Mohon tunggu...
Fadil S. Isnan
Fadil S. Isnan Mohon Tunggu... Konsultan - Teman Bercakap

Semesta Mendukung

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mengupas Cinta Bareng Tere Liye

23 Maret 2015   16:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:12 614
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keluarga Remaja Islam Salman ITB (KARISMA ITB) telah menyelenggarakan acara rutin bertajuk Festival Cinta Remaja. Kegiatan diadakan pada hari Minggu, 22 Maret 2015 di kompleks Masjid Salman ITB.

Ada banyak acara di dalamnya, antara lain lomba menulis artikel, membuat video, membaca puisi, lomba info grafis, stand up comedy, dan stand kreatif. Selain itu, ada pula seminar yang diisi oleh salah satu penulis buku bestseller nasional, Darwis Tere Liye. Satu pembicara lagi adalah dosen Psikologi dari Universitas Padjajaran. Ditambah lagi ada hiburan dari Edcoustic dan Teater Menara Salman.

Salah satu yang akan dibahas kali ini adalah seminar yang dibawakan oleh Bang Tere Liye. Ternyata, Bang Tere menulis hanya bermaksud memberikan pemahaman tentang commen sense, dalam hal ini cinta khususnya pada remaja.

Apakah kita boleh jatuh cinta? Boleh sekali. Tidak ada yang melarangnya. Tidak ada satu pun literatur termasuk kitab suci yang tidak memperbolehkan manusia jatuh cinta. Karena apa? Karena pada dasarnya kasih sayang adalah cara Allah menyeimbangkan kehidupan ini. Bahkan kasih sayang bisa melampaui akal dan logika manusia. Sebagai contoh, siapa yang mau-maunya mengurusi bayi kecil yang tidak bisa apa-apa, hanya bisa menangis, poop sembarangan, dan menyusahkan orang lain? Tidak ada yang mau, kecuali orang tua kita. Ya, itulah gambaran ketika kita masih kecil. Hanya karena mereka memiliki kasih sayang yang luar biasa kepada kita, apapun mereka lakukan demi buah hatinya.

Nah, itulah salah satu inti dari pembahasan kita di sini. Pertanyaannya, kalau kita jatuh cinta, so what? Terus kita harus ngapain? Ini masalahnya. Banyak dari kita yang menganggap bahwa pacaran adalah ekspresi bahwa kita mencintai seseorang. Padahal bukan. Memangnya kalau cinta harus langsung diucapkan saat itu juga? Mengapa harus takut kehilangan orang yang kita cintai? Kalau itu memang cinta, pasti kelak sejauh apapun kita meninggalkannya, ujung-ujungnya pasti dipertemukan lagi. Itu berarti jodoh kita. Kalau tidak dipertemukan, maka jawabannya sederhana, itu bukan jodoh kita.

Kebanyakan orang-orang pacaran itu kerjaannya galau terus. Resah memikirkan SMS yang belum dibalas, rela tidak makan hanya karena menunggu balasan statusnya, ingin tahu bisulnya sudah pecah atau belum, kepo tentang panunya sudah diobati belum, dan sebagainya.

[caption id="attachment_404897" align="aligncenter" width="640" caption="Ngobrol cinta bareng Tere Liye"][/caption]

Di sini, ada lima kunci pemahaman yang harus kita pegang dengan erat.

Pertama, The Power of “Tidak Bilang”. Seperti yang tadi telah ditulis bahwa perasaan selalu bicara mengenai jodoh, bukan mengenai si A atau si B. Kalau kita menaruh perasaan kepada orang lain, ya biarkan saja. Kalau itu benar-benar perasaan, maka sejauh apapun kita meninggalkannya, dia pasti kembali karena dia jodoh kita.

Misalnya, ada dua muda-mudi yang saling kenal sejak SMP, sebut saja Bambang dan Surti. Mereka berdua saling suka, tapi mereka tidak bilang satu sama lain. Ini menjadi rahasia diri mereka sendiri. Hingga belasan tahun berlalu. Ketika Bambang sedang di bandara menuju Jepang, tiba-tiba dia bertemu dengan Surti, kawan lamanya di bandara. Sama-sama ingin terbang, tapi Surti hendak ke Amerika. Mereka pun terlibat obrolan yang sudah belasan tahun tidak terjalin. Ternyata, rasa suka yang dulu ada masih terpelihara dengan baik. hingga pada suatu saat, Bambang melamar Surti dan akhirnya mereka berdua menikah.

Moral value yang bisa diambil apa? Coba saja bayangkan, jika dulu Bambang mengatakan perasaannya ke Surti di awal-awal perasaan itu muncul, bisa jadi mereka tidak akan seperti sekarang. Punya hidup mapan, ke luar negeri. Bisa jadi dulu mereka hanya nongkrong-nongkrong di pinggir jalan menunjukkan bahwa diri mereka pacaran. Mereka tidak akan bisa memantaskan diri bila skenarionya lain. Percayalah, ketika kita bisa menjaga perasaan, maka akan ada skenario lain yang bahkan bisa di luar logika dan nalar manusia.

Kedua, Hakikat Menunggu. Ada sebuah kisah lagi. Ini tentang Bambang tapi dengan versi dan kondisi yang lain. Pada suatu pagi, bambang diajak oleh ibunya untuk ke pasar. Dia diminta untuk menunggu di depan pasar karena ibunya akan kembali dua jam persis setelah detik itu. Nah, di sini, ada tiga skenario yang bisa Bambang lakukan. Pertama, Bambang tetap menunggu, tetapi dengan nggrundel dan mengumpat-umpat dalam hati. Dia hanya melukukan itu terus-menerus selama dua jam hingga ibunya datang. Akhirnya, paripurnalah sudah tugas Bambang. Skenario kedua, bambang menunggu, tapi tidak melakukan aktivitas apapun. Dia hanya diam selama dua jam itu hingga ibunya kembali datang. Skenario terakhir, bambang menunggu sambil ikut membantu orang-orang di sekitarnya, mencari tahu hal-hal baru, mengamati perilaku orang, dan melakukan hal-hal lain yang bermanfaat.

Mana yang menurut teman-teman paling baik? Tentu kita akan mudah menjawabnya bahwa skenario ketiga adalah yang paling baik. Bambang sama-sama selesai dalam melakukan tugasnya dalam menunggu ibu selama dua jam penuh. Namun, di skenario ketiga, Bambang mengisi waktu luangnya dengan hal-hal berguna, positif, dan bermanfaat. Inilah hakikat menunggu. Menunggu bukan tentang sabar atau tidak sabar, melainkan tentang perubahan apa yang terjadi selama menunggu. Menjadi lebih buruk, sama saja, atau lebih baik? Lihatlah pada diri kita sendiri.

Ketiga, Hakikat Berharap. Tidak ada seorang pun yang tahu apa yang benar-benar terbaik bagi dirinya, kecuali Allah. Sama seperti menunggu, bukan hasil yang dicari, tetapi seperti apa proses yang dijalani, baik atau buruk, bermanfaat atau merugikan. Sesungguhnya berharaplah hanya kepada Yang Maha Tempat Semua Harapan. Maka inilah, tempat paling menentramkan dan tidak akan pernah menipu.

Keempat, Wisdom “Pergi”. Cinta sejati selalu kembali dan selalu diuji. Mau sebearapa lama dan seberapa jauh jarak memisahkan, pada akhirnya mereka akan tetap bersatu.

Kelima, Hakikat Memiliki. Terkadang kita justru bisa menemukan sesuatu yang lebih berharga dari sebuah kehilangan. Pun sebaliknya, kita bisa kehilangan sesuatu yang berharga pula dari apa yang kita temukan atau miliki.

Intinya, tetaplah menjaga diri dan berproseslah dengan baik. Bersabar dan terus memantaskan diri jauh lebih baik. Satu hal yang perlu digarisbawahi dan diperbaiki adalah tidak ada yang namanya pacaran Islami. Tidak peduli sebelum pacaran salat dhuha dulu, atau ngajak ngaji bareng, atau bangunin salat tahajud. Tidak ada alasannya. Cinta tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk melanggar batas-batas yang telah mutlak ditentukan oleh Tuhan.

Lalu, kalau aku jatuh cinta, apa yang harus aku lakukan? Tidak ada. Kita tidak perlu melakukan apapun. Itu berarti kita adalah manusia normal yang masih bisa merasakan cinta. Toh cinta seumuran remaja hingga dewasa adalah cinta yang hanya bertahan selama 4—5 bulan saja. Sekali lagi, tetaplah memperbaiki diri. Biarkan semua mengalir apa adanya. Tetaplah menjaga diri. Maka kita akan merasakan keajaiban yang luar biasa.

[caption id="attachment_404898" align="aligncenter" width="480" caption="Darwis Tere Liye, penulis."]

1427103863882673796
1427103863882673796
[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun