Seiring dengan perkembangan industri di Indonesia, Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) merupakan hal yang masih sering terabaikan, Hal ini ditunjukkan dengan masih tingginya angka kecelakaan kerja setiap tahunnya. meskipun mengalami tren penurunan dibandingkan tahun 2014, Tahun 2015 lalu tercatat angka kecelakaan kerja sebanyak 1.414 kasus, Angka tersebut belum termasuk Penyakit Akibat Kerja yang ditimbulkan akibat kegiatan pekerjaan. Kerugian kecelakaan kerja diilustrasikan sebagaimana gunung es di permukaan laut dimana es yang terlihat di permukaan laut lebih kecil dari pada ukuran es sesungguhnya secara keseluruhan. Begitu pula kerugian pada kecelakaan kerja kerugian yang "tampak/terlihat" lebih kecil dari pada kerugian keseluruhan, jika mengacu pada ’’fenomena gunung es’’ tersebut pastilah angka kecelakaan kerja lebih besar dari pada statistik angka kecelakaan kerja yang ada.
Data diatas semakin menegaskan bahwa Indonesia saat ini boleh dikatakan sedang dalam darurat kecelakaan kerja. Fakta yang demikian ini tentu tidak hanya membuat Pemerintah Indonesia perlu menentukan sikap dan kebijakan yang cerdas megenai pencegahaan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja, Perusahaan juga perlu melakukan upaya-upaya yang lebih serius mengenai permasalahan K3, karena bagaimanapun K3 merupakan hak bagi pekerja yang juga termaktub dalam amanat Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dimana perusahaan wajib memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja. Dalam penerapan K3 Pemerintah sebetulnya telah “mengaba-aba” perusahaan untuk dapat melakukaan penerapan K3 di perusahaan, yang kita kenal dengan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) sesuai dengan PP 50 tahun 2012.
SMK3 ternyata belum menjadi pedoman mutlak bagi perusahaan untuk melakukan implementasi K3. SMK3 masih sedikit sekali penerapaanya kita jumpai pada berbagai jenis perusahaan di Indonesia, alasan yang sering dijumpai adalah masalah Cost yang terlalu mahal apabila Sistem ini dijalankan, juga ditambah biaya untuk melakukan audit sertifikasi SMK3 yang tergolong masih mahal. Kondisi dan permaslahan Cost yang menyebabakan banyak perusahaan enggan menerapakan SMK3 semakin lengkap dengan lemahnya penegakan sanksi dari Undang-Undang No. 1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja, dimana sanksi yang tercantum dalam UU Keselamatan Kerja tersebut hanya berupa denda Rp 100.000 ditambah masa kurungan 3 bulan penjara. Kondisi demikianlah yang akhirnya menyebabkan perusahaan semakin “bandel” untuk memberi jaminan keselamatan kerja bagi para pekerjanya, sehingga SMK3 hanya terasa sebagai “aba-aba” tanpa pelaksanaan sistem yang nyata.
Kondisi diataslah yang menyebabkan cakupan implementasi SMK3 masih jauh dari harapan, beban biaya yang tinggi menyebabkan hanya perusahaan besar saja yang bersedia mengikuti aturan main pemerintah. Bahkan beberapa perusahaan besar juga lebih menyukai Standar OHSAS 18001 : 2007 yang merupakan standar internasional dalam penerapan K3, diharapkan perusahaan akan lebih punya Bargaining position jika menerapakan OHSAS 18001 : 2007 dibanding SMK3 milik pemerintah Indonesia, standar intersnasional tentu punya nilai jual yang lebih dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) di tahun 2016 ini, sehingga wajar jika lebih banyak yang memilihnya sebagai sebuah pedoman dan standar penerapan K3. Akhirnya SMK3 lagi-lagi bukan menjadi pilihan utama dalam penerapan K3 di Indonesia dan pastinya “merasa” terpinggirkan.
Momentum Bulan K3 Nasional
Bulan K3 Nasional yang sedang berlangsung pada 12 Januari - 12 Februari 2016 dengan tema "Tingkatkan Budaya K3 untuk Mendorong Produktivitas dan Daya Saing di Pasar Internasional" dan transformasi tagline K3 yang berubah dari “Safety First” menjadi “Safety Is My Life” baiknya menjadi momentum baik untuk “Improving Our Safety Culture”, termasuk dalam melakukan implementasi SMK3. Pemrintah baiknya lebih menekankan pentingnya indikator dalam pencapaian “Safety Is My Life” dibandingkan dengan slogan-slogan K3 belaka, sehingga upaya implementasi SMK3 dapat tercapai dan budaya K3 dapat terwujud.
Indikator-indikator tersebut dapat dengan memasukan unsur K3 dalam melakukan penilaian Pertumbuhan Industri (Growth), Terciptanya tempat kerja yang berwawasan Keselamatan dan Kesehatan kerja serta Lingkungan Hidup (K3LH) atas dasar partisipasi aktif perusahaan dalam implementasi SMK3 (Participation), serta terciptanya kondisi kebersamaan dan keadilan dalam pencegahan kecelakaan kerja (Togehtherness and justice), selain penegakan sanksi yang lebih kuat, sertifikasi yang lebih murah, indikator-indikator dalam pelaksanan SMK3 juga akan memacu perusahaan untuk menerapkan SMK3.
Dengan sasaran mengurangi kecelakan kerja dan penyakit akibat kerja, indikator-indikator dalam pelaksanaan K3 merupakan bagian dari proyek “kemanusiaan yang adil dan beradap” karena memang pekerja atau buruh berhak diperlakukan adil dan beradap termasuk jaminan keselamatan dan kesehatannya saat bekerja. Atas dasar itu, dukungan dan partisipasi semua pihak dalam pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja akan menjadi faktor utama dalam menunjang keberhasilan SMK3. Meskipun pemerintah menjadi pelaku aktif dalam kasus ini, namun pada akhirnya subjek utama tetaplah perusahaan dan tiap individu dalam perusahaan tersebut.
Sebelum melakukan implementasi SMK3 sebuah poin penting bagi tiap perusahaan adalah untuk menjadikan K3 sebagai budaya dalam bekerja, memebentuk budaya K3 berarti memperbaiki “Persepsi, Sikap dan Perilaku Selamat”. Memperbaiki persepsi, sikap dan perilaku selamat tentu tidak saja semudah membalikan telapak tangan. Untuk bisa melakukan perbaikan perusahaan memerlukan upaya-upaya penyadaran diri akan kebiasaan selamat kepada pekerjanya. Proses budaya dilakukan secara bertahap menuju suatu perubahan budaya sesuai yang diinginkan. Proses pembelajaran tersebut disebut pola asuh yang panjang, mulai dari Sosialisasi pengenalan dan penanaman sejak dini tentang norma-norma K3, dilanjutkan dengan internasilasi faktor-faktor K3 dalam setiap proses aktifitas pekerjaan, yang akhirnya menjadi enkulturasi yang mana pada tahap ini setiap pekerja dapat melaksankan semua norma, aturan dan nilai-nilai K3 tanpa tekanan dan paksaan serta diyakini sebagai suatu kebutuhan yang pada akhirnya menjadi kebiasaan dalam bekerja.
Dari itu semua, tentu saja diharapkan Angka Kecelakaan kerja dapat berangsur-angsur turun, penyakit akibat kerja dapat dicegah sedini mungkin dan Indonesia dapat produktif serta berdaya saing di Pasar Internasional, karena memiliki sumber daya manusia yang tidak hanya terampil, namun juga sehat dan selamat.