Secara historis, perdagangan manusia merupakan eksploitasi tersembunyi, kotor dan berbahaya yang telah menjadi kejahatan global. Beberapa scholar mengungkapkan bahwa titik awal perdagangan manusia kontemporer secara historis dimlai pada akhir abad ke-19 (Usman 2020). Ancaman itu sekarang menjadi masalah serius internasional yang melanggar hukum ekonomi bagi jaringan kriminal. Menurut United Nations Office on Drugs and Crime (t.t.), perdagangan manusia adalah perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penampungan atau penerimaan orang melalui paksaan dan/atau penipuan yang bertujuan untuk mengeksploitasi korban dan mendapatkan keuntungan. Korban dapat berasal dari segala usia dan dari semua latar belakang dapat menjadi korban kejahatan ini, yang terjadi di setiap wilayah di dunia, terutama orang yang dianggap lemah, seperti wanita dan anak-anak.
Para pedagang sering menggunakan kekerasan atau penipuan agen tenaga kerja dan janji pendidikan serta kesempatan kerja palsu untuk mengelabui dan memaksa korban mereka (United Nations Office on Drugs and Crime t.t.). Perdagangan manusia dapat terjadi dalam beberapa bentuk, tetapi satu aspek yang konsisten adalah penyalahgunaan kerentanan bawaan para korban, seperti 1) perdagangan manusia untuk kerja paksa; 2) perdagangan manusia untuk kegiatan kriminal paksa; 3) korban dipaksa untuk melakukan berbagai kegiatan ilegal, seperti pencurian, narkoba, menjual barang palsu, atau mengemis secara paksa; 4) perdagangan perempuan untuk eksploitasi seksual, 5) perdagangan untuk pengambilan organ; dan 6) penyelundupan manusia (INTERPOL t.t.).
Arus pengungsi global telah mencapai tingkat tertinggi dalam sejarah karena lebih dari dua puluh lima juta orang terpaksa meninggalkan negara asal mereka. Banyak pengungsi telah menghadapi perjalanan yang berbahaya, kondisi kehidupan yang keras di kamp, dan diskriminasi di negara tuan rumah, tetapi mereka juga mengalami pelanggaran hak asasi manusia yang sering tidak ditangani secara memadai dalam upaya keamanan dan pencegahan konflik (Bro, 2019). Para pengungsi dan migran merupakan orang yang rentan menjadi korban perdagangan manusia. Hal tersebut dikarenakan terdapat beberapa faktor, seperti 1) ketidakamanan fisik mereka; 2) adanya marginalisasi sosial, ekonomi dan politik; 3) viktimisasi oleh penyelundup yang memfasilitasi pergerakan pengungsi; 4) pengalaman dengan kekerasan seksual; 5) isolasi sosial atau konsekuensi negatif lainnya akibat kekerasan seksual; 6) tekanan untuk terlibat dalam seks untuk bertahan hidup; 7) gangguan parah pada struktur keluarga; dan 8) kurangnya perlindungan hukum (Wilson, 2011).
Pengungsi dan migran diperlakukan sebagai komoditas dalam negosiasi politik antara negara-bangsa, tidak diterima di mana pun mereka mendarat setelah melarikan diri dengan putus asa. Migran paling rentan terhadap pelecehan dan eksploitasi dalam situasi dan tempat di mana otoritas negara dan masyarakat tidak mampu melindungi mereka, baik karena kurangnya kapasitas, undang-undang yang berlaku atau pengabaian sederhana (David, Bryant, & Larsen 2019). Misalnya para pengungsi sangat rentan ketika melarikan diri dari situasi kekerasan dan konflik, di mana negara telah runtuh secara efektif dan masyarakat sendiri berada dalam krisis. Risiko semakin meningkat ketika para migran pindah atau bekerja melalui jalur tidak resmi, di mana status mereka yang tidak teratur menempatkan mereka sepenuhnya pada belas kasihan oportunis yang mungkin berusaha mengambil keuntungan dari keadaan putus asa mereka. Buruh migran juga rentan dalam situasi ketenagakerjaan tertentu yang tidak terlihat, sulit diakses, atau tidak tercakup dalam perlindungan hukum yang ada (David, Bryant, & Larsen, 2019).
Pemindahan manusia akibat konflik dapat meningkatkan risiko perdagangan manusia dengan memanfaatkan kerentanan mereka, para pedagang manusia menipu para pengungsi ke dalamÂ
pengaturan perjalanan dan pekerjaan yang curang (Bro, 2019). Pengungsi Ukraina terus bertambah sejak perang Ukraina dan Rusia tahun lalu. Pengungsi ini tersebar di beberapa negara-negara Eropa dan negara lainnya. Menurut UNHCR, pada tahun 2023, total pengungsi Ukraine di negara-negara Eropa berjumlah 7.977.980 pengungsi (ANTARA, 2023). Orang-orang yang melarikan diri dari Ukraina rentan terhadap berbagai bentuk perdagangan karena konteks pengungsian dan kerentanan yang menyertainya selama perjalanan dan saat tiba di negara tujuan. Menurut Rencana Anti-Perdagangan Bersama UE untuk menanggapi krisis, yang diluncurkan pada 6 Mei 2022, ancaman perdagangan manusia dianggap "tinggi dan segera terjadi" (United Nations Office on Drugs and Crime, 2022).
Bentuk-bentuk perdagangan yang berisiko bagi pengungsi dari Ukraina termasuk eksploitasi seksual, kerja paksa, adopsi ilegal dan ibu pengganti, pengemis paksa, dan kriminalitas paksa. Terdapat kekhawatiran khusus seputar risiko eksploitasi dan pelecehan seksual online, karena banyak orang Ukraina menggunakan aplikasi perpesanan dan media sosial (terutama Viber, Telegram, dan Facebook). Menurut data United Nations Office on Drugs and Crime (2022), terdapat lima negara teratas di mana korban perdagangan orang Ukraina diidentifikasi 2017 - 2020 dengan total 2437 kasus, yaitu Rusia; Polandia; Jerman; Turki; dan Israel. Pada tahun 2021, IOM di Ukraina mengidentifikasi dan membantu lebih dari 1.000 korban perdagangan manusia (International Organization for Migration, 2022). Korban Ukraina diperdagangkan baik oleh pelaku perdagangan domestik dengan tingkat organisasi yang lebih rendah, atau oleh jaringan kompleks individu yang mencakup berbagai negara, yang menghubungkan beberapa negara di wilayah tersebut.
Beberapa proses pengadilan secara eksplisit menyebutkan struktur kelompok kriminal terorganisir transnasional dengan jumlah korban yang lebih banyak, melakukan berbagai bentuk eksploitasi (United Nations Office on Drugs and Crime, 2022). Dalam mengatasi masalah ini, Komisi Helsinki mengadakan dengar pendapat pada 7 April 2022 yang menghadirkan pakar perdagangan manusia dan praktisi yang bekerja langsung dengan pengungsi Ukraina. Terdapat kerjasama dalam upaya negara garis depan, komunitas internasional, LSM, dan Kantor OSCE untuk Lembaga Demokrasi dan Hak Asasi Manusia (ODIHR) untuk mencegah pengungsi menjadi korban perdagangan manusia dengan meningkatkan kesadaran, memeriksa mereka yang bekerja dengan pengungsi dan mereka yang menyediakan perumahan dan pekerjaan, dan melawan ajakan online. Mereka juga membahas kebutuhan untuk mengangkut populasi yang rentan dengan aman, terutama anak-anak, keluar dari zona perang dengan aman dan mendaftarkan mereka dengan benar untuk memastikan bahwa mereka tidak hilang atau menjadi korban perdagangan manusia (Commission on Security and Cooperation in Europe, 2022).
Selain itu, Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) juga memobilisasi tim dan meningkatkan kapasitas di Ukraina dan negara-negara tetangga untuk menanggapi kebutuhan kemanusiaan yang sangat besar dari warga Ukraina yang terpaksa meninggalkan negara itu, mereka yang terlantar secara internal, dan warga negara ketiga yang terlantar (International Organization for Migration, 2023). Saat perang memasuki tahun kedua, IOM terus memberikan bantuan dan dukungan perlindungan yang menyelamatkan nyawa, sementara juga meningkatkan upaya untuk mengatasi dampak sosial ekonomi jangka panjang baik di Ukraina maupun negara-negara tetangga. IOM mendorong negara-negara untuk menerima kedatangan dari Ukraina dengan cara yang tidak diskriminatif, sensitif gender, dan peka budaya, tanpa bias berdasarkan kebangsaan, etnis, atau status dokumentasi. Organisasi juga telah memperkuat hotline regional untuk membekali orang-orang yang sedang bepergian dengan informasi keselamatan dan sumber daya yang penting (International Organization for Migration, 2022).
Dapat disimpulkan bahwa isu perdagangan manusia sudah mulai tren sejak abad ke-19. Perdagangan manusia memiliki berbagai macam jenis dan bentuk dan korban yang diincar tidak pandang bulu. Isu ini kemudian menjadi isu hangat yang dapat menghantui para pengungsi dan migran. Hal tersebut dilatar belakangi karena pengungsi dan migran merupakan individu yang lemah terutama dalam mendapatkan haknya di negara lain. Dalam kasus pengungsi Ukraina dalam perang Rusia-Ukraina, terdapat lebih dari 2000 kasus terdeteksi perdagangan manusia di beberapa negara yang menampung pengungsi Ukraina. Hal ini tentunya sangat membahayakan bagi keamanan individu pengungsi. Oleh karena itu, lembaga internasional, seperti IOM, Komisi Helsinki, dan lain sebagainya sangat mengkhawatirkan kondisi tersebut sehingga mereka membantu para pengungsi Ukraina agar mendapatkan kehidupan yang layak di negara penerima.