar-benar alami. Tidak dipoles memerah sebagaimana sebelumnya. Di sisi kiri - kanan tampak bangunan-bangunan dengan ragam arsitektur jadul (jaman dulu) nan unik. Disini juga banyak terdapat penginapan murah.
Pada jalan ini terdapat belokan pertama ke arah kanan yang tertera pada papan penunjuk arah tulisan "Makam Hang Jebat", seorang legeda pada masa kerajaan Melayu. Mengingat waktu malam hari, kami mengurungkan niat ke sana. Kami pun terus berjalan ke depan hingga bertemu persimpangan Jonker Street. Cukup semarak suasana di sini. Bangunan bertingkat lima bergaya khas oriental tampak cantik di sudut kiri. Di sudut kanan terdapat sebuah kafe waralaba ternama yang didatangi oleh anak-anak muda.
Saat bertandang ke sini kami melihat sekelompok orang sedang melakukan syuting film. Aroma sejarah dan budaya yang masih melekat di sini sering memikat bagi para pekerja seni untuk dijadikan lokasi pengambilan gambar.
[caption caption="Kawasan Jonker Street dijadikan tempat lokasi syuting"]
[caption caption="Jembatan yang membelah Sungai Melaka"]
[caption caption="Kincir Angin"]
Dari Jonker Street, kami mengambil arah ke kiri, menyeberangi jembatan, dan bertemu kembali dengan kawasan Gereja Merah. Kemudian dilanjutkan melewati jalan serupa saat perjalanan pergi, dan terus berjalan hingga ke Dataran Pahlawan, kembali ke penginapan.
Meski penjelajahan kota tua ini dilakukan malam hari namun tetap membekaskan kesan tak terlupakan. Puas melihat keelokan kotanya. Menikmati suasana nan romantis di bawah temaram cahaya lampu-lampu kuning yang menyirami tiap penjuru kota. Sensasi yang tentunya tak bisa dirasakan di siang hari.
*Foto Dokumen Pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H