Tino sebut saja demikian namanya terpaksa harus mengikuti jejak ratusan petani di daerahnya - menjual tanah pertaniannya lalu pindah ke kota. Kebetulan dia memiliki tanah yang cukup luas, maka hasil penjualannya bisa dia gunakan untuk membeli rumah kembali di kota Kabupaten.
Alasan Tino menjual tanah pertaniannya masuk akal. Berdasarkan perhotungan di atas kertas biaya pengelolaan pertanian yang dia miliki selalu menunjukkan angka negatif. Apalagi bila musim hujan terlalu banyak atau cuaca terlalu kering. Kemungkinan gagal panen selalu menjadi momok.
Harga pupuk yang tidak lagi bisa dianggap murah? Para tengkulak yang menekan harga. Membuat dada Tino terasa sesak bila harus menghitung apakah dia untung atau rugi. Hal itu dikarenakan dia terlalu sering menghadapi angka negatif alias rugi.
Dengan langkah berani dia memutuskan menjual tanah pertaniannya apalagi setelah dia mendapat informasi ada rumah di kota yang akan dijual. Dia telah melihat rumah tersebut. Dia juga telah menghitung bila tanah pertaniaannya dijual apakah akan mencukupi hidupnya dan kaluarganya di kota atau tidak.
Setelah dia membeli rumah di kota tersebut, diubahnya rumah tersebut menjadi kos-kosan. Dia hidup di rumah yang lain, sedangkan lainnya disewakan.
Sekarang penghasilannya jauh lebih baik daripada saat menjadi petani. Dia bersyukur atas keputusannya yang tepat.
"Saya tahu pertanian adalah harta turun temurun, dulu saya bisa mencukupi kebutuhan keluarga dari pertanian, tapi sekarang jangan harapkan hal yang sama seperti dulu."
"Saya punya kewajiban memenuhi kebutuhan keluarga."
"Dulu jangankan anak-anak saya bergaul dengan internet, melihat saja tidak."
"Tapi sekarang mereka mengerti internet, bahkan anak tertua saya menjadi pengekspor produk pertanian dari desa saya dulu."
"Tapi masih jutaan petani yang tidak seberuntung saya, semoga mereka diberi kemudahan dalam usahanya."