Ada dua hal menarik yang menarik perhatian saya pada konser Zutomayo yang bertajuk "Authentic Chinese Cafe: Ai no Pegasus -Love no Spice Dragon-". Konser yang digelar pada 4 Mei dan 5 Mei 2024 membuat saya kagum. Pertama, Zutomayo adalah dan juga merupakan sebuah band yang sangat fenomenal. Mereka dapat dikatakan salah satu band terbaik di Jepang dan berkat keunikan mereka, mereka berhasil menarik 10.000 penonton.
Hal kedua yang menarik ialah mereka selalu bereksperimen membawakan genre, komposisi band, dan instrumen yang unik. Namun, dalam konser kali semua terasa natural, seakan-akan hal yang mereka bawakan memang sudah ada sedari dulu. Bukan lagi menjadi pemain latar belakang melainkan pemain yang tampil di baris terdepan, dan mereka telah benar-benar menjadi band yang avant-garde. Hal yang terpenting adalah mereka belum kehilangan nuansa pop tradisional. Oleh karena itu, hasil eksperimen mereka dalam genre, komposisi, dan instrumen yang unik bukanlah tujuan menjadi band avant-garde, tetapi sebutan avant-garde-lah yang tak terelakkan.
Hal menarik dari konser kali ini adalah bentuk dan susunan panggung mereka. Pada tengah panggung terdapat sebuah pagoda yang dililit oleh naga. Para anggota band dibagi menjadi tiga lantai, termasuk untuk para anggota Open Reels Assemble di lantai dua dan tim alat musik tiup di lantai ketiga. Susunan panggung seperti ini tidak lepas dari pengaruh konser yang telah mereka lakukan sebelumnya. Sebut saja rangkaian konser "Cafe Ai no Pegasus" yang telah dilaksanakan sebanyak 33 kali. Lalu, ada juga tiga konser luar negeri di Tiongkok, Hongkong, dan Taiwan.
Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, kalau konser internasional yang dilaksanakan di Tiongkok, Hongkong, dan Taiwan memberi dampak tersendiri pada konser "Authentic Chinese Cafe: Ai no Pegasus -Love no Spice Dragon-" yang bertemakan budaya Cina/Tiongkok. Hal ini berbanding terbalik dengan rangkaian konser "Cafe Ai no Pegasus" yang bertemakan kedai kopi retro Jepang tahun 80-90an. Ini bukanlah hal aneh, mengingat kalau konser-konser sebelumnya juga menggunakan tema yang unik seperti minimarket dan game center. Bagaimanapun juga sepertinya hal ini akan terus meningkat dan tema yang dibawakan bisa semakin unik nantinya.
Pengaruh 'Tiongkok' tidak selesai di panggung saja, tapi juga menyasar pelaksanaan produksi. Salah satu hal yang sangat unik adalah saat ACA 'terbang' menggunakan Super Cub yang dihiasi bulu-bulu besar. Ternyata pemilihan Super Cub itu merujuk kepada motor yang biasa digunakan tukang antar di Chinatown.
Tentu saja kehebatan sebuah konser tidak terlepas dari sisi panggung dan produksi saja, tetapi juga kepada pemilihan lagu. Pada konser kali ini ada tiga lagu yang ditonjolkan, yaitu "Milabo", "Study Me", dan "Haze Haseru Haterumade". Pada konser ini juga lagu "Blues in the Closet" pertama kali dibawakan. Alunan irama linear empat-per-empat dan ketukan serta nyanyian fast-pace oleh ACA. Lagu "Blues in the Closet" diibaratkan sebuah hasil menakjubkan yang menyatukan asap dan pencahayaan seperti apungan lautan awan. Hal yang patut diapresiasi adalah suara ACA yang kuat dan ekspresif sangat stabil sampai penghujung konser. Akhirnya klimaks dan akhir konser ini ada pada lagu "Kira Killer" dan "Inside Joke" yang dibawakan bersama Mori Calliope.
Dengan perasaan puas dan amat puas, dapat dikatakan bahwa konser ini merupakan sebuah masterpiece tidak terbantahkan. Rasa puas yang dirasakan setelah konser ini adalah bagi Zutomayo konser bukan lagi "tempat menampilkan sebuah karya", tetapi merupakan "karya" itu sendiri.
Diterjemahkan dan disadur dari: https://realsound.jp/2024/05/post-1664058.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H