Mohon tunggu...
GoneGone
GoneGone Mohon Tunggu... Wiraswasta - Tukang Ketik

Menulis, Membaca, Berpetualang dan Bercinta

Selanjutnya

Tutup

Book

Paprika

31 Januari 2023   14:14 Diperbarui: 31 Januari 2023   14:15 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah terlalu lama dunia menganggap bahwa perempuan adalah subjek pasif, makhluk yang tidak memiliki inisiatif lebih. Mitos itu terpatahkan seiring perkembangan zaman, terutama ketika para perempuan bersatu dalam menggalakkan emansipasi---sebuah fondasi yang lebih dikenal dengan nama feminisme.


Saya tidak hendak mengulas feminisme lebih jauh. Emansipasi perempuan, yang semula dianggap subjek pasif, kini perlahan memunculkan daya kreasinya. Daya kreasi ini, secara moral konvensional, dapat disambut baik dan dapat pula dicela habis-habisan. Dalam setiap region, tentu saja bisa berbeda-beda tergantung ideologi yang tertanam di sana. Daya kreasi ini dapat meliputi banyak aspek: politik, etika, kebudayaan, seni, sastra ... Tidak terbatas pada satu elemen saja.


Salah satu perempuan yang telah memunculkan daya kreasinya adalah penulis buku ini, Ebrahimi Endah Priatna---selanjutnya saya akan menyebutnya Teh Endah, sapaan akrab saya kepadanya. Teh Endah, bergerak menyampaikan spirit emansipasi itu melalui sastra, salah satu bentuk dari spirit perlawanan terhadap kebudayaan dominan sejauh ini.
Ada beberapa tema yang diangkat, dan saya lebih senang untuk menyebutnya sebagai tema-tema "keliaran". Keliaran yang saya maksud, merupakan sebuah keberanian untuk melampaui patokan-patokan nilai dan imajinasi medioker. Teh Endah membawa sebuah realitas yang sama sekali lain, asing, tabu ...


Meski sudah terbiasa, kita mungkin akan tetap mengerutkan dahi apabila membaca cerita-cerita di dalam buku ini, yang dalam kebudayaan kita khususnya, terkesan sensitif; seks, pembunuhan, alkohol, liberalisme, surealisme ...
Sudut pandang penulis (dan juga tokoh) perempuan tentu akan memberikan interpretasi "dunia" dengan gaya yang berbeda. Dalam hal ini, keliaran sekalipun tetap terbungkus oleh suatu kelembutan yang sulit dijelaskan. Kelebihan lainnya adalah, adanya penelusupan mendalam sampai bagian palung---yang semula terhalang tabir---psikologi perempuan yang aktual. Hal ini barangkali hanya bisa berlaku apabila penulis cerita itu adalah perempuan atau yang mengerti sepenuhnya mengenai perempuan. Apabila penulis laki-laki yang menuturkan kisah-kisah semacam ini, saya kira akan tetap ada batasan untuk mengakses pengetahuan-pengetahuan aktual mengenai psikologi perempuan, beserta hasrat terliar yang mungkin dimilikinya.


Saya memiliki asumsi, bahwa eksplorasi dari kejiwaan tokoh utama (maupun tokoh pendamping) perempuan akan membuka ranah-ranah yang seringkali luput, atau tak terungkapkan. Dan buku ini menurut saya memberikan cahaya yang cukup untuk menemani perjalanan kita ke sana.
Selamat membaca.

Candrika Adhiyasa, Pengarang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun