Pemerintah Tiongkok tak mau membuang waktu untuk mewujudkan ambisinya memainkan peran penting dalam ekonomi global. Berdasarkan artikel yang dimuat harian Kompas (8/2/15) menyatakan bahwa presiden Tiongkok Xi Jinping mencanangkan niat negerinya menghidupkan “Jalur Sutra Maritim (JSM)“. Gagasan pembangunan JSM ini memberi peluang bagi Indonesia untuk melakukan perubahan besar dan sangat strategis yaitu menempatkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia (PMD). Presiden Xi Jinping melontarkan inisiatif strateginya untuk meningkatkan investasi dan kolaborasi dengan seluruh negara yang berkepentingan dengan peningkatan jalur laut, inisiatif tesrsebut sejalan dengan program prioritas pemerintah Indonesia, yaitu kemaritiman; menjadikan pembangunan kekuatan maritim dan pembangunan ekonomi berbasis maritim.
Konsep PMD yang diusung pemerintah Indonesia adalah mempertahankan kesetimbangan dinamis negara-negara besar di kawasan Asia. Namun, gagasan JSM ini dianggap bernuansa hegemonis; Tiongkok menggunakan samudera dan lautan berebut pengaruh di kawasan Asia melalui konsep jalur sutranya yang akan membawa perubahan strategis geopolitik dan geoekonomi Asia. Asumsi tersebut dapat dilihat dari beberapa pertimbangan tiga berikut ini: Pertama, perubahan dramatis peta geografis Tiongkok yang secara sepihak mengklaim pulau kosong yang terjadi di kawasan Laut Tiongkok Selatan dan Laut Tiongkok Timur. Kedua, peningkatan anggaran belanja militer Tiongkok yang naik hingga 40%. Ketiga, Tiongkok membangun Asian Infrastructure Invesment Bank (AIIB) dengan investasi 50 miliar dollar AS.
Sebagai negara yang kini memiliki kekuatan ekonomi raksasa, wajar jika Tiongkok membangun kekuatan militer, tetapi persoalannya adalah Tiongkok memiliki benih-benih persengketaan di beberapa negara, baik di perairan Laut Tiongkok Selatan maupun Laut Tiongkok Timur yaitu isu “Sembilan Garis Putus-putus (SGP2)”. Di Laut Tiongkok Selatan; Tiongkok secara sepihak mengklaim pulau Spartly dan gugusan karang Fiery Cross milik Filipina dan pulau Paracel milik Vietnam. Sedangkan di Laut Tiongkok Timur; Tiongkok bersiteru dengan Jepang terkait klaim pulau kosong Senkakou versi Jepang dan Diayou versi Tiongkok.
Area yang diklaim Tiongkok mencakup 90% dari perairan 3,5 juta kilometer persegi yang berlimpah sumber daya alam itu. Kehadiran pulau palsu jelas mengubah seluruh tatanan kedaulatan negara, perilaku hegemonisme Tiongkok melalui aktivitas reklamasi pulau dan karang kosong akan menyeret Indonesia yang selama ini tidak memiliki kepentingan di kawasan itu.
Lantas, apa urusan Indonesia dengan pulau palsu made in Tiongkok ini? Indonesia memang tidak menjadi salah satu pengklaim dalam sengketa di Laut Tiongkok Selatan terkait klaim sepihak SGP2 tadi. Namun, hal tersebut tidak membuat Indonesia bebas dari ancaman yang dianggap membahayakan kedaulatan negara. Seperti yang diberitakan Jendral TNI Moeldoko menyatakan, bahwa Indonesia kecewa karena Tiongkok telah memasukan bagian kepulauan Natuna pada peta Tiongkok terkait isu SGP2. Hal tersebut diperkirakan ada persinggungan antara klaim Tiongkok itu dan zona ekonomi ekslusif Indonesia di sekitar perairan kepulauan Natuna. Perairan Natuna diyakini sangat menarik minat Tiongkok mengingat potensi kekayaan alamnya yang besar, terutama minyak dan gas bumi, serta hasil lautnya. Kegiatan ini bisa mengancam potensi perikanan dan mendorong pencurian di wilayah-wilayah lain, termasuk Indonesia.
Kesimpulan yang dapat ditarik pada uraian di atas menunjukkan titik tekan bahwa; [1] bagi Indonesia gagasan JSM ini menjadi sangat penting, di satu pihak mengharuskan adanya kerja sama kemaritiman dalam rangka pengembangan dan pengelolaan laut, di pihak lain penyelesaian sengketa kepemilikan pulau, [2] tampaknya konsep kerja sama kemaritiman bagi Indonesia perlu dipertimbangkan dengan hati-hati, setidaknya secara garis besar kehati-hatian tersebut harus memenuhi tiga syarat. Pertama, penguatan kerja sama keamanan maritim baik di tingkat internasional maupun regional. Kedua, memperkuat klaim kepemilikan pulau-pulau terluar yang dapat mempengaruhi luas wilayah geografis konsep negara kepulauan Indonesia. Ketiga, signifikansi kerja sama keamanan maritim haruslah dimulai dari pengidentifikasian kepentingan maritim itu bagi Indonesia dalam masa damai maupun dalam masa perang, kepentingan tersebut mengharuskan konsep kebijakan keamanan maritim yang terpadu.
Adalah diplomasi maritim. Fungsi diplomasi ini akan memainkan peran penting dalam hubungan antarbangsa, khususnya dalam persinggungan krusial tarik-menarik kepentingan kedaulatan nasional, dan persoalan yuridiksi hukum internasional di lautan. Dengan luas laut 5,8 juta kilometer dan kekayaan yang berlimpah menjadi mandala baru bagi Indonesia dalam menata kerja sama ekonomi, perdagangan, dan keuangan global. Diplomasi maritim menjadi relevan ketika suasana Asia yang disebut sebagai zhengleng jingri (dingin politik, panas ekonomi), ketika situasi dan kondisi akibat ancaman politik berbagai pihak terus berlangsung, tetapi tetap mempertahankan kerja sama yang erat di bidang perdagangan dan investasi. Namun penekanan kerja sama itu harus sesuai dengan prinsip “yi lu yi dai“ (satu sabuk satu jalan) sehingga peta kerja sama tadi tidak berubah menjadi “ekspansi diam-diam” yang bisa mengubah peta maritim Asia Tenggara.
Diplomasi maritim perlu dirumuskan secara memadai sesuai nuansa abad ke-21 atau mengikuti nilai dan norma hukum internasional, sehingga tidak dengan mudah berubah menjadi gunboat diplomacy, menabrakan ke kapal ikan di kawasan tertentu atau menenggelamkan kapal ikan asing di wilayah tertentu. Selain itu, diplomasi kemaritiman dapat menghadirkan sudut pandang yang lebih komprehensif dalam meningkatkan kemitraan strategis. Lebih jauh, kajian tersebut akan sangat bermanfaat bagi Indonesia yaitu menempatkan Indonesia sebagai negara PMD.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H