Masjid Agung Semarang kembali menggelar tradisi "Nyumet Dung" sebagai penanda menjelang waktu berbuka puasa. Salah satu kebudayaan lokal yang sempat mandek (berhenti) dan kembali dihidupkan pada Ramadhan tahun ini telah ada sejak tahun 1890.
Dalam bahasa Jawa, kata "Nyumet" artinya menyalakan atau menyulut api, sedangkan"Dung" merujuk pada bunyi ledakan dari hasil rakitan menyerupai bom sehingga saat dinyalakan akan berbunyi "Dung" yang suaranya menggelegar hingga radius 5 km. Suara ini yang dahulu digunakan masyarakat untuk memastikan bahwa sudah masuk waktu berbuka puasa.
Tradisi ini sempat ditiadakan pada masa pemerintahan Wali Kota Semarang, Imam Soeparto Tjakrajoeda akibat adanya insiden ledakan tabung besi ketika dinyalakan dan dilemparkan ke udara, namun pihak pengurus Masjid Agung Semarang menghidupkan kembali tradisi ini dengan menyesuaikannya terhadap perkembangan zaman.
"Dulu ada insiden kecelakaan ketika menyalakan dung-nya, karena itu kan dari rakitan yang dibuat menyerupai bom, jadi sempat dihentikan. Waktu itu sekitar tahun 1980-an, masa-masa pemerintahan Bapak Imam Soeparto Tjakrajoeda" penjelasan Muhaimin, pengurus Masjid Agung Semarang.
Adanya pelarangan penggunaan bahan peledak, membuat tradisi Nyumet Dung pada Ramadhan kali ini mengalami sedikit modifikasi sebagai pengganti suara dentuman, yakni diganti menggunakan bunyi sirine dan letusan kembang api.
"Ramadhan tahun ini baru mulai dibangkitkan lagi, tapi ada sedikit perubahan. Setiap hari pas mau buka puasa dinyalain" tambah Muhaimin.
Tradisi Nyumet Dung dimulai dari 15 menit sebelum adzan dengan kirab pasukan yang mengenakan busana Adat Jawa diiringi alunan musik rebana dari halaman masjid menuju Aloon-Aloon Masjid Agung Kauman, Semarang. Setelah kedua pasukan tiba di alun-alun, sirine berbunyi dan kemudian dinyalakannya kembang api sebelum adzan maghrib dikumandangkan.
Pasukan pertama adalah pembawa dung (petasan) dikawal tiga orang pembawa replika Tombak Kyai Mojo, Kyai Pleret, dan Kyai Puger, kemudian diiringi Warak Ngendhog yang biasanya dijadikan maskot dalam festival Dugderan di Kota Semarang. Pasukan terakhir adalah tim rebana yang turut memeriahkan arak-arakan ini.
Antusiasme tinggi dari masyarakat, khususnya para perantau di Kota Semarang mengaku senang dan kagum ketika menyaksikan keunikan tradisi lokal ini karena merupakan pengalaman pertama mereka.
"Kagum sih sama pihak penyelenggara yang melestarikan budaya lokal, senang juga karena emang baru tau dan bisa lihat secara langsung" tutur Anggi, mahasiswi asal Jakarta.