Hujan masih meninggalkan jejak pelariannya di tanah ini. Aroma berbalut angin sepoi yang menerbangkan asa tiap individu. Jejak pelarian hujan, bagaimanapun juga, akan tercium bahkan oleh sesuatu yang tak pernah bisa hadir dan menikmatinya.
Sejak zaman dulu, zaman sekarang, hingga zaman nanti hujan akan terus berlari, berlari mengejar apa yang tidak kita kejar. Kaki kecilnya menjilat hampa meninggalkan basah di atap-atap rumah, di tanah pekarangan, di daun pohon bambu, di mana-mana. Suara jeritannya membahana tiap kali kaki kecil itu mulai melangkah di atap-atap rumah, di tanah pekarangan, di daun pohon bambu, di mana-mana. Sebagian menganggap musik harmoni, sebagiannya mencaci-maki.
Sore itu, bukan lagi satu, tapi dua. Mereka. Yang sama-sama menikmati secangkir kopi hitam di sebuah pojok unik di tengah kota.. Di antara cangkir beling tua, meja-kursi kayu, dinding putih, dan anyaman bambu. Matahari yang telah pergi, dan bulan bintang yang masih bersembunyi. Keduanya masih belum menyentuh cangkir beling tua itu ketika diantaranya saling pandang lalu tersadar saat gemuruh kaki kecil mulai melangkah di atas kepala mereka.
“Yah.. hujan lagi.” Sebuah suara memecah keheningan diantara mereka.
Ed dan Jill, dua tokoh yang saling menuang kerinduan bisu yang tak terungkap. Ed yang membangun pola pikirnya di sebuah universitas di luar kota. Yang saat ini pulang atas dasar kerinduannya pada seseorang yang dicintainya. Bukan, bukan lagi gundah. Resah. Jill yang memang mengharapkan hujan datang, demi sebelum seseorangnya pulang. Keresahan Jill pun terbayar. Hujan yang dinantikannya telah datang.
Saling bertukar cerita, keduanya saling bercinta. Lewat ucap, lewat dekap, lewat kecup sekejap, tak jarang hanya dengan saling menatap. Sesekali Jill ikut menyeruput kopi miliknya dan meninggalkan sejumput bibir pada bibir cangkir beling tua itu. Hingga mereka terkejut saat satu dari orang lain─yang tadinya kurang lebih sama dengan cangkir beling tua, meja-kursi kayu, dinding putih, dan anyaman bambu─menyalakan lampu kekuningan di ruang di mana mereka berada. Ternyata, gelap sudah mulai mendekap.
Seperti cinta, hujan gemar datang tiba-tiba. Dengan derasnya, seperti tak ingat bahwa sebelumnya ia datang malu-malu seperti rindu. Bersama awan yang kedinginan, yang saling berpeluk satu dengan yang lain, membentuk payung bagi mereka yang terlupakan. Lari ke tempat lain dan menghilang. Ia seabstrak realita dan senyata abstraksionisme sebuah benda. Ia tidak terikat, ia hanya hujan. Membingungkan. Selama perjalanan itu, hujan tidak jua mengistirahatkan kaki kecilnya berlama-lama. Semua tidak tahu. Jikapun kalian bertanya pada hujan, ia hanya akan mengernyit sinis dan berlalu. Seperti saat ini, hujan hanya sinis dan menundukkan kepalanya di sini. Rintihan dan gerainya yang menderai kesakitannya. Lama.
Mungkin karena hujan dengan mudah menyerap suaranya, atau karena benci dengan hujan yang tiada kunjung reda.
Kejadian sore itu memang masih menyisakan getir kesakitan yang tiada bergeming. Jill memandang jauh keluar jendela. Sembari menghirup perpaduan air dan tanah yang melahirkan aroma kerinduan, Jill melanjutkan sisa-sisa kerinduan yang mereka ciptakan sendiri. Tentang Ed, tentang Jill, tentang mereka. Tentang cinta, tentang cerita, tentang realita.
Jill terdiam. Ia menggelengkan kepala kuat-kuat. Memori itu terlalu kuat. Ia menahan isak. Ia tak boleh menangis disini. Menyuarakan hujan pada pelupuk matanya sama dengan derai kaki-kaki kecil di atasnya yang kini menjadi ribuan.
“seharusnya kita berada dihujan yang sama.” Jill menundukkan kepalanya dalam-dalam. Kini ia membisu. Kebisuan ini cukup lama.
“kita akan berada dihujan yang sama. Aku janji.” Ed melirihkan suaranya.
Ini adalah kali terakhir mereka bertemu, sesaat sebelum Ed harus kembali ke luar kota. Hari dimana pelukan keduanya akan dilepaskan. Hari dimana rindu mereka harus direlakan.
Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Ed menegakkan tubuhnya, lalu mengacak sedikit rambut Jill.
“jangan cengeng gitu, ah.” Ed membentuk sebuah senyum. Sambil mendongakkan kepalanya perlahan, Jill mengusap air matanya.
Hujan sesungguhnya belum sepenuhnya pergi. Tapi gelap ang sudah semakin mendekap mengantar mereka pada keterpaksaan saling menyadarkan diri bahwa sudah saatnya pulang. Karena besok pagi-pagi sekali Ed harus kembali demi melanjutkan studinya.
“pulang yuk? Udah malem.” ajak Ed kepada Jill yang masih tak puas-puasnya memandangi dirinya.
“kenapa kita hanya diperbolehkan bertemu sejenak? Aku nggak mau. Masih banyak yang ingin aku ceritakan. Masih banyak kerinduan yang belum aku tumpahkan.” Kembali suara Jill menyerak.
Ed yang tidak tega meninggalkan seseorangnya ini hanya terdiam. Ia bingung apa yang harus ia lakukan, demi membayar hutangnya pada Jill. Gundah. Sesungguhnya ia juga tak mau. Ia juga rindu. Dibayangi dengan kegalauan yang selalu menemaninya diluara ini.
Hujan. Yang akan selalu menjadi pengingat saat ia harus bertugas di luar sana. Dalam hati ia berjanji dengan dirinya sendiri, bahwa ia akan kembali dengan ini. Dengan hujan yang sama. Dengan kaki kecil yang menuntunnya. Dengan suara jeritan darinya yang menutupi kerinduan seseorangnya.
Lalu ia bangkit. Digenggamnya tangan Jill yang mulai dingin dan pucat pasi, sehingga mau tak mau Jill pun harus bangkit pula. Masih dengan bibir bisu itu, ia mengajak Jill keluar dari pojok unik itu. Meninggalkan cangkir beling tua, meja-kursi kayu, dinding putih, dan anyaman bambu di dalamnya. Lentera kuning yang mulai meredup. Sejenak ia mengambil nafas dalam, lalu menghembuskannya kuat-kuat.
“akan kubuatkan kau hujan, hujan yang menjadi kenangan sebelum aku berangkat.” Lalu ia berjalan sambil menggandeng erat tangan Jill. Jill masih bisu, isaknya semakin menjadi ketika ia tahu semua telah cukup sampai disini.
“apakah kita akan pulang dengan hujan yang masih sedikit deras seperti ini?” Tanya Jill sambil terisak.
Ed tidak menjawab. Kini berganti ia yang membisu. Ia terus berjalan. Sampai ditengah sebuah perempatan jalan yang sunyi, ia berhenti. Indah. Bias-bias rintik hujan yang tersinar lampu anti kabut yang semuanya sama dengan keadaan di pojok unik itu, tetapi meninggalkan apapun yang ada didalamnya. Dengan sisa isaknya, Jill mendongakkan kepalanya menantang tatap Ed tepat di manik mata.
“mengapa kita harus berdiri disini, di hujan seperti ini?”
“aku tak mau kita kehilangan hujan ini lagi. Biar kita dibasahkannya. Biar kita tak sembunyi darinya. Karena sekarang masih dihujan yang sama. Entah kita sendiri, atau bersama.”
Lalu Ed memeluk erat Jill diantara hujan, lampu kuning yang menyeruak, suara gemuruh kaki-kaki kecil yang menjadi ribuan, dan jalanan yang membiaskan bayangan mereka berdua. Di hujan yang sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H