Prinsip Agama Bukan Terletak Pada Iman, Namun Pada Kemanusiaan
Secara tradisional, sistem-sistem agama menuntut ketaatan mutlak dan menegaskan sejarah keselamatan ekslusif. Penegasan akan kebenaran ekslusif ini dipandang wajar dan menurut saya bisa dianggap sebagai suatu sarana yang diperlukan bagi suatu kelompok untuk menunjukkan identitas diri dalam rangka menghadapi kebenaran mutlak yang lain.Â
Terlebih lagi, klaim seperti ini terbukti efektif untuk memberika wacana yang sah dan integratif serta merupakan cara yang praktis untuk menegaskan indentitas komunal kolektif. Akan tetapi, suatu identitas komunal yang baru dan kuat dapat pula memberikan landasan yang sama-sama efektif untuk menyerang dan mengeksploitasi orang-orang yang berada di luar mereka. Rasionalisasi terhadap agresi, dalam istilah agama dicirikan dengan 'perang suci', sangat mungkin digunakan oleh penganut suatu sistem agama untuk memaksakan hegemoni mereka pada orang-orang di luar mereka atas dasar sumber suci.
Pengalaman agama kaum muslim dalam sejarah dengan jelas menunjukkan usaha beberapa mufassir klasik untuk memisahkan sejarah keselamatannya dari umat agama-agama Ibrahim yang lain dengan  cara membuktikan bahwa Islam datang dengan menggantikan agama Kristen dan Yahudi. Dalam usaha untuk menuntut agar agama yang baru tersebut dapat diterima tanpa ragu-ragu, para mufassir harus memikirkan strategi terminologis dan metodologis untuk membatasi ayat-ayat Al-Quran yang cenderung menekankan dorongan yang ekslusif, yakni menutup rapat kebenaran dan kemungkinan keselamatan pada agama-agama monoteistik lain.
Dalam salah satu forum diskusi kemahasiswaan, saya sering menyatakan bahwa prinsip agama bukan terletak pada iman, namun pada kemanusiaan. Alasan saya cukup sederhana, karena disepanjang sejarah agama-agama, setidaknya sampai sekarang, agama-agama tersebut tidak bisa mencapai kata sepakat dalam persoalan iman, namun sepakat dalam kemanusiaan. Jika masing-masing penganut agama menggaungkan kebenaran ekslusifnya yang seharusnya bersifat subjektif tersebut maka hal itu bukan sekedar menciptakan bentrok kepercayaan dan pemahaman dalam wilayah vertikal yang sifatnya vital, namun juga akan menjurus pada wilayah  horizontal. Dalam hal ini lingkup sosial.
Saya memiliki pemahaman yang mungkin bisa dianggap sebagian besar orang rancuh tentang klaim keselamatan agama-agama. Karena tidak seperti kebanyakan orang yang mana menganggap titik sentral keselamatan terletak pada "apa agamamu?", saya cenderung menganggap titik sentral keselamatan terletak pada "bagaimana perbuatanmu?".
Saya percaya bahwa kita memiliki kemampuan untuk bersikap empati pada nilai-nilai spiritual orang lain. Saya sebut ini dengan 'kemampuan shamanistik'. Dalam agama-agama primitif, seorang shaman (dukun) memiliki kemampuan untuk meninggalkan tubuhnya dan berjalan pada tempat-tempat yang jauh, mendapatkan pengetahuan, dan kembali menyampaikannya kepada masyarakat. Dengan cara yang sama, dalam kemanusiaan melalui kemampuan shamanistik, kita seolah-olah, dapat meninggalkan bentuk-bentuk khas kesadaran kita dan dengan cara empati masuk dalam kesadaran orang lain. Dengan demikian, kita masuk kedalam dunia nilai-nilai spiritual mereka dan mengalami ini dari dalam, sehingga terciptanya sikap saling mengasihi. Dengan ini, sekat-sekat yang tercipta karena perbedaan keyakinan dan ritual keagamaan bisa di netralisir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H