Endang seorang Ibu begitu panik karena PR anaknya yang masih kelas 2 SD belum dikerjakan. Padahal jumlah soal yang harus dikerjakan begitu banyak.
"Aduuuuuh belum mengerjakan PR sudah mengantuk dia," begitulah kira-kira dalam hatinya.
"Ah mama udah ngantuk nih," begitu keluhan putranya sambil langsung menuju tempat tidurnya.
Mamanya mengira dia pura-pura, maka didiamkan sebentar lalu dia susul ke kamar anaknya. Ternyata anaknya sudah tertidur lelap. Termangulah sang mama.
Akhirnya dengan mempertimbangkan besok pagi sudah tidak ada waktu lagi, diambilnyalah buku anaknya. Dia mulai mencontoh bagaimana anaknya menulis. Dicontohnya sama persis dan lama kelamaan selesai sudah tulisannya. Lengkap pulalah PR sang anak.
-------
Keesokan harinya di sekolah, saat bertemu dengan ibu-ibu yang lain Endang bertanya pada ibu-ibu yang lain tentang bagaimana anak mereka mengerjakan PR, ternyata sebagian dari mereka campur tangan dalam pengerjaan PR tersebut. Ada yang memberi contoh, menuliskan, dan memberi jawaban benar atau salahnya.
Ibu-ibu sekarang dan sebagian ayah ternyata banyak yang intervensi atas pengerjaan PR anak-anaknya.
Pertanyaannya apakah ini gaya pendidikan zaman sekarang? Apakah ini memang tren atau orang tua yang terlalu campur tangan? Apa jadinya generasi penerus bangsa bila semua kerjaannya bukanlah karyanya sendiri?
Kalau dibandingkan zaman penulis dulu, boro-boro orang tua tahu dan ikut campur atas PR anaknya. Mereka tahunya anaknya berangkat ke sekolah dan tahu hasilnya di raport tiap catur wulan atau semester. Namun hasilnya membuat penulis terus berlatih memecahkan masalah. Hampir semua kawan penulis tidak ada yang dibantu dalam pengerjaan PR-nya.
Penulis jadi bertanya-tanya kalau anak terus dibantu PR-nya lalu siapa yang sekolah? Kemana prinsip membuat anak menjadi mandiri?