Tidak mudah memang untuk mendeskripsikan fenomena civil society di Indonesia secara komperhensif karena, seperti dikemukakan di atas, konsep ini mencakup berbagai kegiatan yang luas sifatnya. Namun untuk memahami secara sederhana fenomena ini dapat kita telusuri melalui lembaga swadaya masyarakat. Pada awal Era Reformasi, ranah civil society ditandai dengan menjamurnya lembaga swadaya masyarakat (LSM).Â
Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid terlihat beberapa departemen memiliki kebijakan untuk mengikutsertakan LSM dalam proses pembangunan, misalnya Depertemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah, yang dipimpin oleh seorang penggiat LSM. Kebijakan tersebut memotivasi banyak orang untuk mendirikan dan menjadi penggiat LSM, mulai dari pusat sampai daerah. Sehingga berdirilah berbagai jenis LSM : pelat merah, pelat kuning, dan pelat hitam.Â
LSM pelat merah ditunjukan pada LSM yang dilahirkan oleh aparat birokrasi pemerintahan sebagai salah satu cara untuk mendapatkan berbagai fasilitas dan dukungan keabsahan suatu program atau kegiatan pembagunan. LSM pelat kuning merupakan LSM yang didirikan oleh para pebisnis untuk memperoleh proyek atau pekerjaan dari pemerintah yang mengharuskan keikutsertaan LSM. Sedangkan LSM pelat hitam dipandang sebagai LSM yang didirikan oleh penggiat LSM karena idealisme yang dimiliki.
Setelah Presiden Abdurrahman Wahid lengser dari kursi kepresidenan, perlahan tapi pasti kebijakan keikutsertaan LSM dalam proses pembangunan pudar dan beberapa bagian hilang. Seiring dengan itu, kuantitas LSM juga mengalami pertumbuhan negatif. Pada saat sekarang, LSM masih terdapat di beberapa kota yang memiliki jaringan nasional dan internasional. Sangat sedikit LSM yang bertahan sampai sekarang memiliki kemampuan untuk mencari sumber pendanaan yang berasal dari sumber-sumber lokal. Jika dipandang dari sisi ini, maka kemandirian dari LSM patut dipertanyakan.
Kemudian sebagai contoh kasus yang kedua pada masa Orde Baru kita telah diperkenalkan dengan suatu mekanisme sosialisasi politik bernama penataran, yang dimasyhurkan dengan nama penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), sesuai dengan namanya, penataran P4 merupakan suatu bentuk sosialisasi politik untuk menanamkan nilai-nilai, pengetahuan, kepercayaan-kepercayaan, sikap, dan perilaku yang sesuai dengan Pancasila.Â
Terdapat sekian butir tuntunan nilai, sikap dan perilaku yang dipandang Pancasilais ditatar dalam suatu pertemuan yang relatif panjang (beberapa tingkatan penataran yang dikasifikasi menurut jumlah jam penataran) untuk diwujudkan atau diimplementasikan ke dalam sikap dan perilaku keseharian.
Nilai-nilai, pengetahuan, kepercayaan-kepercayaan, sikap, dan perilaku yang diharapkan untuk diwujudkan dalam realitas kehidupan sehari-hari dipandang sesuatu yang baik. Persoalan untama yang dihadapi oleh para penatar adalah rujukan good practices dari agen atau aktor yang telah menerapkan nilai-nilai, pengetahuan, kepercayaan-kepercayaan, sikap, dan perilaku yang diharapkan tersebut. Bangsa Indonesia belum menuntaskan persoalan agen atau aktor yang menjadi rujukan dari good practices pelaksanaan Pancasila secara murni dan konsekuen.Â
Sementara dalam Islam, misalnya Nabi Muhammad SAW. dipandang sebagai rujukan utama dalam penerapan ajaran Islam secara murni dan kosekuen.Â
Nabi Muhammad SAW. dipandang sebagai rujukan good practices dalam pengimplementasian sebagai rujukan ajaran Islam. Oleh karena itu, untuk merestorasi Pancasila sebagai rujukan utama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Maka perlu dikembangkan suatu rujukan dari good practices pelaksanaan Pancasila secara murni dan konsekuen.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H