TV One - Metro TV dan Ilusi Quick Count Dalam Pilres 2014
(Sebuah Analisis Wacana Kritis)
Oleh: Fadli Herman
Kondisi kebebasan pers yang lebih buruk dari rezim Orde Baru kini menjadi nyata. Dua jam mengamati sajian duopoli media – TV One dan Metro TV – secara bergantian, sudah cukup untuk merinci bagaimana kedua media ini memperlakukan kebebasan pers.
Setelah jatuhnya rezim Orde Baru tahun 1998, kebebasan pers menjadi pemandangan nyata diera reformasi. Pers Tanah Air meraih legitimasikebebasan melalui Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999.Kemerdekaan pers menjadi wujud kedaulatan rakyat dan unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat yang tercantum dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 harus dijamin.
Selama Orde Baru, pers berada di bawah kontrol kekuasaan, jauh dari fungsi utamanya sebagai pilar penegakan suatu ruang publik. Di bawah dominasi, pers dan berbagai lembaga pendidikan serta badan publik lainnya dijadikan aparatur ideologi negara, begitu pun militer dan kelompok-kelompok political thugs (preman-preman politik) sebagai aparatur represif negara yang dibina penguasa untuk memapankan struktur politik otoritarian Orde Baru.
Pergeseran politik Mei 1998 membawa perubahan terhadap struktur ekonomi-politik pers Tanah Air. Perubahan kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang terjadi secara cepat melahirkan kapasitas yang relatif besar bagi para pekerja pers untuk melakukan tindakan-tindakan signifikan, menyebabkan teks isi media secara umum mengalami perubahan drastis.Di atas legitimasi kebebasan, pers kemudian tampil lebih eksploratif mengolah isu-isu permasalahan sebagai komoditas informasi. Kemerdekaan yang diperoleh pers membuatnya lebih bersikap kritis terhadap penyelenggara kekuasaan. Secara bersamaan, publik turut menemukan ruang untuk memaknai realitas yang selama beberapa dasawarsa didominasi oleh rezim Orde Baru.
Pada gilirannya, kebebasan pers seakan menggiring publik konsumen industri media memasuki era baru “gelombang dahsyat” informasi.Terlepas dari apakah publik benar-benar telah memiliki konsepsi dasar tentang bagaimana menata pertukaran teks-teks, simbol-simbol, dan artifisial yang terus “menyerbu”. Dalam konteks ini, publik diposisikan di tengah pusaran arus wacanauntuk memilih dan memaknai informasiyang secara terus-menerus diproduksioleh media massa.
Media massa dalam pandangan Hidayat (dalam Sudibyo, 2006:x) memiliki fungsi ideologis dan melakukan manuver politik sesuai dengan fungsi ideologinya. Hal ini mencakup mengenai siapa, kepentingan apa, dan perspektif mana yang memperoleh akses yang lebih besar ke media. Di luar fungsi ideologis yang dijalankan, media mesti dilihat sebagai sebuah institusi ekonomi. Oleh sebab yang sama, manuver politik yang dijalankan melalui politik pemberitaannya juga dikemas sebagai komoditi informasi yang berusaha menyiasati tuntutan serta peluang pasar.Di satu sisi, bersamaan dengan kebebasan yang diraih pers, muncul berbagai keluhan publik atas pemberitaan media yang sepihak, tidak objektif,serta mengingkari kaidah keberimbangan. Hal ini mengindikasikan betapa pemberitaan media massa secara perlahan telah bergeser dari fungsi utamanya sebagai ruang publik.
Dan dalam konteks sosial pemilihan presiden (Pilpres) 2014, fenomena ini dengan sangat jelas diperlihatkan oleh duopoli media Tanah Air, yaitu TV One dan Metro TV. Penggunaan istilah duopoli dalam hal ini dikenakan pada makna kepemilikan pengaruh besar. TV One dan Metro TV adalah media nasional yang telah mengambil peran menyalurkan dan terus memperbarui informasi peristiwaPilpres 2014. Sekaligus menjadi rujukan utama/ media prestisius publik atau konsumen industri media secara nasional dalam mengakses perkembangan informasi terkait peristiwa tersebut.
Melalui pemberitaannya, secara kasar produksi informasi yang disajikan ke publik dibangun di atas struktur sistem politik, irasionalitas, dan ideologipartisan. Bahkan dengan pongah duopoli media tersebut mempertontonkan bagaimana ia disalahgunakan, bagaimana dominasi kekuasaan ia jalankan dan ia reproduksi melalui teks, simbol, dan artifisial dalam sebuah konteks sosial politik.
Quick Count atau “penghitungan suara versi cepat” pun secara terus-menerus diulang, disuntiikan ke imaji khlayak untuk kemudian diterima dengan paksa sebagai realitas nyata hasil yang menentukan. Meski konsepsi khalayak/ publik secara alamiah menolak.
Sebab bergerak dari dan dengan kepentingan yang berbeda, maka masing-masing media mengusung dominasi dengan klaim yang justru mengabaikan prinsip keabsahan yang faktual, tanpa peduli bahwa konsumen industri media telah menjadi korban arus informasi yang terus menyerbu.
Seluruh informasi yang disajikan sepenuhnya melalui pertimbangan-pertimbangan subjektif, pengaruh modal dan intervensi kepemilikan, serta politik kelas. Teks-teks, simbol-simbol, dan artifisial yang disajikan merepresentasikan sikap stereotipe para awak masing-masing media. Di sana, tumbuh eksklusif. Sikap yang terbentuk di bawah propaganda nilai-nilai yang terjadi dalam struktur di luar diri wartawan, yaitu pemilik modal dan kekuasaan.
Hasilnya, jika selama Orde Baru, pers berada di bawah kontrol kekuasaan, jauh dari fungsi utamanya sebagai pilar penegakan suatu ruang publik. Kini, duopoli media tersebut semakin mengukuhkan eksistensinya sebagai pilar penegakan ruang khusus elit politik dan partisan, dengan bangga menjadi aparatur ideologi politik, aparatur yang represif yang dibina penguasa politik untuk memapankan struktur politik otoritarian rezim kepartisan.
Tampaknya duopoli media tersebut memang tak ingin menyia-nyiakan posisi strategisnya sebagai instrumen ampuh dalam menciptakan opini publik pun dalam mengonstruksikan realitas politik.
Suwardi (dalam Hamad, 2004:xvii) menegaskan apapun faktor yang memengaruhinya (baca: media massa), jika sudah menjadi agen politik, maka persoalan objektifitas dalam pemberitaan politik menjadi hal yang krusial. Apalagi salah satu karakteristik utama berita politik itu sendiri adalah pembentukan opini publik. Hanya dengan menjadi saluran komunikasi politik saja, secara signifikan media dapat menyumbang pada pembentukan opini publik terlebih lagi jika bertindak sebagai agen politik.
Pada kenyataanya, dalam mengonstruksi realitas politik berita-berita Pilpres 2014. TV One dan Metro TV telah menjadi agen politik dan menafikkan fungsinya sebagai saluran informasi politik. Sikap tersebut sangat bertentangan dengan fungsi utama media massa sebagai pilar penegakan suatu ruang publik.
Untuk kembali meraih kepercayaan publik selaku konsumen industri media, maka sebaiknya kedua media menyediakan distribusi kausa yang sama antarindividu yang terlibat dalam pemberitaan, membuka akses selebar-lebarnya bagi setiap warga/ khalayak, dan tidak ada pengistimewaan yang diberikan kepada pihak-pihak tertentu.
Kedua media mesti menegakkan kemandirian dari pengaruh serta dominasi kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat, kepentingan politik, dan tekanan pasar, sambil berpihak pada norma-norma penyelenggaraan ruang publikyang menjamin berlangsungnya diskursus rasional, guna mencapai konsensus-konsensus publik yang benar-benar legitim.
Dan kepada para pembaca, dalam setiap kesempatan menyaksikan berita kedua media tersebut diharapkan untuk mencermati pengemasanberita dengan baik agar dapat menemukan realitas yang faktual bukan realitas semu yang dikonstruksi berdasarkan pandangan dan penafsiran subjektif wartawan dan media di bawah intervensi kepentingan pemilik modal, kepentingan, dan kekuasaan politik.
Rujukan:
Sudibyo, Agus. 2006. Politik Media dan Pertarungan Wacana. Yogyakarta: LKiS.
Hamad, Ibnu. 2004. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa: Sebuah Studi
Critical Discourse Analysis terhadap Berita-berita Politik. Jakarta: Granit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H