Jam menunjukkan angka sebelas lebih tujuh. Udara di Kaki Gunung Ciremai malam ini cukup hangat, entah karena hujan baru saja reda atau pengaruh suhu tubuh sepasang manusia di meja nomor sepuluh.
 Mereka masih membisu. Sesekali tatapan dingin khas laki-laki bajingan dari wajah Candrika dan Aisa bertemu. Tidak ada alasan bagi Aisa untuk tidak merasa malu. Ini adalah pertemuan pertama mereka sejak berpisah satu tahun lalu. Lebih tepatnya, berpisah setelah bercumbu di kamar nomor enam tanpa cahaya lampu. Laki-laki jangkung itu sibuk mencari kalimat yang tepat untuk dijadikan prolog. Ia bisa dengan mudah menulis kata pengantar untuk buku-bukunya, tetapi terasa begitu sulit merangkai kata untuk seorang perempuan---yang selama ini ia sebut berengsek. Candrika tahu apa yang dipikirkan Aisa. Ia merutuki kebodohannya sendiri karena perempuan di hadapannya itu senantiasa menghina, dengan senyuman yang mirip sekali seperti Bangsawan Tereya ketika menemukan Lotus bersama Hillure dalam film The Legend of Ravaging Dynasties.
"Aku senang melihatmu seperti ini," celetuknya.
Dika mendengus kesal. "Aku memang bajingan, tapi aku tidak pandai berbohong!"
"Ya... ya... ya... tentu saja. Aku percaya semiliar persen."
"Aku tidak suka bangusmu, berengsek!"
"Apakah kamu baru saja berbohong?"
"Kamu tahu aku bohong, bukan? Lalu apa artinya kebohonganku?"
"Memalukan." Aisa menahan tawa. Candrika mengupas plastik pembungkus rokok, mengambil satu lalu menggigit batang rokok sambil menatap tajam Aisa. Matanya yang masih setenang danau itu seketika menghentikan penghinaan Aisa padanya.
"Aku tidak akan berbagi rokok denganmu."Â "Dasar pelit!"
"Aku mulai tidak suka melihat perempuan merokok. Siapa pun!"
"Sayangnya, aku bawa rokok sendiri. Apa kamu sedikit menyesal?"
Candrika tidak menjawab, ia kembali fokus mencari diksi untuk perempuan di hadapannya. Perempuan yang mulai mengepulkan asap dari bibir mungilnya. Ia mulai berpikir lebih keras, harus segera diungkapkan, harus segera diutarakan, harus malam ini, harus sekarang juga.
"Ada yang ingin aku bicarakan."
Aisa terkekeh. "Santai saja, Tuan Candrika Adhiyasa. Kebetulan aku membawa cermin, apa kamu mau berkaca? Barangkali kamu mau melihat wajah kikukmu sendiri."
"Matikan dulu rokokmu, aku sudah bilang aku mulai muak melihat perempuan merokok!"
"Oke." Aisa menurut. Ia tahu Candrika sangat serius memberi perintah. "Aku sudah siap."
Candrika berdehem sebanyak tiga kali. Dia membetulkan kerah kemeja hitamnya yang sebetulnya sudah rapi. Rokoknya pun sudah mati. Dengan kepercayaan diri penuh ia berucap, "Will you marry me?"
Hening. Sepuluh detik berlalu, masih hening. "HAHAHA ...!" Aisa tertawa keras. Ia seperti baru saja mendengar punch line dari Didot di panggung Stand Up Comedy. "Berengsek! Kenapa tertawa?"
"Maaf-maaf. Aku ... ah, apa kamu baru saja melamarku?"
Candrika terdiam, tapi Aisa sudah cukup mendapat jawaban dari tatapan bajingannya. Tatapan yang sepuluh kali lebih bajingan dari biasanya. Tiba-tiba Aisa merasa bersalah karena menertawakan sebuah kalimat maha pasaran yang baru saja ia dengar. Perempuan berbaju ketat warna putih itu kemudian mencari-cari pelayan.
 Diangkatnya satu tangan sambil berteriak, "Teh, sini!"
Seorang pramusaji berjalan menghampiri. "Iya, Teh, mau pesan apa?" tanyanya.
"Hm, pacar saya ini mau minum bir," kata Aisa.
"Mangga, Teh. Sebentar, ya." Aisa berangguk, lalu menghadiahkan senyum yang dibuat semanis mungkin pada Candrika yang masih mengunci mulut. "Mana cincinnya?" Candrika mengernyit heran. "Cincin?"
"Kamu sudah berencana melamarku, tapi kamu tidak membawa sesuatu? Cincin, kalung atau apa kek?"
"Ah, maaf, aku ... Oh ya, aku membawa sesuatu untukmu." Candrika mengambil sebuah buku dari ranselnya. Sebuah buku yang sengaja ia beli untuk Aisa. Pelisaurus. Buku kumpulan cerita karya Gunawan Tri Atmodjo. Dia tahu, Aisa sangat mengagumi penulis kelahiran Solo itu sejak membaca buku Sunan Ngeloco karya Edy AH Iyubenu, yang juga dia berikan satu tahun lalu sebagai hadiah persahabatan.
"Trijoko?!" Aisa nyaris berteriak. "Aku melamarmu dengan buku ini," ungkap Candrika tanpa merubah mimik wajah dinginnya. Sebotol bir yang dipesan pun tiba bersama dua gelas yang diisi es batu kotak-kotak.  "Ada lagi yang mau dipesan, Teh?"
"Ah, tidak. Terima kasih."
Pramusaji itu kemudian berlalu sambil mendelik ke arah Candrika dan Aisa bergantian. Dia merasa ragu, apakah dua jenis manusia di meja nomor sepuluh itu benar-benar pasangan kekasih? "Aku terima lamaranmu dengan segelas bir." Aisa menuangkan air beraroma mawar itu ke dalam satu gelas penuh, sementara satu gelas lainnya dibiarkan kosong. "Kita join saja. Segelas berdua, romantis bukan?" tanyanya. Bibir mungil Aisa mengulum semua sisi lingkaran gelas itu, sebelum kemudian diberikan pada Candrika yang menyungging senyum bajingan. Â
*
Sudah pukul duabelas lewat duapuluh. Udara di Kaki Gunung Ciremai malam ini semakin hangat, entah karena hujan baru saja reda, atau pengaruh suhu tubuh sepasang manusia di meja nomor sepuluh. Mereka kembali membisu. Lagi-lagi tatapan dingin khas laki-laki bajingan dari wajah Candrika dan Aisa bertemu. Tidak ada alasan bagi Aisa untuk menolak lamaran itu. Ia sangat bahagia karena malam ini adalah malam yang lama ia tunggu-tunggu. Malam ini juga merupakan pertemuan pertama mereka sejak berpisah satu tahun lalu, lebih tepatnya, berpisah setelah bergumul di kamar nomor enam tanpa cahaya lampu. "Lalu kapan kita akan menikah?" Aisa bertanya.
"Terserah."
"Aku tidak mau terserah."
"Maumu?"
"Aku tidak mau menikah!"Â Candrika sedikit merasa kaget, kemudian ia menggeser kursinya untuk berada lebih dekat dengan Aisa. Mereka tidak lagi duduk berhadapan. Udara semakin terasa hangat, lebih hangat, dan sepertinya mulai berubah panas.
"Kenapa? Kenapa kita harus menikah, Dika?"
"Karena aku ingin."
"Tapi kenapa?"
"Karena aku membutuhkanmu, Ais ...."
"Untuk?"
Candrika mencium gelagat mencurigakan dari pertanyaan itu. Ia tahu itu bukan pertanyaan lagi, melainkan sebuah jebakan. "Katakan saja, Ais. Katakan semua yang ingin kamu katakan," tukasnya. Aisa menoleh cepat. Matanya berair. "Ayo kita cari hotel."
"Ho-tel?"
"Ya, kita bisa melakukannya lagi, bukan? Dan kita tidak perlu menikah cuma karena ingin menikmati sex."Â Candrika menjauhkan kursinya ke tempat semula. Ia meneguk bir yang tersisa dalam gelas, menuangnya kembali, lalu meminumnya lagi dalam satu tarikan napas. Ia tidak mau melihat Aisa menangis di tempat ini. Tapi Ia tidak mungkin membawanya ke sebuah penginapan, apalagi untuk menikmati sex. Ia benar-benar tidak ingin melakukan sex lagi sebelum menikahi Aisa.
"Maafkan aku, Aisa."Aisa tertawa pendek, Ia menengadah, berusaha menahan air matanya. Dan gagal. "Jangan menangis. Jangan menangis di sini Aisa, aku mohon jangan menangis sekarang." Candrika ingin sekali menarik tangan Aisa dan menggenggamnya, menciuminya, atau bahkan memeluknya. "Kenapa kita harus menikah?"
Candrika menarik napas dalam-dalam kemudian menjawab, "Karena aku mencintaimu."
"Kenapa tidak bilang dari tadi, bajingan?!"
"Aku malu. Aku tidak bisa melupakanmu sejak malam itu, Ais."
"Sebagian orang tidak mau melakukan sex tanpa cinta, tapi lebih banyak yang tidak bisa sekedar mencintai tanpa melakukan sex."
"Kita tidak melakukannya, bukan?"
Aisa tersenyum sambil menangis. Candrika meremas tangannya sendiri. Ia ingin mencium kedua mata itu. "Sudah kubilang jangan menangis, berengsek!"
"Kenapa kamu menghilang?"
"Apa yang terjadi?"
"Aku mencintaimu." Aisa semakin bercucuran air mata.
"Kenapa? Apa kamu sudah menikah?"
"Aku mencintaimu dan aku hanya akan mencintaimu." Aisa pergi meninggalkan Candrika yang masih mematung sendiri. *
Waktu menunjukkan angka dua pagi. Meja nomor sepuluh sudah penuh dengan botol-botol bir kosong dan gelas yang tak terisi lagi. Candrika ingin memesan bir untuk kesekian kali, tapi ia tak melihat satu pun batang hidung pramusaji.
"Sial!" umpatnya.
Candrika sudah dalam keadaan mabuk berat. Pandangannya sudah mulai tidak sehat. Ia tahu, ia harus segera pulang, tapi untuk berdiri saja rasanya tidak kuat. Lamat-lamat ia melihat. Seorang perempuan yang baru sadar ia cintai dengan sangat. "Kamu kembali?" gumamnya.
"Maaf."Â "Menikahlah denganku, Aisa ...."
"Maaf."Â Candrika mendengus, tadinya ia mengira jika Aisa kembali karena berubah pikiran. "Jadi, untuk apa kamu kembali ke sini?" tanyanya penuh penekanan.
"Aku lupa tidak membawa buku Pelisaurus itu," jawab Aisa, menunjuk sebuah buku yang tergeletak di atas meja. Candrika mengerjap, mabuknya seketika hilang.
"Tadi kamu melamarku dengan buku itu bukan?"Â ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H