Mohon tunggu...
Fadlan Arrohman
Fadlan Arrohman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Kadang-Kadang Suka Nulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penggunaan Strategi Disinformasi dan Penyebaran Berita Palsu Untuk Memanipulasi Opini Masyarakat Dalam Pemilu 2024

24 September 2024   20:22 Diperbarui: 24 September 2024   20:56 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pemilu 2024 merupakan salah satu ajang untuk menentukan masa depan bangsa Indonesia kedepannya, dalam pesta pemilihan yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) ini masyarakat dapat memilih bakal calon Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 

Setiap pemilu tentu saja masing masing partai politik serta jagoan yang mereka usung memiliki target strategi yang mereka lakukan untuk memenangkan pesta pemilihan ini. Mulai dari White Campaign sampai Black Campaign, semua dilakukan agar bisa menarik suara rakyat. Banyak informasi yang beredar di masyarakat mengenai para calon politisi ini, kita bisa lihat kembali pada Pemilu 2024, banyak sekali informasi yang disalahgunakan dan banyak beredar hoax yang bisa menyesatkan masyarakat.

Strategi A sampai Z dilakukan oleh mereka yang memperebutkan kursi kekuasaan demi mengalahkan lawannya. Dari banyaknya strategi yang dilakukan, ada beberapa strategi yang bisa merugikan lawan mereka hingga menyesatkan masyarakat banyak. tentu saja ini berdampak pada berjalannya roda perpolitikan di indonesia.

Berita palsu dan misinformasi contohnya, Strategi ini sangat marak digunakan dan sudah tidak asing lagi ditelinga masyarakat, strategi ini dinilai cukup efektif dalam menjangkau masyarakat karena seiring juga dengan perkembangan Media Sosial yang cepat dan masif. dikutip dari Kompas.com, misinformasi adalah informasi yang keliru, tetapi orang yang menyebarkannya percaya bahwa itu benar. sedangkan Berita Palsu atau hoax yaitu informasi yang dibuat-buat atau direkayasa untuk menutupi informasi yang sebenarnya. 

Berita palsu dan misinformasi menjadi perhatian besar terutama saat Pemilu berlangsung, karena dapat merusak serta merendahkan Kualitas Pemilu bahkan dapat membuat adanya Disintegrasi dalam masyarakat. Hoax dan Politik sudah menjadi dua hal yang tidak bisa dipisahkan, dan sudah menjadi budaya tersendiri di berbagai negara. Penyebarannya dilakukan dengan berbagai cara dan metode, paling banyak dilakukan lewat platform media sosial, dan menyasar Generasi yang belum "melek media" sehingga mudah sekali termakan Hoax serta Misinformasi yang ada.

Informasinya ada yang berbentuk pesan berantai, Postingan di Media sosial, hingga ucapan mulut ke mulut. dan Dampaknya sangat dahsyat, kita bisa lihat sendiri pada 2014 lalu, bagaimana muncul kubu-kubu pembela pasangan calon Pilkada pada waktu itu yaitu Anies Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Mereka menggunakan isu isu agama untuk menyebarkan misinformasi. banyak peristiwa yang serupa kerap terjadi pada pemilu di tahun berikutnya, 2019 dan 2024. seakan sudah menjadi pola yang mengakar di masyarakat. Pemerintah pun tidak tinggal diam dengan adanya hal ini, berbagai regulasi serta landasan hukum sudah dibuat bagi para penyebar Hoax, dan pemerintah juga telah bekerjasama dengan para Platform Media Sosial untuk menangkal serta memblokir Misinformasi yang beredar agar tidak mempengaruhi masyarakat. 

Mafindo ( Masyarakat Antifitnah Indonesia) pernah merilis laporan jumlah hoaks yang berhasil didata dan diverifikasi pada 2018 hingga Januari 2019. Pada 2018, jumlah hoaks terdata mencapai 997 buah dengan 488 hoaks atau 49,94 persen bertema politik. Pada Januari 2019, jumlah hoaks mencapai 109 buah dengan 58 diantaranya bertema politik. Mafindo juga mencatat, Facebook masih menjadi platform media sosial yang paling banyak digunakan untuk menyebarkan hoax. Twitter dan WhatsApp berada di bawahnya, namun dalam jarak cukup jauh. Sebagai contoh, pada Januari 2019, 49.54 persen hoaks ada di Facebook, 12,84 persen di Twitter dan 11, 92 persen melalui WhatsApp. 

Berdasarkan berbagai peristiwa yang sudah terjadi, menurut saya masalah ini merupakan masalah yang cukup serius dan kita sebagai masyarakat perlu memutus rantai ini, masalah ini dapat mempengaruhi opini publik, menciptakan polarisasi, serta dapat memecah belah masyarakat. dan dapat menimbulkan dampak jangka panjang bagi masyarakat, yaitu masyarakat akan sulit mempercayai kualitas Pemilu serta turunnya kepercayaan kepada Institusi penyelenggara Pemilu dan Hasil Pemilu itu sendiri.

Peran Masyarakat sendiri sangat diperlukan dalam hal ini. Masyarakat berperan sebagai Filter pertama setelah pemerintah untuk cermat dalam mengelola informasi yang beredar, serta melaporkannya kepada pemerintah agar bisa ditindaklanjuti. Perlunya peningatan Literasi Digital pada masyarakat agar bisa meredam penyebaran Hoax dan Misinformasi. ada beberapa Tips untuk mencegah peredaran Hoax dan Misinformasi, Seperti: Melakukan Cross Check berita yang diterima, Membaca Berita secara Utuh dan lengkap, Memilih berita dari sumber yang terpercaya kredibilitasnya, Masyarakat bisa membuka akun pemeriksa Fakta Jika ragu terhadap suatu berita

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun