Ada satu hal yang membuatku selalu tesenyum saat diterpa secercah cahaya suci yang menyilaukan hati, membuatku selalu bersyukur masih bisa menemuinya walau barang hanya sedetik saja. Nafasku selalu terdengar syahdu saat merasakan hangat sapanya, begitupun dengan melodi nadi yang kudengar begitu harmoni disentuh sukmanya. Mentari, yang berdiri gagah tersenyum bijaksana. Ia terlihat lelah menanggung beribu-ribu pesan cahaya yang harus ia sampaikan ke muka bumi. Kepada seluruh umat manusia, baik yang merindukan sinarnya atau yang enggan melihatnya bersinar. Tapi lihat, mentari tak peduli. Ia tetap teguh dalam tugas mulia yang telah Tuhan berikan kepadanya. Pernah aku memergokinya sesekali mengeluh, menampakkan wajah letihnya di hadapan buih awan. Keluhnya hanya berupa piyuhaan nafas yang kemudian berganti dengan ucapan syukur kepada-Nya. Aku heran dan kembali bersembunyi dari tempatku berpijak. Saat itu pula kudengar awan bertanya, “Mentari, tidakkah kau memiliki cara mengeluh yang lebih mudah kuterima? Sungguh aku tak pernah tahu apa yang kau pikirkan.” Mentari hanya tersenyum, senyum penuh makna yang membuat awan selalu mendapatkan berjuta kebingungan karenanya. Bertahun-tahun pula berjuta tanya hadir dalam benakku. Namun, aku tak pernah berani mengatakannya pada Sang Mentari. Sungguh, aku ingin menemukan jawabnnya dari apa yang kulihat sendiri. Menyelidik setiap inchi goresan emas hasil lukisan mentari, memaknainya.
Pernah suatu kali aku berhasil menemukan jawaban dari satu diantara ribuan tanya yang ada tentang mentari. Tentang kiatnya menjaga diri dari kebosanan yang sering mencoba hinggap diantara sayap-sayap mengkilapnya. “Aku tak akan pernah bosan melihat mereka tersenyum karenaku, aku rela berikan yang kupunya untuk kebahagian mereka,”ucap mentari mengagetkanku. Hei! Kau tahu peluhmu menanggung beban itu sekiranya bisa untuk padamkan kebakaran hutan di negeri ini? Dan kaupun rela peluh itu mengering, hilang, tanpa sisa karena panasnya beban yang kautahan? Sadarkah engkau? “Tuhan yang telah menakdirkan ini untukku, dan inilah pilihanku,”ucapnya lagi.
Mentari sungguh berbeda dengan aku. Aku selalu meronta, menyalahkan yang memilihku, berlari, marah, menangis, bahkan mengutuk. Aku tak pernah bisa bertahan dari perasaan yang selalu berkecamuk saat sesuatu yang bukan aku merasuk, mencoba mengubah aku yang sebenarnya. Aku tak bisa. Bahkan demi sesuatu yang luarbiasa. Pun, aku enggan.
Suatu hari saat bulan dan bintang mulai menghiasi ruang ajaib milik Tuhan dan mentari tengah bergegas pulang ke singgasananya, bulan tiba-tiba berpesan,”Kawanku, istirahatlah. Sebentar saja. Jangan kau habiskan waktu yang singkat ini hanya untuk orang lain, bahagiakan pula dirimu. Sekali –kali.” Mentari menjawabnya dengan tersenyum,”Aku sudah bahagia dengan apa yang telah kudapatkan saat ini, sobat. Dan aku bahagia melihat mereka bahagia.” Kemudian ia pulang, bukan beristirahat, melainkan membongkar tugas lama yang tersisa dan memuatnya dengan tugas baru yang lebih berat. Begitulah kiranya, kehidupan mentari. Namun hebatnya, aku tak pernah kekurangan kasih sayang darinya. Ia selalu meluangkan waktunya untukku, mendengarkan ceritaku, menceritakan kisahnya padaku. Lambat laun aku mulai mengerti, arti dari setiap langkah yang ia tempa. Ia menunjukkan jawaban dari pertanyaanku di setiap nafasnya.
Sampai suatu saat, semua menjadi gelap. Aku tak bisa melihat siapapun dan siapapun tak bisa melihatku. Kucari mentari, memintanya terangi gulita ini. Namun, aku tak bisa menemukannya. “Ayaaaah, kemana engkau pergi? Apakah sudah saatnya bagiku untuk menggantikan tahta sebagai Sang Mentari?”
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI