Era reformasi di Indonesia ditandai dengan kebebasan politik. Pada masa itu, setiap kelompok sosial. Politik, agama, dan budaya dapat mengakselerasikan dirinya masing masing untuk memperkenalkan identitasnya. Hal ini ditandai dengan salah satu kebangkitan kelompok agama dan ditandai sebagai radikalisasi agama, seperti yang ditandai dengan gerakan kelompok islam Hizbut Tahrir, Front Pembela Islam, dll. Selain itu juga perubahan politik ini ditandai dengan jumlah kelompok organisasi sosial dan politik di Indonesia yang terbilang eskalasinya pesat. Jumlah partai politik meningkat dari tiga partai peserta pemilu terakhir masa Orde Baru pada 1997, menjadi empat puluh delapan partai peserta pemilu. Demikian juga kelompok-kelompok sosial, menurut laporan Hadiwinata, jumlah organisasi non-pemerintah (LSM dan Ormas) mengalami peningkatan delapan kali lipat antara 1996 dan 2000.
Identitas menurut Eisenberg (2009) adalah loyalitas seseorang terhadap kelompok sosial tertentu yang memiliki cara hidup, rentetan keyakinan, dan berperan sangat penting bagi konsep diri. Identitas inilah yang kemudian menjadi suatu kebanggaan bagi suatu kelompok dan kelompok lainnya. Di Jawa Barat terdapat politik Sunda yang juga turut bangkit pada era reformasi. Hal ini tidak lain dan tidak bukan untuk menyalurkan berhasrat mengonstruksi dan merepresentasikan identitas keSundaan yang sudah lama terabaikan dan termarjinalkan.
Dalam politik kekuasaan atau elektoral memang partai lah yang memegang andil cukup besar dalam penentuan kepemimpinan untuk tingkat nasional maupun daerah. Namun secara khusus, Sunda sendiri sudah cukup merasa terpinggirkan dalam bersandar kepada partai. Karena menurut komunitas Sunda sendiri tujuan partai dan komunitas itu jelas berbeda. Komunitas-komunitas keSundaan berhasrat merepresentasikan identitas keSundaan dalam bentuknya yang ideologis dalam jangka panjang, sementara dalam politik kekuasaan partai partai seringkali memanfaatkan identitas keSundaan sebagai alat pencitraan untuk memperoleh dukungan sementara.
Kesenjangan kelas dalam politik kekuasaan tidak hanya tentang perjuangan kelas buruh dan pemodal, ternyata realita kelas ini juga terpengaruh melalui agama, identitas suku, gender, dan lain-lain. Meskipun berpegang pada semboyan Bhineka Tunggal Ika, ternyata perbedaan agama dan suku pun akan berpengaruh pada elektabilitas nya pada saat pemilihan. Jika berbicara terkait masyarakat Sunda ini dikenal dengan jati dirinya yang lemah lembut, dibandingkan dengan identitas lain yang individualis. Bisa dibilang masyarakat Sunda ini betuk politik populis yang memiliki kekuatan yang bernilai lokal. Budaya baru yang menggerogoti sikap bersahabat, ramah dan terbuka dalam pergaulan Masyarakat Sunda yang terkenal dengan someah hade ka semah atau dalam arti ramah dan baik terhadap tamu.
Sebenarnya beberapa organisasi keSundaan sudah lahir sejak kemerdekaan, namun pasca reformasi semakin banyak bermunculan organisasi-organisasi kemasyarakatan dengan identitas keSundaan. Kalaupun 94 yang sudah lama berdiri, pasca reformasi berusaha berubah visi dan orientasinya, mulai memperbincangkan kembali tentang orientasi kekuasaan, terutama isu tentang kepemimpinan Sunda untuk pentas politik Indonesia. Hal ini disebabkan oleh mentalitas orang Sunda yang tidak mampu bersaing dan cenderung menghindari persaingan daripada menghadapinya. Karakter orang Sunda juga dianggap inferior, cenderung tidak mau tampil di depan, sehingga seringkali kalah merebut peluang. Secara sosiologis daerah yang ditempati orang Sunda (Jawa Barat) mengalami industrialisasi dan urbanisasi yang pesat dan tidak terlepas dari berbagai dampak negatif seperti kesenjangan yang tinggi, hancurnya ekosistem yang menopang perekonomian tradisional, dan pemiskinan.
Lalu dengan permasalahan yang ada bagaimana strategi yang dapat dilakukan oleh masyarakat Sunda untuk meningkatkan eksistensi dan partisipasi orang Sunda pada pentas politik Indonesia?. Menurut penulis. Permasalahan tersebut dapat ditempuh dengan berbagai cara. Dimulai dengan peran dan fungsi ketua atau kepala suku dan masyarakat Sunda. Seseorang yang memimpin ini akan membuka ruang publik lebih luas dan efektif bagi masyarakat Sunda yang memiliki kesempatan dan kemampuan dalam berpartisipasi di dunia politik. Kemudian fungsi dari pemimpin ini adalah membentuk komunitas yang kemudian mengandung nilai keSundaan yang diinternalisasi bagi setiap anggota, kemudian mengadakan kaderisasi dan selanjutnya keterlibatan di anggota partai politik.
Selanjutnya dengan tidak menghilangkan sifat naluri seperti someah, dan sikap alamiahnya orang Sunda yang cenderung lembut dan penyayang, terhadap tindak yang menyimpang pun lebih kepada menegur, memberitahu, dan jarang melalui tindakan. Hal ini kemudian dapat dikembangkan untuk menarik perhatian kelompok lain tentang bagaimana sosok yang inspiratif untuk menjadi pemimpin.
Hal yang terakhir adalah mengembangkan kelompok masyarakat Sunda. Dengan ini masyarakat Sunda menjadi mengerti akan potensinya, dan ketika berada di kancah politik nasional, tidak mengalah kepada pihak lain. Dan menjadi pelaku utama di dunia politik. Dan poin poin tersebut tidak sedikitpun terganti dengan internalisasi nilai pada masyarakat Sunda. Homogenitas yang dimiliki masyarakat Sunda dapat menjadi boomerang ketika di politik nasionall, namun juga jadi senjata dalam pemilihan elektoral, bagik untuk legislatif, dan eksekutif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H