Bulan November ini, tepatnya Tanggal 6 dan 7 November merupakan hari tata ruang nasional. Hari dimana kita perlu merenungi kembali bagaimana hubungan antara tata ruang kita dengan kejadian bencana alam yang terjadi belakangan ini. Kejadian bencana alam seperti banjir, erosi dan kekeringan tentu bisa jadi dapat merupakan imbas dari pengelolaan tata ruang yang tidak melalui kajian lingkungan yang tepat.
Tata ruang menjadi alasan pertama untuk menjadi “tameng” pencegahan kerugian yeng lebih besar saat bencana tiba, seperti yang kita ketahui ratusan miliar aset milik negara, juga milik rakyat dalam sekejab dapat habis oleh kejadian bencana alam, dan yang memilukan tentunya adalah jatuhnya korban jiwa disetiap datangnya bencana alam, jatuhnya korban menjadi suatu kepedihan yang mendalam. Masih segar diingatan kita 170.000 orang meninggal dunia saat hantaman tsunami membabi buta pesisir Aceh dan Sumatera Utara, inilah yang membuat kita sampai saat ini masih terus “belajar” bahwa hidup di tepi laut tanpa adaptasi dan zonasi yang terukur sangat membahayakan bagi Negara seperti Indonesia yang mana memiliki 81.000 kilometer garis pantai.
Rentetan kejadian lain seperti banjir dan tanah longsor, sudah menjadi sesuatu yang lazim didengar oleh masyarakat kita. Banjir di Jakarta misalnya yang terus menerus sampai saat ini masih dicari solusinya, dan baru-baru ini Jawa Tengah menjadi sorotan nasional karena bencana longsor, Setelah kejadian longsor yang terjadi di Banjarnegara pada awal tahun, Bulan oktober lalu Semarang menjadi sorotan nasional karena bencana longsor yang terjadi dibeberapa lokasi kota semarang, berita tentang dua saudara kandung yang dinyatakan tewas dalam kejadian longsor di Bukitsari Kota Semarang mengharuskan kita semua berpikir bagaimana sebaiknya menghadapi ancaman bencana alam, khususnya longsor ini.
Menurut BPBD Kota Semarang, dari 16 kecamatan yang ada di Semarang sebanyak 14 kecamatan merupakan daerah rawan bencana tanah langsor dan banjir. Daerah rawan bencana alam tanah longsor di Kota Semarang berada di wilayah Kecamatan Gunungpati, Kecamatan Banyumanik, Kecamatan Semarang Barat, Kecamatan Gajahmungkur, Kecamatan Ngaliyan, Kecamatan Candisari, dan Kecamatan Tembalang. Fakta tersebut membuat Pemda Kota Semarang dan warga masyarakat Kota Semarang perlu cermat dalam menghadapi segala ancaman yang ada,
Bencana alam, dalam hal ini adalah bencana longsor, faktor pemicunya adalah gangguan kestabilan pada tanah/batuan pada penyusun lereng atau bukit. Menurut Prof. Soedarto P Hadi Guru Besar Manajemen Lingkungan Universitas Diponegoro dalam bukunya manajemen lingkungan, kestabilan pada tanah penyusun lereng belum akan menyebabkan longsor tanpa adanya faktor pemicu, faktor pemicunya adalah peningkatan kadar air dalam lereng, getaran pada lereng akibat gempa bumi, ledakan penggalian, getaran alat serta lalu lalang kendaraan.
Selain itu karena adanya peningkatan beban yang melampaui daya dukung tanah atau kuat geser tanah, pemotongan kaki lereng secara sembarangan yang menyebabkan lereng kehilangan gaya penyangga tanah. Disimpulkan bahwa faktor manusialah (Human Factor) yang kerap kali menjadi actor dibalik terjadinya bencana alam, termasuk mungkin bencana longsor yang sering terjadi di Semarang?
Tata Ruang dan Paradigma Pembangunan
“Pembangunan masa kini tak perlu mengorbankan generasi mendatang” adigum inilah yang sering kita jumpai dalam tiap-tiap rencana pembangunan di negara kita ini, arti dari adigum tersebut adalah bagaimana mengupayakan pembangunan saat ini tidak “menggerus” kepentingan generasi selanjutnya. Menarik jika ini kita kaitkan dengan kerusakan lingkungan dan bencana longsor yang sedang hangat terjadi di Indonesia khususnya kota rawan bencana longsor seperti Semarang, perlu kita kaji lebih dalam apakah pembangunan yang ada di Kota Semarang sudah mengedepankan pembangunan yang berkelanjutan, sehingga setiap kali pembangunan fisik yang ada selalu berawal dari konsep berwawasan lingkungan?, perlu kita telusuri bersama. Penataan ruang yang baik dalam pembangunan wilayah kota bisa menjadi benang merah kita melihat korelasi antara kejadian bencana alam dan tata ruang kita.
Rencana Tata Ruang Kawasan Rawan Bencana seharusnya dapat digunakan sebagai usaha yang sistematis untuk mengidentifikasi potensi bencana. Selaras dengan UU No. 26 Tahun 2007 pasal 42 tentang penanggulangan bencana, pelaksanaan dan penegakan dalam rencana tata ruang dilakukan untuk mengurangi resiko bencana, yang mencakup pemberlakuan peraturan tentang penataan ruang, standar keselamatan, dan penerapan sanksi terhadap pelanggaran. Ada korelasi yang sangat kuat antara proses penanggulangan bencana dengan penataan ruang.
Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tersebut telah mentapkan bahwa tata ruang harus didasarkan pada kemampuan lingkungan untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya atau yang biasa disebut dengan daya dukung lingkungan, selain itu tata ruang juga mengharuskan mengacu pada daya tampung lingkungan, yaitu kemampuan lingkungan untuk menamping zat energy, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan kedalamnya, yang mana.